HARMONISASI HUBUNGAN BURUH - PENGUSAHA


Presiden Jokowi sedang merumuskan formulasi penentuan upah buruh. Hal ini disebut-sebut guna memberikan kepastian bagi pengusaha, mengingat formulasi upah minimum buruh senantiasa ditentukan setiap tahun. Kali ini, rencananya formula ini bisa diterapkan dalam jangka lima tahun.

Melalui formula ini, tuntutan buruh di mana upah minimum akan naik setiap tahun dipastikan akan terjadi. Namun, apakah formula itu nantinya bisa menjawab indikator yang adil dan cukup belum terjawab. Apakah kenaikan tersebut mencukupi buruh untuk bisa memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) belumlah terjawab.

Yang jelas, sebagai suatu formula, kebijakan taktis ini bisa membuka ruang baru dalam harmonisasi hubungan industrial tanah air yang sekian lama dibalut saling curiga. Perkara upah minimum hanya satu bagian kecil dalam permasalahan hubungan industrial di tanah air.

Saling Curiga
Relasi buruh dan pengusaha yang dibalut saling curiga sejatinya lahir dari satu pemikiran dasar yang bertolak belakang. Pengusaha, sebagai pemilik capital, memandang buruh hanya sebatas faktor produksi. Buruh tidak beda dengan mesin, lahan, atau bahan baku sehingga penggunaannya diefektifkan dan diefisiensikan agar harga produk rendah, kualitas tinggi, dan deliver produk yang cepat. Muaranya adalah pemaksimalan keuntungan bagi pengusaha. Dalam kerangka ini maka paradigm yang dimajukan adalah produktifitas. Semakin produktif, maka reward bagi buruh akan semakin tinggi.

Di lain sisi, belakangan ini buruh tengah berjuang untuk memposisikan diri sebagai mitra pengusaha. Jika pengusaha memberikan kapital bagi perusahaan, maka buruh menyumbang tenaga dan pikirannya. Mereka sama-sama pemilik faktor produksi. Tuntutan kesetaraan posisi kian menguat seiring diberlakukannya UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja. Apalagi  menolak dan masuk serikat buruh sudah masuk ke dalam ranah HAM.

Buruh terpaksa menggunakan paradigma bargaining, karena posisi mereka dianggap lemah oleh pengusaha. Instabilitas yang terjadi dalam pasar tenaga kerja di Indonesia, terlebih dengan parade PHK buruh belakangan ini, membuat posisi pengusaha sangat kuat.

Menurut Rieke Diah Pitaloka, Anggota Komisi IX DPR RI FPDI Perjuangan, pada periode Januari-September 2015 telah terjadi PHK sebesar 79.425 orang. Dalam konteks ini, buruh terpaksa menggunakan dua jurus utama. Pertama, aksi-aksi menyebalkan untuk menarik perhatian publik, unjuk rasa besar-besaran sampai menutup jalan tol. Kedua, aksi menggangggu produktifitas, seperti mogok masal, sehingga buruh dan pengusaha sama-sama merugi.

Pemerintah Belah Sebelah
Buruh bukannya enggan memajukan paradigm produktivitas. Tetapi dalam banyak kasus, produktivitas tidak linier dengan reward yang didapat. Metode ini acap tidak konsisten. Sebagai contoh, Publikasi Asian Productivity (2014) mencatat bahwa produktivitas per pekerja di Indonesia  adalah sebesar 20 ribu $USD. Indonesia hanya kalah dari Thailand (22,9 $USD), Malaysia (46,6 $USD) dan Singapura (114,4$USD). 

Produktivitas buruh Thailand dan upah buruhnya yang lebih rendah dari Indonesia kemudian dijadikan senjata oleh Kementerian Perindustrian untuk menekan tuntutan kenaikan upah buruh. Hal ini memperkuat stigma buruh bahwa pemerintah dalam banyak kasus sering berperan sebagai antek-antek pengusaha. Cacat taktik ini adalah perbandingan yang tertutup.

