Dianiaya DPR, Pekerja Rumah Tangga Melawan



Topiah, Pekerja Rumah Tangga (PRT), mengaku kerap dianiaya majikannya,  Fanny Afriansyah alias Ivan Haz, anggota DPR. Dia  mengaku kerap ditendang dan dibenturkan ke tembok oleh putera mantan Wapres Hamzah Haz tersebut.  Akibatnya, kepalanya dijahit dan telinganya robek sehingga harus dioperasi. Dia juga mengaku hanya diberi makan hanya sekali sehari, dan dua bulan upah kerjanya belum dibayar. Karena tidak tahan lagi, Topiah kabur dan kemudian melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian.

Pelaku Kekerasan Bisa Siapa Saja
Sebelum kasus Topiah mencuat, media telah ramai mempublis keluarga pengusaha batu permata di Medan, serta tiga janda paruh baya di Tangerang Selatan. Di Depok, seorang PRT tua dianiaya oleh seorang PNS yang juga istri polisi. Di Bogor, pelakunya istri purnawirawan jenderal polisi.

Belakangan, pada Juli 2015, sempat mencuat oknum Brimob Polda NTT menganiaya seorang PRT anak. Seorang polisi yang nyambi sebagai debt colector pun sempat kedapatan menganiaya PRT di Bogor.  Lantas, kendati sulit dipercaya, bukan tidak mungkin seorang anggota DPR pun melakukan hal yang sama.
Kasus ini kian menyedot perhatian, karena selain anggota DPR, Ivan Haz adalah putera mantan wapres yang pernah menjadi ketua umum PPP. Sebagai pembuat UU, secara otomatis anggota DPR adalah kalangan pertama yang diwajibkan taat dan patuh akan peraturan perundang-undangan.

Sebagai putera Hamzah Haz dan politisi parpol Islam, tentu ada nilai-nilai humanis yang harus kukuh dipegang.  Sehingga menjadi tandatanya besar, kesalahan apa yang dilakukan Topiah sehingga rela kabur dengan memanjat pagar dan akhirnya terjatuh. Artinya ada ketakutan mahabesar di sini.

Damai = Tidak Ada Efek Jera
Menariknya, Ivan sempat menyesalkan, mengapa urusan ini tidak diselesaikan secara kekeluargaan. Mengapa Topiah sampai harus lapor polisi. Pernyataan ini adalah fenomena yang terjadi pada mayoritas kasus dugaan penganiayaan PRT. Data JALA PRT mencatat terjadi 408 kasus kekerasan terhadap PRT di mana 85 % diantaranya terhenti proses hukumnya di kepolisian. Artinya 347 kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan.

Perdamaian ini tidak terlepas dari latar belakang PRT sebagai kalangan buruh yang paling lemah posisinya. Bukan sekadar karena mayoritas berpendidikan rendah, tetapi juga faktor kuantitasnya yang bisa dihitung jari dalam satu rumah tangga. Jika buruh industri bergerak dalam wadah unit kerja, maka perjuangan PRT cenderung individual. Dan perjuangan perorangan selalu dihantui oleh rasa takut yang berlebihan.

Walhasil, ketika kekerasan terjadi, PRT lebih cenderung memilih damai ketimbang bertarung demi mendapatkan hak-haknya. Fenomena ‘nrimo’ akan kian kental jika dalam penuntutan tersebut, PRT tidak didampingi oleh relawan buruh yang bisa membangkitkan kepercayaan dirinya.

Kedua, karena tidak ada sanksi atas pelanggaran hak-hak PRT dari sisi majikan khususnya. Tidak ada rujukan payung hukumnya karena UU Perlindungan PRT belum ada, sementara UU No. 13 Tahun 2003 tidak memasukan PRT sebagai buruh atau tenaga kerja.

Sebagai buruh, PRT sejatinya memiliki hak-hak normatif  diantaranya standarisasi upah, pengaturan jam kerja dan waktu istirahat, cuti mingguan, dan tahunan, hak untuk berkomunikasi dan berserikat serta perjanjian kerja tertulis, bukan sekedar lisan.  Tetapi karena tidak ada rujukan payung hukumnya, polisi sulit menindak pelanggaran hak-hak tersebut.

Pasalnya, UU Perlindungan PRT belum ada, sementara UU No. 13 Tahun 2003 tidak memasukan PRT sebagai buruh atau tenaga kerja. Sehingga yang bisa ditindaklanjuti biasanya ketika PRT telah mendapat kekerasan secara fisik. Majikan pelakunya kemudian dikenakan pasal kekerasan dalam rumah tangga. Jadi tindak kekerasannya yang ditindak, bukan pelanggaran terhadap hak-hak PRT-nya.

Fenomena ini menjadi persoalan pelik karena kekerasan terhadap PRT tidak terjadi secara ujug-ujug. Kekerasan terhadap PRT biasanya terjadi setelah hak-hak normatif diatas dilanggar, dan PRT tidak berdaulat untuk melawan.

Jika sejak pelanggaran hak-hak normatif PRT, para majikan telah diberi sanksi, kekerasan terhadap PRT akan bisa diminimalisir. Sayangnya tidak ada payung hukum yang bisa mengantisipasi kejadian-kejadian ini. Maka tak heran jika publik baru meledak ketika PRT sudah melapor ke polisi dalam kondisi berdarah-darah.

UU Perlindungan PRT
Sejatinya, Kementerian Tenaga Kerja telah mencoba menjawab dengan menerbitkan Permenaker No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT. Tetapi peraturan ini tidak bisa menjawab masalah secara komprehensif. Permenaker No. 2 Tahun 2015 sejatinya lebih berorientasi pada perlindungan PRT atas ‘kejahatan’ penyalur. Subjek hukum Permenaker bukan majikan, tetapi perusahaan penyalur. Sehingga sanksi yang diberikan adalah teguran dan pencabutan izin. Permenaker ini tidak berdaya untuk menjawab aksi-aksi kekerasan fisik dan non fisik yang dilakukan para majikan. Apalagi dalam Permenaker tersebut, pemerintah tidak membuka ruang bagi PRT  ke lembaga penyelesaian perselisihan, seperti pengadilan atau dinas ketenagakerjaan.

Satu-satunya cara adalah dengan menerbitkan UU Perlindungan PRT. Sejatinya UU PRT merupakan salah satu janji politik yang termaktub dalam visi dan misi Jokowi-Jusuf Kalla. Nyatanya para wakil rakyat yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat di DPR nyaris tak berbunyi. Bahkan Menaker Hanif Dhakiri secara resmi tidak merekomendasikan RUU PRT untuk masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.

Padahal, draft UU Perlindungan PRT versi masyarakat sejatinya sudah diserahkan kepada DPR sejak sepuluh tahun silam. Tebar janji dari pimpinan DPR sampai pimpinan Komisi IX yang membidangi  Kenegarakerjaan juga sudah terjadi. Tetapi nasib RUU PRT tidak jelas ujung pangkalnya. Bahkan, RUU Perlindungan PRT ditolak masuk prioritas Prolegnas 2015 oleh DPR, yang didalamnya termasuk Ivan Haz, majikan yang dituduh telah menganiaya PRT-nya. Jadi, kepada siapa lagi PRT harus berharap?

*pernah dimuat di gerilyanews dan kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar