HARMONISASI HUBUNGAN BURUH - PENGUSAHA


Presiden Jokowi sedang merumuskan formulasi penentuan upah buruh. Hal ini disebut-sebut guna memberikan kepastian bagi pengusaha, mengingat formulasi upah minimum buruh senantiasa ditentukan setiap tahun. Kali ini, rencananya formula ini bisa diterapkan dalam jangka lima tahun.

Melalui formula ini, tuntutan buruh di mana upah minimum akan naik setiap tahun dipastikan akan terjadi. Namun, apakah formula itu nantinya bisa menjawab indikator yang adil dan cukup belum terjawab. Apakah kenaikan tersebut mencukupi buruh untuk bisa memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) belumlah terjawab.

Yang jelas, sebagai suatu formula, kebijakan taktis ini bisa membuka ruang baru dalam harmonisasi hubungan industrial tanah air yang sekian lama dibalut saling curiga. Perkara upah minimum hanya satu bagian kecil dalam permasalahan hubungan industrial di tanah air.

Saling Curiga
Relasi buruh dan pengusaha yang dibalut saling curiga sejatinya lahir dari satu pemikiran dasar yang bertolak belakang. Pengusaha, sebagai pemilik capital, memandang buruh hanya sebatas faktor produksi. Buruh tidak beda dengan mesin, lahan, atau bahan baku sehingga penggunaannya diefektifkan dan diefisiensikan agar harga produk rendah, kualitas tinggi, dan deliver produk yang cepat. Muaranya adalah pemaksimalan keuntungan bagi pengusaha. Dalam kerangka ini maka paradigm yang dimajukan adalah produktifitas. Semakin produktif, maka reward bagi buruh akan semakin tinggi.

Di lain sisi, belakangan ini buruh tengah berjuang untuk memposisikan diri sebagai mitra pengusaha. Jika pengusaha memberikan kapital bagi perusahaan, maka buruh menyumbang tenaga dan pikirannya. Mereka sama-sama pemilik faktor produksi. Tuntutan kesetaraan posisi kian menguat seiring diberlakukannya UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja. Apalagi  menolak dan masuk serikat buruh sudah masuk ke dalam ranah HAM.

Buruh terpaksa menggunakan paradigma bargaining, karena posisi mereka dianggap lemah oleh pengusaha. Instabilitas yang terjadi dalam pasar tenaga kerja di Indonesia, terlebih dengan parade PHK buruh belakangan ini, membuat posisi pengusaha sangat kuat.

Menurut Rieke Diah Pitaloka, Anggota Komisi IX DPR RI FPDI Perjuangan, pada periode Januari-September 2015 telah terjadi PHK sebesar 79.425 orang. Dalam konteks ini, buruh terpaksa menggunakan dua jurus utama. Pertama, aksi-aksi menyebalkan untuk menarik perhatian publik, unjuk rasa besar-besaran sampai menutup jalan tol. Kedua, aksi menggangggu produktifitas, seperti mogok masal, sehingga buruh dan pengusaha sama-sama merugi.

Pemerintah Belah Sebelah
Buruh bukannya enggan memajukan paradigm produktivitas. Tetapi dalam banyak kasus, produktivitas tidak linier dengan reward yang didapat. Metode ini acap tidak konsisten. Sebagai contoh, Publikasi Asian Productivity (2014) mencatat bahwa produktivitas per pekerja di Indonesia  adalah sebesar 20 ribu $USD. Indonesia hanya kalah dari Thailand (22,9 $USD), Malaysia (46,6 $USD) dan Singapura (114,4$USD). 

Produktivitas buruh Thailand dan upah buruhnya yang lebih rendah dari Indonesia kemudian dijadikan senjata oleh Kementerian Perindustrian untuk menekan tuntutan kenaikan upah buruh. Hal ini memperkuat stigma buruh bahwa pemerintah dalam banyak kasus sering berperan sebagai antek-antek pengusaha. Cacat taktik ini adalah perbandingan yang tertutup.

Jika dibandingkan lebih luas, produktivitas Indonesia lebih tinggi dari Tiongkok (16,9 ribu $USD), Filipina (14,7 ribu $USD), India (11,9 ribu $USD), Vietnam (7,9 ribu $USD), Myanmar (6,7 ribu $USD) dan Kamboja (4,6 ribu $USD). Ironisnya upah buruh Tiongkok, Filipina dan Vietnam justru jauh lebih besar dari Indonesia. Hasil analisis The Economist Intelligence Unit (EIU), menyebut buruh Indonesia hanya menerima 74 sen per jam. Sedangkan buruh Tiongkok menerima US$ 4,79 per jam, Filipina US 3,15 per jam, dan Vietnam US$ 3,16. Bukankah ini ketimpangan?

