Mengenang Riyanto; Kepahlawanan di Malam Natal


Malam  ini malam Natal, dan karenanya saya teringat pada Riyanto, anggota Banser NU.  Ia sudah berpulang, tetapi namanya selalu hidup di Gereja Eben Haezer Mojokerto.

Saya membayangkan pada malam Natal  itu, 24 Desember 2010, Riyanto mengecup punggung tangan sang Ibu, Katinem. Mohon restu untuk bertugas menjaga malam perayaan natal gereja-gereja. Mengendarai vespa merah, Riyanto sampai di Gereja Eben Haezer. Ia bertugas bersama tiga rekannya.

Menjelang tengah malam, seorang jemaat menemukan bungkusan tak bertuan di depan pintu masuk gereja. Di hadapan petugas keamanan, Riyanto membuka bingkisan itu. Sekonyong-konyong terbit percikan api. “Tiarap!,” teriaknya sigap.

Riyanto tergopoh-gopoh keluar. Ia mencampakan bungkusan bom itu ke tong sampah. Nahasnya, meleset. Bukannya menjauh, Riyanto malah kembali memungut bom itu. Ia menamengkan dirinya.  Sekali lagi, hendak melemparkan bom itu jauh-jauh.

Tetapi apa mau dikata? Tuhan punya kuasa. Bom itu meledak dalam pelukan sulung dari 7 bersaudara  itu. Korban berjatuhan, tetapi khalayak maklum. Tanpa pengorbanan Riyanto jumlah korban akan lebih besar.

Butuh segunung keberanian untuk bertaruh nyawa, dan bertaruh nyawa untuk keselamatan kalangan yang bukan “siapa-siapa” boleh jadi adalah salah satu puncak keberanian. Riyanto sudah melintasi gunung toleransi. Ia bukan sekadar menghargai perbedaan, melainkan mengorbankan diri untuk memperjuangkan harmoni dan sinergi atas perbedaan itu.

Tak pelak, heoisme ini mengingatkan saya pada wejangan K.H. Abdurahman Wahid. “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”

Jika kejadian ini ditarik pada situsi-kondisi kekinian, tentu jadi pangling. Dua bulan terakhir ini, bangsa kita dihantam dengan isu Bhineka. Baik media mainstrem maupun sosial media  terus menggulirkan sintemen agama dan etnis.

Keteledoran-keteledoran kita merawat toleransi menjadi sasaran empuk untuk objek umpat-hujat. Bangsa ini mendadak menjadi begitu mahir mencari-cari kesalahan, tetapi seolah buta akan prestasi-prestasi toleransi dalam sejarah kita. Framing!Demi menghujat, informasi yang disebar sepotong-sepotong. Dan celakanya, sentimen ini mulai bergerak menjadi aksi baku bully; saling serang.

Bahkan cacing yang diinjak pun akan menggeliat. Permasalahannya, siapa yang jadi cacing? Siapa yang jadi sepatu bot? Jangan-jangan, kita malah menyandang standar ganda; menjadi korban sekaligus pelaku. Atau yang parah: berlagak menjadi korban, tetapi sebenarnya pelaku.

Atau jangan-jangan semua ini sejatinya berada di luar keinginan kita? Jangan-jangan ada operasi  intelejen yang dilakukan untuk membuat situasi-kondisi terus memanas? Terus-menerus membayurkan kegentingan amat sangat. Padahal levelnya masih di ambang batas yang bisa kita terima. Level di mana kita bisa bersikap bijak dengan berkata “biar polisi yang mengurus”, bukan malah terseret dalam aksi menyiramkan bensin ke api yang berkobar.

Amatilah baik-baik! Tiga isu yang belakang ini menyibukan ruang publik kita : PKI, Tiongkok dan Agama.  Makin celaka, ketiga isu ini ditarik-tarik ke dalam aras politik.

Politik memang asyik, sampai-sampai kita kerap “kehilangan” diri kita sendiri. Dalam membalas kritik kebijakan pemerintah contohnya. Saya sempat menikmati aksi adu argumen di media sosial, termasuk di kolom-kolom kompasiana.

Belakangan kenikmatan ini lenyap akibat kehadiran kaum buzzer pejuang, yang kental aroma afiliasi politiknya, tetapi enggan beradu argumen secara beradab. Dulu, strategi mereka adalah mengalihkan subtansi tulisan ke arah ketiga isu ini;  bahwa yang tidak sependapat dengan mereka artinya memberangus bhineka tunggal ika. Belakangan lebih parah, bukan argumentasi yang dibangun, melainkan strategi umpat-hujat.

