Revolusi Mental Perburuhan


Salah satu agenda Nawacita yang paling didebatkan publik adalah revolusi mental. Ironisnya, lebih dari setahun sejak Jokowi – Jusuf Kalla menjabat, penetrasian revolusi mental dalam setiap sektor kehidupan berbangsa dan bernegara terkesan bias. Sampai sekarang publik belum memiliki panduan serius tentang revolusi mental. Satu-satunya yang tersepakati tentang revolusi mental adalah menggalakan kembali pembangunan karakter untuk mempertegas kepribadian dan jati diri bangsa sesuai dengan amanat Trisakti Soekarno. Bagaimana cara? Ini yang masih belum terjawab. 

Bicara Trisaksi Soekarno adalah bicara Pancasila. Dalam pidato Bung Karno pada sidang BPUPK 1 Juni 1945, ditegaskan bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia. Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa, dari jiwa dan kepribadian bangsa, dari menjadi perjanjian luhur bangsa Indonesia. Dalam upaya ‘menyederhanakan’ Pancasila agar lebih mudah dipahami, Bung Karno memerasnya menjadi Trisila, bahkan Ekasila –gotong royong. Menurut Yudi Latif, gotong royong inilah yang kemudian menjiwai sila-sila dalam Pancasila. 

Dalam kondisi dan situasi hubungan industrial saat ini, semangat gotongroyong tidak terejahwantahkan. Jejak langkah pemerintah untuk melakukan penetrasian belum bernas. Harmonisasi yang menjadi semangat pemberlakuan pelbagai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan contohnya, hanya kian memicu unjukrasa buruh.  Pasalnya, selama ini permufakatan buruh-pengusaha bukan dalam konteks keadilan sosial. Musyawarah didominasi oleh pertarungan menang-kalah. Bahkan kalah-kalah, seperti hengkangnya Siemens, Japan Servo, Seagate, Xenon, Sun Creation dari Batam beberapa waktu silam. Padahal, buruh-pengusaha sejatinya sama-sama berkepentingan untuk membangun perusahaan yang bisa menciptakan keadilan sosial.

Trauma Sejarah 
Perseteruan ini tidak bisa dilepaskan dari jejak masa silam. Sekian lama gerakan buruh diberangus, hak-hak buruh ditindas. Penindasan buruh dilakukan pemerintah Orde Baru secara tertata dan sangat efektif. Pertama, periode 1966-1970, di mana segala pengorganisasian serikat buruh dilarang, karena hampir semuanya adalah produk Orde Lama di mana gerakan buruh begitu dihargai. 

Kedua,  periode 1970-1990, di mana militer terjun mengoptasi segenap kekuatan serikat buruh. Bahkan periode ini, cengkeraman militer sampai ke pabrik-pabrik. Mereka mengintervensi proses pemilihan pemimpin serikat buruh, mengunting partisipasi politik buruh, mengendalikan segenap tuntutan buruh, sampai mencegah berkembangnya serikat buruh kritis dan radikal. Dan terakhir, periode 1990-1998, dengan politik gincu Hubungan Industrial Pancasila. Nilai-nilai Pancasila diperkosa demi membangun citra pemerintah yang  responsif-akomodatif terhadap tuntutan buruh. Pola penataan gerakan buruh sukses menciptakan stabilitas ekonomi dan politik. 

Banyak investor masuk Indonesia karena tergiur politik upah murah dan situasi gerakan buruh yang macan ompong. Para pengusaha bisa memetik keuntungan besar selama era Orba. Di lain sisi, buruh hidup dipagut kemiskinan. Tak jarang buruh harus lembur atau mengambil pekerjaan sambilan demi memenuhi kebutuhan hidup. Jejaring rentenir menjerat. Jika ditelisik, mayoritas buruh kasar hari ini adalah generasi kedua atau ketiga dari masyarakat buruh era Orba yang akibat kemiskinan orangtuanya terpaksa putus sekolah. Politik upah murah adalah instrument kemiskinan terstruktur. 

Jika paska reformasi gerakan buruh terkesan ‘gila-gilaan’, mohon dimaklumi. Jika pada periode 2010-2015, upah buruh melenting secara eksponensial, janganlah buruh disebut tidak tahu diri. Jika buruh menuding para pengusaha adalah pendusta besar, jangan langsung dicap arogan. Ibarat pegas yang ditekan sekian lama, gerakan buruh hanya membalas tekanan masa silam. Jejak tangan pemerintah Orba yang berkongsi dengan keserakahan pengusaha di masa lalu adalah pangkal balanya. 

Saham Buruh 
Revolusi mental perburuhan tidak bisa tegak di atas perseteruan buruh dan pengusaha. Hubungan industrial yang berjiwa gotongroyong mustahil tumbuh di lading kecurigaan. Langkah pertama untuk melaksanakan revolusi mental perburuhan adalah mengerus perseteruan ini melalui politik etis perburuhan. Sudah sewajarnya pengusaha membayar kembali hak buruh yang mereka rampas dari buruh selama kurun Orba. Bukan sekedar lentingan upah minimum selayak yang digembor-gemborkan hari ini. Tetapi segenap kerugian yang diderita akibat politik upah murah di masa lalu dikalkulasikan untuk kemudian dikembalikan kepada kalangan buruh. Pengembaliannya bukan secara orang perorang, melainkan dalam bentuk saham buruh. 

Mengapa saham buruh? Pertama, karena jika perusahaan dipaksa untuk membayar secara langsung dikuatirkan akan terjadi defisit modal kerja yang tinggi. Lagipula, belum tentu buruh tertindas di era Orba itu masih bekerja di perusahaan. Kedua, saham buruh bisa memutus kebuntuan komunikasi antara buruh dan pengusaha. Dengan memiliki perwakilan di RUPS, buruh bisa benar-benar mengetahui situasi dan kondisi perusahaan yang sejujur-jujurnya. Kecurigaan akan strategi tipu-tipu ala pengusaha bisa diminimalisir. Lagipula, pada sidang RUPS, buruh bisa mengawal dan mengusulkan kebijakan yang berpihak pada pekerja. Ketiga, saham buruh terkait dengan azas produktivitas yang digembor-gemborkan pengusaha. Peningkatan produktivitas akan membuat pendapatan perusahaan meningkat. Muaranya adalah tambahan pendapatan bagi buruh dari dividen saham buruh di perusahaan. Melalui saham perusahaan,  buruh juga sebagai pemilik. Sehingga motivasi kerja mereka juga akan meningkat. Bukankah hal ini yang disasar oleh revolusi mental perburuhan. Pemerintah berperan untuk mendorong penerapan politik etis perburuhan. Kelihaian Jokowi-Jusuf Kalla diperlukan guna meyakinkan akan tanggungjawab moral pengusaha untuk membayar kembali keuntungan besar yang mereka terima akibat kebijakan penindasan buruh selama Orde Baru. Sebagai apresiasi, pemerintah bisa memberikan insentif bagi pengusaha yang menerapkan politik etis. 

Apalagi, visi-misi Jokowi-Jusuf Kalla, versi naskah 42 halaman, secara tegas menyebut pemberian insentif  kepada perusahaan yang memberikan hak kepada pekerja untuk dapat membeli saham perusahaan. Perbedaannya adalah cara kepemilikannya. Bukan membeli, tetapi kompensasi bagi buruh atas penindasan masa silam. Terlepas dari dibeli atau kompensasi, pemerintah secara tegas sepakat bahkan siap untuk mendorong adanya saham perusahaan bagi kalangan buruh. Maka politik etis perburuhan adalah langkah awal dalam penerapan revolusi mental perburuhan. 

Politik etis perburuhan adalah itikad baik pengusaha, bahwa mereka telah siap menjadikan buruh sebagai mitra kerjanya. Penyelesaian trauma masa lalu bisa meredam saling curiga antara buruh dan pengusaha yang menjadi akar ketidakstabilan hubungan industri di tanah air. Jika politik etis perburuhan tidak dilakukan, maka revolusi mental perburuhan berpotensi besar menjadi jargon. 

Hubungan industrial yang dijiwai semangat gotongroyong akan sulit hidup di bumi Indonesia. Perseteruan buruh-pengusaha tidak kunjung meredup. Sebaliknya, peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah hanya akan berbuah penolakan, baik secara wacana maupun unjukrasa. Padahal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata. Tantangan perekonomian global kian kompleks, sementara industri tanah air terus saja tidak stabil. Jika demikian, siapa yang akan dirugikan?

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hendriteja2029/revolusi-mental-perburuhan_56826703737a618614d16d0f

0 komentar:

Posting Komentar