Harmonisasi Hubungan Industrial  
Pendekatan produktifitas dan bargaining semata mustahil mampu membangun relasi produktif-manusiawi antara buruh dan pengusaha. Tetapi tetap ada jalan tengah. Agus Sudono pernah merumuskan jawaban. Menurut tokoh buruh tiga zaman ini, hubungan pengusaha dan buruh sebaiknya didasarkan pada tiga asas kemitraan, yaitu produksi, berbagi keuntungan dan pertanggungjawaban.

Buruh dan pengusaha sama-sama berkontribusi bagi perusahaan. Sehingga keduanya harus mau berbagi keuntungan. Karena kesejahteraan keduanya terkait kemajuan perusahaan, maka mereka wajib menciptakan iklim kerja kondusif demi keberlanjutan perusahaan.

Kuncinya adalah perluasan akses pekerja dalam pengambilan keputusan perusahaan.  Agar legal dan paripurna sebaiknya ada saham pekerja. Sayangnya, karena dinilai akan mengerogoti dominasi pengusaha, gagasan ini layu sebelum berkembang.  Belakangan saham pekerja menjadi  salah satu tujuan serikat buruh sebagaimana termaktub dalam UU No 21 Tahun 2000, kendati belum menjadi kewajiban pengusaha.

Mirip dengan Sudono, dalam Teologi Buruh (2008), Abdul Jalil merumuskan hubungan industrial berbasis syirkah inan-ijarah. Ini adalah kombinasi perjanjian kemitraan dengan kontrak kerja buruh-majikan. Jalil merekomendasikan agar buruh-pengusaha berbagi untung-rugi (profit loss sharing) sesuai kesepakatan. Jika pengusaha dan buruh sudah berbagi keuntungan, otomatis mereka akan bekerjasama mengejar produksi optimun. Pintu masuk Jalil adalah ruang bagi buruh untuk berkontribusi dalam pembentukan modal perusahaan. Buruh turut menjadi pemilik perusahaan. Sehingga pengusaha wajib melibatkan buruh dalam penyusunan kebijakan perusahaan.

Kemitraan buruh-pengusaha ini dalam teori manajemen modern lazim disebut gainsharing. Model ini mulai berkembang di Eropa dan Amerika Serikat pada dekade 80-an sebagai jalan tengah. Buruh bukan lagi sebatas alat produksi perusahaan, objek dalam kapitalisme. Sebaliknya, model ini juga menolak buruh sebagai penguasa mutlak alat produksi seperti yang ditekankan kalangan sosialis.

Kini bentuk praktik gainsharing kian beragam. Bentuk yang paling populer adalah bonus ketika output melebihi target (production sharing plans) dan bonus terlepas kinerja buruh (profit sharing plans). Belakangan saham pekerja (employee stock ownership plans) juga diadopsi.

Dalam kondisi relasi buruh-pengusaha di Indonesia yang buruk, ketiga bentuk ini sebaiknya dipraktikan sekaligus. Ambil contoh kasus buruh perkebunan karet dan sawit yang harga produknya tergantung pasar dunia.  Production sharing plans mudah dihitung, tapi bagaimana jika harga kedua komoditas itu melonjak di pasar dunia? Tidak layakkah jika buruh turut mengecap manisnya durian runtuh itu? Lagipula profit rill perusahaan akan lebih dipercaya jika disampaikan kepada komisoner perusahaan yang merupakan representasi dari kalangan buruh.

Melalui gainsharing, buruh akan menanggapi positif target produksi perusahaan. Hubungan harmonis seperti ini yang sesungguhnya dituntut oleh perekonomian pancasila yang mulai kita lupakan.


Revisi UU KPK, PDIP Coba Telikung Jokowi?

Menarik menyikap usulan revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Prolegnas prioritas tahun 2015. Bukan sekadar karena tahun kerja 2015 tinggal sekitar dua bulan lagi, tetapi karena para pengusul mayoritas berasal dari kelompok Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Total anggota DPR pengusul sendiri adalah 45 orang.
Hitung-hitungan pengusul yang notabene tergabung dalam KIH  berjumlah 34 anggota DPR yang terdiri dari Fraksi PDIP 15 orang Fraksi nasdem 11 orang dan fraksi hanura 3 orang. Fraksi PKB 2. Lalu dari kelompok Koalisi Indonesia Hebat berjumlah 14 anggota DPR yaitu Fraksi Golkar 9 orang dan Fraksi PPP 5 orang.
Usulan ini menarik, pasalnya pada Juni lalu, Jokowi telah bertegas-tegas menolak rencana dan usul revisi UU KPK. Penolakan tersebut karena Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi ditujukan untuk kementerian, lembaga dan pemerintah daerah, dimana KPK akan tetap membantu dalam pengawasannya.
Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrachman Ruki, Jokowi tidak memiliki keinginan untuk melemahkan KPK. Karena itu, revisi UU KPK ditolak Jokowi.
Meskipun usulan ini tidak menggunakan embel-embel fraksi, mengingat pengusulnya mayoritas anggota DPR dari KIH, tetap bak menampar wajah Jokowi. KIH sudah distigmakan dengan Jokowi-JK. Artinya setiap komponen KIH, mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah, diharapkan bisa mendukung program-program pemerintah. Bukannya justru menjadi tukang recok.
Perlu dicatat bahwa aktivitas anggota DPR bukan sekadar mewakili rakyat yang memilihnya. Dalam banyak kasus, gerak-gerik anggota DPR bukan didorong oleh masalah pribadi/ sukarela yang diselesaikan berdasarkan pada kombinasi pandangan atau prioritas anggota DPR secara individu serta loyalitas pada parpol. Fraksi di DPR bukanlah pratana otonom yang bergerak atas usulan para anggotanya.
Sebaliknya, Fraksi di DPR sejatinya merupakan kepanjangan tangan parpol. Melalui fraksi-lah, parpol masuk dalam gelanggang penyusunan UU, penentuan APBN, serta pengawasan pemerintah. Sejarah DPR mencatat para legislator yang menentang kebijakan fraksi DPR, cq parpol, yang kemudian disaksi rotasi komisi, dicopot dari jabatannya pada alat kelengkapan DPR, bahkan dikenakan PAW.
Jika ditelisik lebih mendalam, fenomena ini bisa dilihat pada dua prespektif. Pertama, terjadi kreatifitas destruktif di tubuh aktivis KIH di DPR terhadap orientasi dukungan terhadap pemerintah Jokowi-JK. Jika hal ini yang terjadi, artinya Fraksi DPR, dan jika ditarik lebih ke atas, parpol yang tergabung dalam KIH telah kecolongan. Pasalnya, jarak 4 bulan, Juni-Oktober, tidaklah terlalu jauh sehingga anggota DPR pengusul revisi UU KPK tersebut bisa silap. Terlebih jika mengingat para anggota DPR telah dibekali oleh 5 tenaga ahli yang bertanggungjawab memberikan supporting atas kerja-kerja mereka.
Kedua, fenomena ini adalah skenario test the water yang digawangi oleh parpol sendiriAda gerakan senyap, sebuah kesepakatan bersama untuk merevisi UU KPK di tubuh parpol. Bagaimanapun, sejarah penegakan hukum terhadap koruptor tidak pernah pandang bulu. KPK telah menjerat para politisi parpol korup, baik di KIH maupun KMP.

Dan ternyata, informasi terbaru sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto, revisi UU KPK ini adalah atas perintah dari komandan tertinggi di PDIP. Siapa lagi kalau bukan Megawati Soekarno Putri?
Namun, mengingat gugatan publik dan demi menjaga citra pemerintah, parpol melakukan ‘nabok nyilih tangan’. Secara sengaja, para anggota DPR dikerahkan tetapi dengan seragam individualPara pengusul ini adalah pion-pion yang bertugas untuk test the water, menguji sejauh mana perhatian publik terhadap revisi UU KPK ini.
Jika respon public hanya samar-samar, maka agenda ini akan dimajukan dalam lingkup Fraksi- DPR. Tetapi jika kemudian gagal, maka fraksi akan pura-pura kecolongan, lalu memberikan sanksi terhadap pion-pion ini untuk menenangkan masyarakat.
Jika berhasil, para pion akan diganjar penghargaan. Jika gagal, tidak pula ‘rugi-rugi amat’. Paling-paling mereka cuma akan dikenakan sanksi teguran. Apakah pion-pion tidak akan merugi dalam konteks citra di masyarakat. Ya, mereka akan menderita kerugian. Tetapi bukankan masyarakat Indonesia suka lupa? Bukankah pemilu 2019 masih lama waktunya?
Lantas, apa yang harus dilakukan masyarakat? Jika Anda merasa revisi UU KPK ini akan melemahkan KPK, tentu saja harus menyuarakan penolakan. Banyak cara yang bisa dilakukan. Dan selemah-lemahnya iman adalah dengan ber-medsos ria. Petisi Change dan kampanye di facebook dan twitter bisa jadi pilihan. Sudah saatnya kita hentikan perang hastek tak bermutu di twitter dimana penyerang dan pendukung Jokowi adalah akun-akun yang ‘itu-ke itu’ saja.