Hukum aksi-reaksi terjadi. Mereka yang diserang, akhirnya balas menyerang.

Kembali ke laptop, menurut saya, kondisi Indonesia tidak segenting penampakan di media sosial. Mayoritas masyarakat Indonesia masih memiliki nalar yang cukup untuk memfilter segala keriuhan yang menghabiskan energi itu.

Tentu saja masih ada letupan-letupan. Tidak ada gading yang tak retak. Tetapi  segenapnya masih bisa diselesaikan secara pancasialis –musyawarah baru kemudian hukum positif. Kendatipun, perlu pula digarisbawahi : jangan pula dipanas-panasi.

Hal ini berpijak pada pengalaman saya menyambangi kawasan –kawasan non muslim, bahkan daerah bekas konflik. Jangankan tindakan, bahkan ucapan yang menyinggung SARA tidak pernah saya terima. Pada banyak tempat saya mendengar kisah-kisah keluarga besar yang para anggotanya memiliki agama yang beraneka, dan undang-mengundang pada perayaan hari besar masing-masing.

Yang paling dekat, ketika anak tetangga saya yang non muslim wafat, tidak ada tetangga-tetangga saya yang memrotes penyelengaraan peribadatan itu. Kendatipun dilakukan di rumah, dan berlangsung sampai malam hari pula. Bahkan kami bergotong-royong untuk menegakan tenda besar untuk menaungi para tamu.

Kalau gagasannya mau diperluas, kita bisa berpijak pada penghormatan kaum Islam pada sidang BPUPKI yang menerima Pancasila sebagai dasar negara. Lalu, pada sidang PPKI yang pertama, semua orang sepakat akan redaksional “Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk sila pertama Pancasila. Belakangan, kita juga sepakat bahwa kalangan Tionghoa, baik secara etnis maupun agama Konghucu, menjadi bagian dari keragaman bangsa.

Saya pikir semua itu sudah final.  Dan kewajiban kita sebagai warga negara adalah menyinergikan segenap potensi yang terkandung dalam keragaman itu untuk membantu pemerintah mencapai tujuan Negara Indonesia, negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bukan malah ribut perihal siapa yang paling paham kebhinekaan.

Sebagai penutup, izinkan saya mengingatkan konsep kepahlawanan baru yang beberapa waktu silam sempat menghinggapi sanubari kita. Semua orang bisa jadi pahlawan! Caranya dengan menebar manfaat sesuai dengan latarbelakang kita masing-masing. Produktif dalam berpikir dan bertindak dalam merawat toleransi dan membangun sinergi antar perbedaan itu. Dan saya amat yakin kalangan seperti ini amat banyak di negeri kita yang sayangnya belum tersentuh media.

Saya pikir ini cara yang paling terjangkau bagi kita untuk meneladani heroisme ala Riyanto. Tidak muluk-muluk, tetapi memiliki efek bola salju.

Akhir kata, izinkan saya mengucapkan selamat merayakan Natal  untuk kawan-kawan yang merayakannya. Salam!

Selamat Ulang Tahun, Cak Munir

sumber, twitter Ommah Munir

Hari itu, seorang pemuda yang baru setahun dapat KTP meradang karena ledakan petasan di luar jendela kamar. Pasalnya, sang ibu yang sedang sakit baru saja terpulas. Ia baru saja mengantarnya pulang dari berobat. Maka, dengan keberanian seorang pemuda, ia keluar dari rumahnya di kawasan Kota Batu. Ia berteriak-teriak, melantangkan tantangan berjibaku. Nahasnya yang membakar petasan tidak seorang diri. Celakanya, karena ditantang oleh pemuda yang lebih kencur, mereka pun kalap. Terjadi pengeroyokan, 1 lawan 30 orang.

Waktu tahu apa yang terjadi, tindakan pertama si ibu adalah menyuruh adik si pemuda mengambil pentungan. “Kamu harus tanggungjawab, keluar kamu, berantem sana!” perintahnya kepada si pemuda.