Jika dibandingkan lebih luas, produktivitas Indonesia lebih tinggi dari Tiongkok (16,9 ribu $USD), Filipina (14,7 ribu $USD), India (11,9 ribu $USD), Vietnam (7,9 ribu $USD), Myanmar (6,7 ribu $USD) dan Kamboja (4,6 ribu $USD). Ironisnya upah buruh Tiongkok, Filipina dan Vietnam justru jauh lebih besar dari Indonesia. Hasil analisis The Economist Intelligence Unit (EIU), menyebut buruh Indonesia hanya menerima 74 sen per jam. Sedangkan buruh Tiongkok menerima US$ 4,79 per jam, Filipina US 3,15 per jam, dan Vietnam US$ 3,16. Bukankah ini ketimpangan?

Harmonisasi Hubungan Industrial  
Pendekatan produktifitas dan bargaining semata mustahil mampu membangun relasi produktif-manusiawi antara buruh dan pengusaha. Tetapi tetap ada jalan tengah. Agus Sudono pernah merumuskan jawaban. Menurut tokoh buruh tiga zaman ini, hubungan pengusaha dan buruh sebaiknya didasarkan pada tiga asas kemitraan, yaitu produksi, berbagi keuntungan dan pertanggungjawaban.

Buruh dan pengusaha sama-sama berkontribusi bagi perusahaan. Sehingga keduanya harus mau berbagi keuntungan. Karena kesejahteraan keduanya terkait kemajuan perusahaan, maka mereka wajib menciptakan iklim kerja kondusif demi keberlanjutan perusahaan.

Kuncinya adalah perluasan akses pekerja dalam pengambilan keputusan perusahaan.  Agar legal dan paripurna sebaiknya ada saham pekerja. Sayangnya, karena dinilai akan mengerogoti dominasi pengusaha, gagasan ini layu sebelum berkembang.  Belakangan saham pekerja menjadi  salah satu tujuan serikat buruh sebagaimana termaktub dalam UU No 21 Tahun 2000, kendati belum menjadi kewajiban pengusaha.

Mirip dengan Sudono, dalam Teologi Buruh (2008), Abdul Jalil merumuskan hubungan industrial berbasis syirkah inan-ijarah. Ini adalah kombinasi perjanjian kemitraan dengan kontrak kerja buruh-majikan. Jalil merekomendasikan agar buruh-pengusaha berbagi untung-rugi (profit loss sharing) sesuai kesepakatan. Jika pengusaha dan buruh sudah berbagi keuntungan, otomatis mereka akan bekerjasama mengejar produksi optimun. Pintu masuk Jalil adalah ruang bagi buruh untuk berkontribusi dalam pembentukan modal perusahaan. Buruh turut menjadi pemilik perusahaan. Sehingga pengusaha wajib melibatkan buruh dalam penyusunan kebijakan perusahaan.

Kemitraan buruh-pengusaha ini dalam teori manajemen modern lazim disebut gainsharing. Model ini mulai berkembang di Eropa dan Amerika Serikat pada dekade 80-an sebagai jalan tengah. Buruh bukan lagi sebatas alat produksi perusahaan, objek dalam kapitalisme. Sebaliknya, model ini juga menolak buruh sebagai penguasa mutlak alat produksi seperti yang ditekankan kalangan sosialis.

Kini bentuk praktik gainsharing kian beragam. Bentuk yang paling populer adalah bonus ketika output melebihi target (production sharing plans) dan bonus terlepas kinerja buruh (profit sharing plans). Belakangan saham pekerja (employee stock ownership plans) juga diadopsi.

Dalam kondisi relasi buruh-pengusaha di Indonesia yang buruk, ketiga bentuk ini sebaiknya dipraktikan sekaligus. Ambil contoh kasus buruh perkebunan karet dan sawit yang harga produknya tergantung pasar dunia.  Production sharing plans mudah dihitung, tapi bagaimana jika harga kedua komoditas itu melonjak di pasar dunia? Tidak layakkah jika buruh turut mengecap manisnya durian runtuh itu? Lagipula profit rill perusahaan akan lebih dipercaya jika disampaikan kepada komisoner perusahaan yang merupakan representasi dari kalangan buruh.

Melalui gainsharing, buruh akan menanggapi positif target produksi perusahaan. Hubungan harmonis seperti ini yang sesungguhnya dituntut oleh perekonomian pancasila yang mulai kita lupakan.


0 komentar:

Posting Komentar