*pernah dimuat di gerilyanews dan kompasiana

Dianiaya DPR, Pekerja Rumah Tangga Melawan



Topiah, Pekerja Rumah Tangga (PRT), mengaku kerap dianiaya majikannya,  Fanny Afriansyah alias Ivan Haz, anggota DPR. Dia  mengaku kerap ditendang dan dibenturkan ke tembok oleh putera mantan Wapres Hamzah Haz tersebut.  Akibatnya, kepalanya dijahit dan telinganya robek sehingga harus dioperasi. Dia juga mengaku hanya diberi makan hanya sekali sehari, dan dua bulan upah kerjanya belum dibayar. Karena tidak tahan lagi, Topiah kabur dan kemudian melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian.

Pelaku Kekerasan Bisa Siapa Saja
Sebelum kasus Topiah mencuat, media telah ramai mempublis keluarga pengusaha batu permata di Medan, serta tiga janda paruh baya di Tangerang Selatan. Di Depok, seorang PRT tua dianiaya oleh seorang PNS yang juga istri polisi. Di Bogor, pelakunya istri purnawirawan jenderal polisi.

Belakangan, pada Juli 2015, sempat mencuat oknum Brimob Polda NTT menganiaya seorang PRT anak. Seorang polisi yang nyambi sebagai debt colector pun sempat kedapatan menganiaya PRT di Bogor.  Lantas, kendati sulit dipercaya, bukan tidak mungkin seorang anggota DPR pun melakukan hal yang sama.
Kasus ini kian menyedot perhatian, karena selain anggota DPR, Ivan Haz adalah putera mantan wapres yang pernah menjadi ketua umum PPP. Sebagai pembuat UU, secara otomatis anggota DPR adalah kalangan pertama yang diwajibkan taat dan patuh akan peraturan perundang-undangan.

Sebagai putera Hamzah Haz dan politisi parpol Islam, tentu ada nilai-nilai humanis yang harus kukuh dipegang.  Sehingga menjadi tandatanya besar, kesalahan apa yang dilakukan Topiah sehingga rela kabur dengan memanjat pagar dan akhirnya terjatuh. Artinya ada ketakutan mahabesar di sini.

Damai = Tidak Ada Efek Jera
Menariknya, Ivan sempat menyesalkan, mengapa urusan ini tidak diselesaikan secara kekeluargaan. Mengapa Topiah sampai harus lapor polisi. Pernyataan ini adalah fenomena yang terjadi pada mayoritas kasus dugaan penganiayaan PRT. Data JALA PRT mencatat terjadi 408 kasus kekerasan terhadap PRT di mana 85 % diantaranya terhenti proses hukumnya di kepolisian. Artinya 347 kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan.

Perdamaian ini tidak terlepas dari latar belakang PRT sebagai kalangan buruh yang paling lemah posisinya. Bukan sekadar karena mayoritas berpendidikan rendah, tetapi juga faktor kuantitasnya yang bisa dihitung jari dalam satu rumah tangga. Jika buruh industri bergerak dalam wadah unit kerja, maka perjuangan PRT cenderung individual. Dan perjuangan perorangan selalu dihantui oleh rasa takut yang berlebihan.

Walhasil, ketika kekerasan terjadi, PRT lebih cenderung memilih damai ketimbang bertarung demi mendapatkan hak-haknya. Fenomena ‘nrimo’ akan kian kental jika dalam penuntutan tersebut, PRT tidak didampingi oleh relawan buruh yang bisa membangkitkan kepercayaan dirinya.

Kedua, karena tidak ada sanksi atas pelanggaran hak-hak PRT dari sisi majikan khususnya. Tidak ada rujukan payung hukumnya karena UU Perlindungan PRT belum ada, sementara UU No. 13 Tahun 2003 tidak memasukan PRT sebagai buruh atau tenaga kerja.