Sejatinya, sang ibu amat membenci kekerasan. Tetapi prinsipnya tegas. Harus berani tanggung-jawab atas seganap tindakan yang telah dilakukan. Si pemuda maklum, maka ia pun keluar rumah lagi. Ia berjibaku lagi. Dan akhirnya, tentu saja, ia kalah lagi.

Demikian kira-kira satu kejadian yang membuat Munir bisa dengan asyik bercengkerama dengan teror. Didikan sang Ibu membuatnya teguh; bahwa setiap kali bertindak, ia sudah harus siap menanggung risiko.  Jadi, kendati motornya pernah diserempet orang tak dikenal, kerap diancam via SMS, rumah dan kantornya mau dibom, kantornya diserbu massa, sampai ditodong senapan;  Munir terus melangkah di jalan keyakinan yang telah dipilihnya.

Tetapi mendaulatnya sebagai seseorang yang urat takutnya sudah putus barangkali berlebihan. Munir pun kerap didera ketakutan. “Normal, sebagai orang, ya pasti ada takut, nggak ada orang yang nggak takut, cuma yang coba aku temukan adalah merasionalisasi rasa takut,” kata Munir.

Akibat hanya membungkukan punggung pada nilai dan prinsip, Munir harus rela jadi sansak tinju orang ramai. Ia penah dinisbatkan sebagai aktivis Islam sosialis, tetapi lain waktu ketika lingkar kekuasaan berganti, ia pun dituduh Yahudi, Kristen sampai komunis dan antek-antek Amerika.  Kontradiktif dan sulit diterima nalar, tetapi apa mau dikata, Munir sudah terlanjur jadi objek yang asyik buat dijadikan musuh nomor wahid. Saking masifnya propaganda intelejen itu, sampai-sampai ada tokoh-tokoh nasional yang keheranan ketika menemukan Munir bersalat Jumat di mesjid yang sama dengan mereka.

Tetapi, teror yang paling menyakitkan bagi Munir bukan ancaman hendak dijadikan sosis. Melainkan pada jam setengah satu siang ada seorang perempuan hamil yang mengadu kepada istrinya bahwa dirinya telah dihamili Munir. Untungnya, Suciwati yang saat itu sedang hamil, tidak terpancing. “Saya akan bela kamu supaya Munir bertanggungjawab. Tunggu sebentar,” pintanya. Tetapi ketika Suciwati kembali dari bersalin, perempuan itu sudah lenyap.

Munir dan Suciwati memang kompak. Barangkali soulmate. Saling memahami, saling kuat-menguatkan. Ketika ada dua aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang terkena pecahan bom Tanah Tinggi, dan Munir ngotot untuk tidak menyerahkan mereka kepada tentara. Karena berstatus buron, kedua aktivis itu tidak bisa dibawa ke dokter. Walhasil, selama tiga hari –deadline yang diberi para petinggi LBH waktu itu, Suciwati dan beberapa aktivis junior LBH yang sepaham dengan Munir, merawat mereka dibawah bayang-bayang penangkapan oleh Kopasssus.

Tetapi sebagai pekerja HAM, Munir juga bukan tanpa cacat. Waktu bergiat di LBH, ia pernah mempermak orang sampai masuk rumah sakit. Kali lain, ia juga pernah melempar gelas ke muka orang. Ia tahu bahwa kedua tindakannya itu tidak benar, tetapi emosi terkadang mengalahkan nalar. Uniknya, ketika Kontras diserbu preman, dan pemuda penggiat Kontras sudah bertekad tidak ada istilah mengalah, Munir malah berpikir untuk berdamai saja; agar penyerang itu dilepaskan dari jerat hukum. “Kupikir, biarin ajalah preman dilepas, musuhku toh yang lain,” katanya.

Segenap cerita ini, saya dapatkan dari buku Keberanian bersama Munir karangan Meicky Shoreamanis Panggabean. Sungguh buku yang menarik, karena darinya saya menemukan sosok Munir dari sisi manusia normal.

Betapa Munir yang besar itu ternyata baru mengenal kebijakan pengiriman tentara ke Aceh sewaktu ia nyaris tamat kuliah di jurusan hukum Universitas Brawijaya. Melalui perkawanan dengan Bambang Sugianto, seorang aktivis jalanan di kampusnya. Perdebatan mereka yang membawa Munir membaca buku-buku di luar mainstream, sampai akhirnya menemukan buku Cile, Revolusi Buruh-nya Arief Budiman. karakternya kian terbentuk setelah menelisik Nilai Identitas Kader-nya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang menurutnya cerdas radikal dan militan. Dari proses inilah Munir kemudian menemukan kembali ideologi anti penindasan.

