Selamat Ulang Tahun, Cak Munir

sumber, twitter Ommah Munir

Hari itu, seorang pemuda yang baru setahun dapat KTP meradang karena ledakan petasan di luar jendela kamar. Pasalnya, sang ibu yang sedang sakit baru saja terpulas. Ia baru saja mengantarnya pulang dari berobat. Maka, dengan keberanian seorang pemuda, ia keluar dari rumahnya di kawasan Kota Batu. Ia berteriak-teriak, melantangkan tantangan berjibaku. Nahasnya yang membakar petasan tidak seorang diri. Celakanya, karena ditantang oleh pemuda yang lebih kencur, mereka pun kalap. Terjadi pengeroyokan, 1 lawan 30 orang.

Waktu tahu apa yang terjadi, tindakan pertama si ibu adalah menyuruh adik si pemuda mengambil pentungan. “Kamu harus tanggungjawab, keluar kamu, berantem sana!” perintahnya kepada si pemuda.

Sejatinya, sang ibu amat membenci kekerasan. Tetapi prinsipnya tegas. Harus berani tanggung-jawab atas seganap tindakan yang telah dilakukan. Si pemuda maklum, maka ia pun keluar rumah lagi. Ia berjibaku lagi. Dan akhirnya, tentu saja, ia kalah lagi.

Demikian kira-kira satu kejadian yang membuat Munir bisa dengan asyik bercengkerama dengan teror. Didikan sang Ibu membuatnya teguh; bahwa setiap kali bertindak, ia sudah harus siap menanggung risiko.  Jadi, kendati motornya pernah diserempet orang tak dikenal, kerap diancam via SMS, rumah dan kantornya mau dibom, kantornya diserbu massa, sampai ditodong senapan;  Munir terus melangkah di jalan keyakinan yang telah dipilihnya.

Tetapi mendaulatnya sebagai seseorang yang urat takutnya sudah putus barangkali berlebihan. Munir pun kerap didera ketakutan. “Normal, sebagai orang, ya pasti ada takut, nggak ada orang yang nggak takut, cuma yang coba aku temukan adalah merasionalisasi rasa takut,” kata Munir.

Akibat hanya membungkukan punggung pada nilai dan prinsip, Munir harus rela jadi sansak tinju orang ramai. Ia penah dinisbatkan sebagai aktivis Islam sosialis, tetapi lain waktu ketika lingkar kekuasaan berganti, ia pun dituduh Yahudi, Kristen sampai komunis dan antek-antek Amerika.  Kontradiktif dan sulit diterima nalar, tetapi apa mau dikata, Munir sudah terlanjur jadi objek yang asyik buat dijadikan musuh nomor wahid. Saking masifnya propaganda intelejen itu, sampai-sampai ada tokoh-tokoh nasional yang keheranan ketika menemukan Munir bersalat Jumat di mesjid yang sama dengan mereka.

Tetapi, teror yang paling menyakitkan bagi Munir bukan ancaman hendak dijadikan sosis. Melainkan pada jam setengah satu siang ada seorang perempuan hamil yang mengadu kepada istrinya bahwa dirinya telah dihamili Munir. Untungnya, Suciwati yang saat itu sedang hamil, tidak terpancing. “Saya akan bela kamu supaya Munir bertanggungjawab. Tunggu sebentar,” pintanya. Tetapi ketika Suciwati kembali dari bersalin, perempuan itu sudah lenyap.

Munir dan Suciwati memang kompak. Barangkali soulmate. Saling memahami, saling kuat-menguatkan. Ketika ada dua aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang terkena pecahan bom Tanah Tinggi, dan Munir ngotot untuk tidak menyerahkan mereka kepada tentara. Karena berstatus buron, kedua aktivis itu tidak bisa dibawa ke dokter. Walhasil, selama tiga hari –deadline yang diberi para petinggi LBH waktu itu, Suciwati dan beberapa aktivis junior LBH yang sepaham dengan Munir, merawat mereka dibawah bayang-bayang penangkapan oleh Kopasssus.

Tetapi sebagai pekerja HAM, Munir juga bukan tanpa cacat. Waktu bergiat di LBH, ia pernah mempermak orang sampai masuk rumah sakit. Kali lain, ia juga pernah melempar gelas ke muka orang. Ia tahu bahwa kedua tindakannya itu tidak benar, tetapi emosi terkadang mengalahkan nalar. Uniknya, ketika Kontras diserbu preman, dan pemuda penggiat Kontras sudah bertekad tidak ada istilah mengalah, Munir malah berpikir untuk berdamai saja; agar penyerang itu dilepaskan dari jerat hukum. “Kupikir, biarin ajalah preman dilepas, musuhku toh yang lain,” katanya.

Segenap cerita ini, saya dapatkan dari buku Keberanian bersama Munir karangan Meicky Shoreamanis Panggabean. Sungguh buku yang menarik, karena darinya saya menemukan sosok Munir dari sisi manusia normal.