Sebagai buruh, PRT sejatinya memiliki hak-hak normatif  diantaranya standarisasi upah, pengaturan jam kerja dan waktu istirahat, cuti mingguan, dan tahunan, hak untuk berkomunikasi dan berserikat serta perjanjian kerja tertulis, bukan sekedar lisan.  Tetapi karena tidak ada rujukan payung hukumnya, polisi sulit menindak pelanggaran hak-hak tersebut.

Pasalnya, UU Perlindungan PRT belum ada, sementara UU No. 13 Tahun 2003 tidak memasukan PRT sebagai buruh atau tenaga kerja. Sehingga yang bisa ditindaklanjuti biasanya ketika PRT telah mendapat kekerasan secara fisik. Majikan pelakunya kemudian dikenakan pasal kekerasan dalam rumah tangga. Jadi tindak kekerasannya yang ditindak, bukan pelanggaran terhadap hak-hak PRT-nya.

Fenomena ini menjadi persoalan pelik karena kekerasan terhadap PRT tidak terjadi secara ujug-ujug. Kekerasan terhadap PRT biasanya terjadi setelah hak-hak normatif diatas dilanggar, dan PRT tidak berdaulat untuk melawan.

Jika sejak pelanggaran hak-hak normatif PRT, para majikan telah diberi sanksi, kekerasan terhadap PRT akan bisa diminimalisir. Sayangnya tidak ada payung hukum yang bisa mengantisipasi kejadian-kejadian ini. Maka tak heran jika publik baru meledak ketika PRT sudah melapor ke polisi dalam kondisi berdarah-darah.

UU Perlindungan PRT
Sejatinya, Kementerian Tenaga Kerja telah mencoba menjawab dengan menerbitkan Permenaker No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT. Tetapi peraturan ini tidak bisa menjawab masalah secara komprehensif. Permenaker No. 2 Tahun 2015 sejatinya lebih berorientasi pada perlindungan PRT atas ‘kejahatan’ penyalur. Subjek hukum Permenaker bukan majikan, tetapi perusahaan penyalur. Sehingga sanksi yang diberikan adalah teguran dan pencabutan izin. Permenaker ini tidak berdaya untuk menjawab aksi-aksi kekerasan fisik dan non fisik yang dilakukan para majikan. Apalagi dalam Permenaker tersebut, pemerintah tidak membuka ruang bagi PRT  ke lembaga penyelesaian perselisihan, seperti pengadilan atau dinas ketenagakerjaan.

Satu-satunya cara adalah dengan menerbitkan UU Perlindungan PRT. Sejatinya UU PRT merupakan salah satu janji politik yang termaktub dalam visi dan misi Jokowi-Jusuf Kalla. Nyatanya para wakil rakyat yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat di DPR nyaris tak berbunyi. Bahkan Menaker Hanif Dhakiri secara resmi tidak merekomendasikan RUU PRT untuk masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.

Padahal, draft UU Perlindungan PRT versi masyarakat sejatinya sudah diserahkan kepada DPR sejak sepuluh tahun silam. Tebar janji dari pimpinan DPR sampai pimpinan Komisi IX yang membidangi  Kenegarakerjaan juga sudah terjadi. Tetapi nasib RUU PRT tidak jelas ujung pangkalnya. Bahkan, RUU Perlindungan PRT ditolak masuk prioritas Prolegnas 2015 oleh DPR, yang didalamnya termasuk Ivan Haz, majikan yang dituduh telah menganiaya PRT-nya. Jadi, kepada siapa lagi PRT harus berharap?

