HAM dan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga


Perlindungan HAM di Indonesia secara serius baru dilaksanakan paska reformasi, yang ditandai dengan penerbitan UU No. 39/2000 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dewasa ini, perlindungan HAM memang telah merasuk ke segenap sektor kehidupan di tanah air, tetapi realisasinya masih sangat perlu diperkuat.
Bukan hanya secara umum, juga secara domestik, pada tatanan rumah tangga.
Salah satunya adalah perlindungan HAM bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Perlu dicatat bahwa PRT bukan sekadar ‘si bibi’. Pekerjaan kerumahtangaan terdiri dari di dalam dan di luar rumah tangga. Dalam lingkup di dalam rumah tangga mereka termasuk penata laksana rumah tangga, pembantu pelayan jompo, baby sitter, penjaga dan pengasuh anak. Di luar rumah tangga, meliputi tukang kebun, supir pribadi, satpam pribadi, dan guru les privat di rumah.
Selama ini yang dominan terekspos adalah PRT ‘si bibi’. Nyatanya, pelanggaran HAM terhadap ‘si bibi’ ini sudah bisa membuat kita tercenung. Grafik kekerasan terhadap PRT terus meningkat tajam. Jaringan Nasional Advokasi PRT mencatat, sejak 2007 sampai 2011 terjadi 726 kekerasan berat terhadap PRT di Indonesia. Pada periode 2012-2013, naik menjadi 653 orang, kemudian pada 2014 menjadi 408 orang. Terakhir, sampai Oktober 2015, sudah tercatat 376 kasus kekerasan terhadap PRT.
Hak-hak yang acap dilanggar adalah hak atas upah, hak untuk batasan jam kerja, hak beristirahat, hak libur, hak untuk keluar rumah, hak berkomunikasi, hak berorganisasi, hak mendapatkan perlakuan manusiawi, hak mendapatkan jaminan sosial. Fenomena ini kontradiktif dengan UUD 1945 pasal 28 D ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Perlu dicatat bahwa kekerasan terhadap PRT tidak terbatas kekerasan psikis. Sekitar 85 persen kasus kekerasan terhadap PRT pada 2007-2011, berbentuk penyekapan, penganiayaan hingga luka berat, sampai kehilangan nyawa. Sampai Oktober 2015, 65 persen dari total kasus kekerasan terhadap PRT, adalah multi kekerasan; seperti upah yang tidak dibayar, penganiayaan dan pelecehan, sampai perdagangan manusia. Dalam konteks UU Pengadilan HAM, bentuk-bentuk kekerasan tersebut adalah pelanggaran HAM berat, yang bisa dikategorikan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ironisnya, hal ini terjadi pada lingkup pergaulan terkecil manusia, yaitu rumah tangga.
Kesadaran di Rumah Tangga
Orang tua sejatinya adalah panutan dan tauladan bagi anak-anaknya. Setiap perilaku mereka secara tidak langsung akan dicontoh oleh si anak. Menjaga perilaku selayaknya dilakukan oleh orangtua jika ingin anak-anak tumbuh dengan memiliki budi pekerti dan tatakrama yang baik. Sehingga, ketika orangtua melakukan kekerasan terhadap PRT, secara tidak langsung mereka mendidik anak-anaknya untuk menjadi pelanggar HAM di masa depan.
Tapi hal ini jelas bukan sekadar kekuatiran atas penciptaan generasi “penjahat kemanusiaan” di masa depan. Sebelum itu, para majikan harus memahami bahwa PRT berkontribusi penting untuk kelancaran fungsi rumah tangga kami. PRT mungkin membersihkan, memasak, menyeterika pakaian, merawat kebun, atau merawat anak-anak dan para orangtua.
Dan sebelum pemahaman akan profesionalisme tersebut, para majikan harus paham bahwa PRT ada manusia, sehingga pada PRT melekat seperangkat hak azasi sebagai anugerah Tuhan dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi. Perlindungan ini bukan karena belas atau takut pada hukum negara dan hukum tuhan, lebih jauh dari itu adalah karena hal itu adalah kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia sebagaimana yang dimiliki para majikan itu sendiri.
Sehingga membuat pekerjaan yang layak bagi PRT bukan hanya kewajiban majikan, tetapi kebutuhan bagi kehormatan kemanusiaan mereka. Mereka bisa memulai dengan melakukan hal-hal yang kasat mata terlebih dahulu, seperti memperlakukan PRT dengan hormat, mengakui kontribusi PRT bagi kehidupan mereka, membayar upah yang layak, dan menjamin istirahat yang cukup, serta memberikan tempat tinggal yang layak.
UU Perlindungan PRT
Membangun kesadaran semacam ini butuh waktu panjang, mengingat budaya feodal, warisan era kerajaan, masih melekat di banyak orang Indonesia. Apalagi ditambah dengan rendahnya pendidikan PRT, dan sangat kurangnya para pendamping. Sehingga perlawanan PRT boleh disebut perlawanan sendirian. Wajar saja jika kasus kekerasan terhadap PRT dominan selesai secara kekeluargaan, tidak berlanjut ke persidangan. Faktanya pemaafan terhadap pelaku kekerasan tidak menimbulkan efek jera.
Dalam konteks ini UU perlindungan terhadap PRT menjadi penting. Terlebih mengingat lingkup kerja PRT sangat khas karena biasanya tinggal serumah majikannya. Pada wilayah ini terdapat hubungan psikologi, hubungan sosial bahkan hubungan kerja yang bercampur jadi satu. Tetapi sisi negatifnya, kekerasan terhadap PRT bisa berlaku setiap saat, 24 jam malah.
Masalahnya interpretasi UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan, dalam hubungan kerja, tidak bisa menjangkau PRT. Majikan tidak bisa dimaknai sebagai pengusaha, sehingga PRT tidak mendapatkan perlindungan yang diberikan UU selayak pekerja lainnya. Tidak ada pengadilaan hubungan industrial bagi PRT. PP No. 78 /2015 tentang pengupahan tidak berefek terhadap PRT. Tidakkah hal ini bisa dikategorikan sebagai diskriminasi?
PRT tidak bisa berharap terhadap Permenaker No. 2/2015 tentang Perlindungan Terhadap PRT. Peraturan ini tidak bisa menjangkau UU No.13 tahun 2003 dalam hubungan kerja. Terlebih, peraturan tersebut tidak memerinci hak-hak PRT seperti standarisasi upah, pengaturan jam kerja dan waktu istirahat, cuti mingguan, cuti tahunan, hak berkomunikasi dan berserikat, serta perjanjian tertulis dan bukan lisan. Jikapun diperinci, tanpa penegasan dalam UU, pelanggarannya akan dianggap sebagai khilaf semata, sebagai sesuatu yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Ini tentu ironis karena sebagai negara penjunjung HAM, belum tampak political will pemerintah untuk melindungi PRT.
Keseriusan pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla perlu dipertanyakan. Pasalnya, dalam naskah visi-misi versi 48 halaman, mereka secara tegas menyatakan akan mendorong pengesahan UU perlindungan PRT. Dengan terbentuknya Partai-partai Pendukung Pemerintah (P4) paska bergabungnya PAN, kursi DPR pendukung pemerintah sudah mayoritas. P4 dengan 256 kursi DPR, sementara KMP menyusut menjadi 243 kursi. Jadi, apalagi yang ditunggu?

0 komentar:

Posting Komentar