Bagi mereka yang semasa kuliah gandrung berunjukrasa pasti akan menyebut betapa tidak istimewanya. Faktanya, banyak di antara mereka yang mengalami proses ini pada akhirnya terjebak pada ideologi mainstream. Lantas apa yang membedakan? Abdurahman Wahid menjawab bahwa dalam berjuang diperlukan penyatuan antara prinsip perjuangan dan tekad pribadi. Agaknya, Munir memiliki penyatuan itu.

Penyatuan prinsip dan tekad ini yang membuat Gus Dur hanya bisa termangu ketika Munir berencana menulis disertasi di negeri Belanda yang akan memaparkan sejumlah orang yang diduganya menjadi otak pelanggaran HAM berat di Indonesia. Gus Dur paham tak ada gunanya melarang, bagaimanapun Munir tetap akan melaksanakan niatnya itu. Dan sebagaimana yang kita ketahui, pada 7 September 2004, Munir tewas diracun dalam penerbangannya ke Belanda.

Kendati sama-sama berurusan dengan arsenik, penanganan kasus Munir tidak secepat dan semeriah persidangan Jessica Wongso. Sampai sekarang, setelah 12 tahun lamanya, aktor intelektual kasus  Munir masih misterius. Konon ia masih melenggang bebas dan menikmati gelimang kekuasaan.

Kendatipun begitu, saya amat yakin sang aktor tetap hidup dalam kegelisahan. Karena kepergian Munir tidak lantas membuat nilai dan prinsip lantas mati. Salah satunya adalah Aksi Kamisan, di mana sejak 18 Januari 2007, setiap Kamis sore, sekelompok orang berpayung hitam tegak mematung berjarak sepelemparan batu dari Istana Negara. Selama satu jam mereka berteriak dalam diam untuk menolak lupa; untuk mengingatkan pada pemimpin puncak negeri ini bahwa ada pekerjaan rumah  yang diwariskan dari presiden ke presiden yang belum lagi tuntas sampai hari ini.

Hari ini adalah Kamis yang ke-470 kalinya, Aksi Kamisan akan digelar. Tanggal dan bulan yang sama dengan waktu Munir dilahirkan, 52 tahun silam. Saya sungguh berharap berharap hari ini Jokowi mau meluangkan waktu untuk menyambangi Aksi Kamisan. Lantas di bawah naungan payung hitam yang ia pegang sendiri, Jokowi berucap, “Selamat Ulang Tahun Cak Munir! Hari ini atas nama pemerintah saya berjanji kasus Saudara dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya akan diusut tuntas. Dan mereka yang bersalah akan dihukum seadil-adilnya.” Lalu Presiden, minimal, memerintahkan jajarannya untuk berpuasa selfie sampai urusannya ini beres, dan memberi sanksi kepada mereka yang lelet apalagi sengaja menghambat. Dan publik akan mengawasi janji itu.

Tetapi, menurut saya mengenang Munir tidak cukup sebatas itu. Mengenang Munir bukan cuma urusan pemerintah dan aktivis Aksi Kamisan. Mengenang Munir juga harus dilakukan melalui gerakan internalisasi HAM dalam sendi-sendiri kehidupan, dan ini menjadi urusan kita bersama.

Bertekad menjadi Munir, kendati niscaya, tetapi amat ambisius. Maka, yang paling gampang adalah meneladani Munir sesuai dengan peran kita masing-masing. Seorang guru yang mengajarkan anak-anak didiknya tentang toleransi. Seorang tukang ojek yang tidak mengumpat-maki kepada mereka yang berbeda pandangan. Seorang buzzer pilkada yang tidak main fitnah. Seorang jurnalis yang menuliskan berita secara benar dan berimbang. Seorang atasan yang tidak bertindak diskriminatif kepada karyawannya karena soal SARA.