*pernah dimuat di gerilyanews dan kompasiana

Pemerintah Tumpul, Pengawasan DPR Reaktif dan Rakyat Gonjang-Ganjing


Sepanjang dua hari lalu, setahun DPR periode 2014-2019 dilantik menjadi isu yang mewarnai media massa.  Pada dasarnya ada dua kesimpulan besar di sana. Pertama, DPR seolah asyik dengan dirinya sendiri. Perihal yang disebut sebagai ‘asyik dengan dirinya sendiri’ tersebut diantaranya adalah  usulan dana aspirasi Rp 11,2 T, rencana 7 mega proyek pembangunan DPR, paranoid keamanan yang mendorong pengetatan sistem kunjungan rakyat ke DPR termasuk usulan polisi parlemen, kunker ke luar negeri, kasus-kasus dugaan pelanggaran etik di MKD, dan lainnya
Kedua, kinerja legislasi DPR memang mengenaskan. Dalam setahun ini, dari 37 Program Legislasi Nasional Prioritas 2015, tak satu pun yang telah disahkan DPR. Baru tiga RUU yang mulai diharmonisasi di Badan Legislasi DPR. Sedangkan tiga UU yang telah disahkan adalah hasil periode sebelumnya, yaitu Perpu Pilkada dan Perpu Pimpinan KPK serta revisi UU MD3.
Dua hal ini memang menyedihkan. Tetapi ada satu fungsi DPR yang kemarin kurang disorot yaitu pengawasan. Mengapa pengawasan penting? Karena, sebagaimana penyakit klasik di negeri kita, implementasi kebijakan pemerintah sering morat-marit di lapangan. Dibutuhkan ‘palu’ DPR untuk meluruskan kembali operasional kebijakan pemerintah agar bisa terlaksana sesuai dengan yang ditargetkan.
Tentu saja banyak faktor yang membuat kebijakan pemerintah melempem pada tatanan implementasi. Tidak semua kesalahan ada di sisi internal pemerintah, faktor eksternal –seperti perekonomian dunia dan hukum internasional turut mempengaruhi. Tetapi minimal dengan pengawasan yang baik kemelempeman ini bisa diminimalisir.
Apakah setahun ini pengawasan DPR terhadap pemerintah kurang? Tidak jika kita bicara di sisi hilir. Setahun ini, dan sebenarnya sama dengan periode-periode sebelumnya, pengawasan DPR relatif bersifat reaktif. Ketika terjadi kasus-kasus yang meresahkan masyarakat, akibat kemelempeman pemerintah ini, DPR baru turun tangan.  Googling saja, dan kita akan temukan beragam aksi heroik yang dilakukan DPR untuk menanggapi isu-isu yang membuncah di public..
Jika persoalan legislasi ada pada posisi hulu, maka pengawasan reaktif ini ada pada posisi hilir. Lantas bagaimana ditengahnya? Yang saya masuk di tengah ini adalah mencegah sebelum kasus-kasus yang meresahkan masyarakat tersebut muncul. Ambil contoh kasus pembakaran hutan dan lahan.
Mengutip penyataan MS. Kaban, mantan Menhut di era SBY, kasus pembakaran hutan dan lahan adalah kejadian rutin tahunan. Persoalannya ada pada perusahaan-perusahaan yang dengan sengaja membakar  hutan dan lahan, dan juga tumpulnya hukum sehingga kelompok pengusaha hitam ini selalu saja bisa mengulangi aksinya.
Saya tidak percaya, pemerintah era Jokowi-JK tidak punya strategi untuk mencegah kejadian ini terulang. Yang saya yakini adalah Jokowi-JK gagal mengimplementasikan strategi tersebut dengan paripurna, sehingga bencana kabut asap kembali terulang. Kegagalan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh tumpulnya hukum, rendahnya pengawasan pemerintah, serta lemahnya sinergi antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah (Pemda). Peran Pemda  menjadi penting karena semangat  otonomi daerah sesungguhnya telah menisbatkan Pemda sebagai ujung tombak dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan. Tapi lagi-lagi kita kecolongan.
Pada posisi inilah sesungguhnya fungsi pengawasan DPR harus hadir. Kejelian DPR dalam membaca masalah dan ketegasannya dalam memberikan masukan-masukan menohok agar strategi pemerintah tersebut tidak melempem. Intinya, DPR, dan sekaligus pemerintah, harus meninggalkan predikat pemadam kebakaran. Pencegahan lebih bermanfaat ketimbang bersikap heroik dalam penanganan. Jika strategi pemerintah sudah tumpul di lapangan, sedang DPR kipas-kipas cari angin ke luar negeri, tentu saja pencegahan muskil tercapai maksimal.
Kembali ke laptop. Salah satu fungsi pengawasan DPR yang terpenting saat ini adalah memegang janji Menaker Hanif Dhakiri bahwa PHK ada solusi terakhir yang akan dilakukan perusahaan dalam mengatasi perekonomian yang sedang gonjang-ganjing ini. Saat ini gelombang PHK, dengan data yang kian tidak jelas, sedang menghantam angkatan kerja Indonesia. Pertanyaannya, apakah DPR akan kembali membiarkan pemerintah berkubang lumpur untuk menepati janjinya tersebut? Atau DPR mau terjun payung, mengawasi serta memberikan masukan bernas atas segenap kerja-kerja pemerintah untuk mencegah gelombang PHK?
Jika DPR masih juga memakai seragam pemadam kebakaran, bulan November mendatang, ketika buruh akan kembali turun untuk menuntut kenaikan UMR 2016, maka kondisi perekonomian Indonesia akan semakin gonjang-ganjing.