Betapa Munir yang besar itu ternyata baru mengenal kebijakan pengiriman tentara ke Aceh sewaktu ia nyaris tamat kuliah di jurusan hukum Universitas Brawijaya. Melalui perkawanan dengan Bambang Sugianto, seorang aktivis jalanan di kampusnya. Perdebatan mereka yang membawa Munir membaca buku-buku di luar mainstream, sampai akhirnya menemukan buku Cile, Revolusi Buruh-nya Arief Budiman. karakternya kian terbentuk setelah menelisik Nilai Identitas Kader-nya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang menurutnya cerdas radikal dan militan. Dari proses inilah Munir kemudian menemukan kembali ideologi anti penindasan.

Bagi mereka yang semasa kuliah gandrung berunjukrasa pasti akan menyebut betapa tidak istimewanya. Faktanya, banyak di antara mereka yang mengalami proses ini pada akhirnya terjebak pada ideologi mainstream. Lantas apa yang membedakan? Abdurahman Wahid menjawab bahwa dalam berjuang diperlukan penyatuan antara prinsip perjuangan dan tekad pribadi. Agaknya, Munir memiliki penyatuan itu.

Penyatuan prinsip dan tekad ini yang membuat Gus Dur hanya bisa termangu ketika Munir berencana menulis disertasi di negeri Belanda yang akan memaparkan sejumlah orang yang diduganya menjadi otak pelanggaran HAM berat di Indonesia. Gus Dur paham tak ada gunanya melarang, bagaimanapun Munir tetap akan melaksanakan niatnya itu. Dan sebagaimana yang kita ketahui, pada 7 September 2004, Munir tewas diracun dalam penerbangannya ke Belanda.

Kendati sama-sama berurusan dengan arsenik, penanganan kasus Munir tidak secepat dan semeriah persidangan Jessica Wongso. Sampai sekarang, setelah 12 tahun lamanya, aktor intelektual kasus  Munir masih misterius. Konon ia masih melenggang bebas dan menikmati gelimang kekuasaan.

Kendatipun begitu, saya amat yakin sang aktor tetap hidup dalam kegelisahan. Karena kepergian Munir tidak lantas membuat nilai dan prinsip lantas mati. Salah satunya adalah Aksi Kamisan, di mana sejak 18 Januari 2007, setiap Kamis sore, sekelompok orang berpayung hitam tegak mematung berjarak sepelemparan batu dari Istana Negara. Selama satu jam mereka berteriak dalam diam untuk menolak lupa; untuk mengingatkan pada pemimpin puncak negeri ini bahwa ada pekerjaan rumah  yang diwariskan dari presiden ke presiden yang belum lagi tuntas sampai hari ini.

Hari ini adalah Kamis yang ke-470 kalinya, Aksi Kamisan akan digelar. Tanggal dan bulan yang sama dengan waktu Munir dilahirkan, 52 tahun silam. Saya sungguh berharap berharap hari ini Jokowi mau meluangkan waktu untuk menyambangi Aksi Kamisan. Lantas di bawah naungan payung hitam yang ia pegang sendiri, Jokowi berucap, “Selamat Ulang Tahun Cak Munir! Hari ini atas nama pemerintah saya berjanji kasus Saudara dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya akan diusut tuntas. Dan mereka yang bersalah akan dihukum seadil-adilnya.” Lalu Presiden, minimal, memerintahkan jajarannya untuk berpuasa selfie sampai urusannya ini beres, dan memberi sanksi kepada mereka yang lelet apalagi sengaja menghambat. Dan publik akan mengawasi janji itu.

Tetapi, menurut saya mengenang Munir tidak cukup sebatas itu. Mengenang Munir bukan cuma urusan pemerintah dan aktivis Aksi Kamisan. Mengenang Munir juga harus dilakukan melalui gerakan internalisasi HAM dalam sendi-sendiri kehidupan, dan ini menjadi urusan kita bersama.

Bertekad menjadi Munir, kendati niscaya, tetapi amat ambisius. Maka, yang paling gampang adalah meneladani Munir sesuai dengan peran kita masing-masing. Seorang guru yang mengajarkan anak-anak didiknya tentang toleransi. Seorang tukang ojek yang tidak mengumpat-maki kepada mereka yang berbeda pandangan. Seorang buzzer pilkada yang tidak main fitnah. Seorang jurnalis yang menuliskan berita secara benar dan berimbang. Seorang atasan yang tidak bertindak diskriminatif kepada karyawannya karena soal SARA.

Tentu saja semakin tinggi posisi dan sumberdaya yang kita miliki akan semakin besar pula prinsip dan tekad Munir yang bisa kita teladani. Barangkali akan ada pengorbanan, tetapi setidaknya kita tidak perlu kuatir akan di-Munir-kan. (*)

0 komentar:

Posting Komentar