Tentu saja semakin tinggi posisi dan sumberdaya yang kita miliki akan semakin besar pula prinsip dan tekad Munir yang bisa kita teladani. Barangkali akan ada pengorbanan, tetapi setidaknya kita tidak perlu kuatir akan di-Munir-kan. (*)

MAKAR!

sumber simak.co.id

Jumat ini adalah hari besar di dusunku. Orang-orang dari dusun tetangga berduyun-duyun datang. Sejak pagi mereka sudah singgah ke Masjid Desa buat berwudu dan salat sunah, lalu menggelar sajadah di lapangan desa untuk bersalat Jumat. Sembari menunggu adzan, mereka khusu berdzikir. Hasrat yang bergelora bahkan membuat mereka tidak beranjak kendati hujan menerpa.

Seusai salat Jumat, Pak Kades naik ke atas panggung. Ia mengenakan pakaian kebesarannya, kemeja putih lengan panjang, dan berdehem-dehem sebelum memulai pidatonya.

“Terima kasih atas doa dan zikir yang telah dipanjatkan untuk keselamatan desa kita,” kata Pak Kades dengan suara bariton yang penuh keharuan. “Saya amat menghargai seluruh jamaah yang hadir tertib sehingga semua acara bisa berjalan dengan lancar. Terimakasih! Sekarang semua pulang dengan tertib ya.”

Sehabis Pak Kades bersama para dubalang dan punggawanya angkat kaki, giliran Pak Sorban yang naik ke panggung. Ia mengajak jamaah bernyanyi Menanam Jagung yang sudah diplesetkan.

“Tangkap, tangkap, tangkap Pak Uruk sekarang juga!” pandunya membakar semangat khalayak.

Pak Uruk adalah kepala dusun kami. Orangnya baik, tegas, tapi mulutnya ampun-ampunan. Ada desas-desus bahwa ia korup dan dibeking 9 saudagar dari seberang pulau. Tapi tahu apa aku yang cuma tukang godam pandai besi ini?

Yang jelas tempo hari Pak Uruk salah ucap, entah sudah yang keberapa kali. Lantas barisan Pak Sorban ngamuk. Aku juga ngamuk, istriku juga ngamuk, teman-temaku juga ngamuk. Lha, kalau kitab suci kami dinista orang masak kami diam-diam saja?

“Wah, aku melihatnya tidak begitu, ini bukan sekadar masalah agama,” kata Pak Guru, waktu aku bertanya pentingnya aksi 122 ini.

“Piye toh Pak?”

“Yang namanya beragama itu tak boleh dilarang-larang, apalagi sampai menista. Kena pasal HAM itu. Melanggar sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab itu. Mau mayoritas kek, mau minoritas kek, tak boleh.”

“Tapi kan Pak Uruk sudah diusut, Pak. Sudah dijadikan tersangka oleh hansip.”

“Betul, tapi kau tahu kan kalau hukum di desa kita ini masih amis kepentingan. Makanya penegakan hukum harus dikawal. Jangan terjebak kalau aksi 122 nanti tidak penting. Masak kau lupa gejolak di kampung kita dua dekade silam, waktu itu massa aksi yang menekan aparat hukum jadi satu garda terdepan agar kasus-kasus hukum bisa cepat diputus adil.”

“Apa nanti ndak bikin kian terpecah-belah toh, Pak?”

“Jangan paranoid begitu?”

“Paranoid itu apa ya, Pak?”

“Ketakutan amat sampai membabi-buta. Cobalah amati. Penduduk desa kita amat beragam, tapi selama ini aman-aman saja kan? Mengapa? Karena kita sudah sama-sama belajar bahwa kunci bhineka itu ya toleransi. Mayoritas tidak seenak udel, dan minoritas tahu diri. Ini bukan masalah mayoritas-minoritas. Ini masalah mentang-mentang berkuasa lantas mengusik keyakinan orang. Ini yang bikin bahaya.”

Lamunanku pecah selepas aba-aba bubar dilantangkan. Bergegas, kugulung sajadah yang sudah kuyup. Terompa berlumpur kukenakan. Lantas, aku bergerak menembus kerumunan khalayak. Mendadak, seseorang menepuk bahuku. Rupanya Pak Kacamata orangnya.

“Sudah dengar? Tadi subuh, ada tokoh-tokoh desa kita diringkus hansip. Si Gendang, Bintang, Pentung, Bayonet trus...ya pokoknya sembilan orang jumlahnya.”

“Lha, masalahnya apa?”

“Bikin rapat gelap buat menggulingkan Pak Kades. Permufakatan jahat. Makar!”

Telingaku serasa mendenging. Janggal sekali. “Memangnya mereka bisa apa?” tanyaku.

“Kalau mereka menghasut jamaah buat menyerbu rumah Pak Kades bagaimana? Atau jamaah digiring buat menduduki kantor tetua desa? Makanya mereka diringkus sebelum aksi.”

“Masak? Tak masuk akal ah!”

Seruan itu membuat kami berpaling. Pak Guru sudah ada di belakang kami.

“Jadi bagaimana toh Pak?” tanyaku.

“Makar itu bukan macam kenduri. Kita buat rapat, bisik-bisik dan sebar undangan, lalu orang-orang mau pada datang. Tidak semudah itu. Mau gerakan jamaah dari lapangan desa ke rumah Pak Kades atau kantor tetua desa itu kan tak gampang. Mau ngomong berbuih-buih pun amat sulit karena kita kan sudah sepakat ini aksi super damai. Zikir dan salat bareng biar semua penduduk desa teringat kembali makna dari bhineka.”

Pak Kacamata bersikeras, seraya menyisir rambut gondrongnya yang lepek oleh air hujan dengan jemarinya yang kurus. “Tapi mereka itu tokoh-tokoh desa, Pak. Mereka pasti punya pendukung.”

“Malah karena itu mereka tak mungkin serampangan. Bu Karunia itu contohnya, ia puteri kades pertama kita lho. Masak mau ujug-ujug bikin hancur demokrasi yang dibangun bapaknya. Pak Gendang itu artis tenar yang baru-baru ini coba jadi politisi, masak sekonyong-konyong mikir makar. Pak Bintang juga begitu, ia sudah kenyang ditangkap zaman Pak Kades ke-2, tak mungkin ia tidak belajar dari pengalaman. Pak Pentung dan Pak Bayonet itu bekas aparat keamanan desa, masak mereka tidak paham hukum? Tak masuk di pikiranku.”

“Tapi mereka kan bisa minta tetua desa buat bikin rapat penjungkalan Pak Kades?” sahut Pak Kacamata.

“Pemimpin tetua desa itu baru diganti. Sekarang ia pro Pak Kades, kan kemarin mereka baru makan siang di kantor desa. Lagipula para tetua desa itu kebanyakan pro siapa? Banteng, Bumi, Restorasi, Hati, Matahari sampai Beringin sudah pro Pak Kades. Garuda sudah ketemu Pak Kades. Mercy sudah bilang tak akan menjungkal Pak Kades. Jadi bagaimana caranya mau makar lewat tetua desa?”

“Hansip bagaimana? Pentung dan Bayonet itu kan bekas hansip?” kejar Pak Kacamata.

“Seberapa kuat pula dukungan buat mereka. Ingat, selepas aksi 114, Pak Kades langsung tebar mesem kepada kesatuan hansip. Komandan hansip juga tampaknya kian lengket dengan Pak Kades.”

“Jadi maksud penangkapan ini apa toh Pak?” tanyaku polos.

“Lha ini! Tapi ini umpama lho ya. jangan diseriusin,” Pak Guru cengegesan. “Targetnya ya cuci muka. Kan, tempo hari sesudah aksi 114 santer maklumat ada aktor politik, trus makar, trus teroris. Yang teroris sudah pelan-pelan dibunyikan ke telinga orang-orang desa. Yang aktor politik sudah sukses diarahkan ke satu kalangan kendati buktinya cuma isapan jempol. Nah, yang makar kan belum diangkat.”

Pak Kacamata menetak, “Lha, tapi kan bisa lain waktu. Kenapa harus sebelum aksi 122 ditangkapnya?”

“Ya, itu dia. Bisa jadi biar kesannya bagus. Biar orang-orang desa langsung paham. ‘O, ternyata isu makar itu bener toh!’ Nah, sewaktu pikiran orang-orang desa sudah terbawa ke arah sana, Pak Kades langsung muncul di tengah jamaah, kasih pidato apik. Plok! Ia kembali jadi hero!”

“Ah, ini pasti karena Pak Guru ndak suka sama Pak Kades. Makanya tindakan Pak Kades selalu salah di mana Pak Guru,” gerutu Pak Kacamata.

“Lha, kamu ini bagaimana? Aku kan turut teriak-teriak dukung Pak Kades di pilkades tempo hari.

Masak kau lupa. Kau kebagian kaosnya juga kan?”

Pak Kacamata pun mesem-mesem seraya garuk-garuk kepala.