Jantung Bayi Khiren dan “Robot” BPJS Kesehatan


Tersentak saya membaca berita perihal Khiren Humaira Islami, bayi 11 bulan, penderita jantung bocor. Sejak berumur 20 hari, Khiren sudah didiagnosa menderita Penyakit Jantung Bawaan. Akibatnya, bayi Khiren sering sesak napas, pertumbuhan dan perkembangannya terlambat. Khiren terpaksa keluar masuk rumah sakit, mulai dari rawat jalan sampai dengan rawat inap di RSUP M. Jamil Padang sampai ke RS Harapan Kita Jakarta. Melihat si kecil Khiren dengan mata letih dan lubang hidung berikat selang oksigen, membuat hati saya menggigil.
Alhamdulillah,pada tanggal 20 Mei 2015, Khiren akhirnya bisa dioperasi. Dewi Anggraini, sang Ibunda memanfaatkan fasilitas BPJS. Keluarga Khiren mengurus jaminan BPJS tersebut mulai dari  Faskel TK I (puskesmas Ambacang), dan RSUD M Jamil Padang dan diteruskan dengan mendaftar di loket BPJS RS Harapan Kita.
Apa daya, ternyata cobaan  Dewi Anggraini belum lagi usai.  BPJS menolak klaim biaya operasi Khiren. Total biayanya Rp. 124.826.395 (seratus dua puluh empat juta delapan ratus dua puluh enam tiga ratus sembilan puluh lima rupiah). Bayi Khiren baru bisa pulang pada tanggal 4 Juni 2015 (dirawat 17 hari), setalah orang tua menandatangani surat pernyataan penanggung hutang.
Usut punya usut, alasanya karena  orangtua Khiren terlambat mengurus Surat Eligibilitas Peserta (SEP)  yang dalam aturannya selambat-lambatnya 3x24 jam. Akibatnya semua biaya operasi dan perawatan  dikategorikan sebagai pasien umum dengan biaya pribadi. Keluarga Khiren sudah memberi penjelasan kepada  BPJS Harapan Kita sampai BPJS Regional Jakarta Barat. Bahkan menyurati BPJS Kesehatan Pusat. Tetapi BPJS tetap tidak mau mengklaim biaya bayi Khiren. Alasannya SOP. Pelanggaran administratif.
Sekarang hutang Dewi Anggraini sudah jatuh tempo. Manajemen RS Harapan Kita sudah mengirim mengirim surat peringatan pertama (SP 1)  25 Juni dengan perintah segera tagihan dilunasi, paling lambat seminggu setelah surat diterima oleh keluarga pasien Khiren. Di surat juga dikatakan kalau tidak dilunasi maka akan dilimpahkan ke lembaga piutang Negara. Padahal, keuangan Dewi Anggraini belum lagi stabil. Untuk pengobatan Khiren, dan biaya keluar masuk rumah sakit, Dewi Anggraini sudah menggadaikan SK dosennya ke bank.
Ada gemuruh di dada membaca kondisi ini. Sejak dulu saya tidak pernah percaya bahwa SOP adalah sabda Tuhan. SOP adalah produk buatan manusia, dan karena itu pasti memiliki celah. Saya percaya, ada moment-moment di mana SOP harus ditepikan.
Saya percaya, alasan keterlambatan Dewi Anggraini  bukan alasan yang dibuat-buat. Dewi Anggraini  bukan mahasiswa tingkat akhir yang berleha-leha menulis skripsi sehingga tidak kunjung di wisuda.  Ini masalah keselamatan Khiren, bayi terkasihnya. Alasannya pasti sangat masuk akal, sangat manusiawi. Karena tidak ada yang tidak akan dilakukan orangtua untuk membuat buah hatinya sehat dan ceria.
Bayangkan betapa beratnya beban emosional yang ditanggung Dewi Anggraini dan keluarganya. Melihat buah hatinya, sejak umur 20 hari harus keluar masuk rumah sakit. Harus dirayu minum obat ini itu, harus mengenakan selang oksigen, harus dibedah jantung kecilnya dalam usia yang sekecil itu. Berat nian. Hanya kekuatan superhero orangtua yang membuatnya dapat terus bertahan, merawat buah hatinya sambil terus bergerilya mencari cara agar Khiren kecil dapat sehat seperti bayi-bayi pada umumnya.
Bagi saya, Dewi Anggraini adalah seorang ibu yang luar biasa. Saya tidak tahu dengan anda, tetapi saya sendiri ragu masih bisa berpikir jernih jika berada dalam posisi Dewi Angraini.
Hanya karena kesalahan administratif, yang saya haqul yaqin, dilakukan bukan dalam kerangka kesengajaan, Dewi Angraini harus kembali dibebani cobaan hidup. Sebuah celah bak  ombak tsunami yang meluluhlantakkan suatu proses kerja keras penuh pengharapan, rasa cemas, dan uraian air mata. Sebuah kesalahan kecil yang menggerus keluarbiasaan dari suatu proses yang belum tentu bisa dilalui setiap orang dengan tetap memegang kewarasannya. Dalam konteks ini, nurani saya menegaskan bahwa keterlambatan tersebut ini layak dimaafkan.
Saya yakin, BPJS bukan pabrik pencari untung. Pegawai BPJS bukan robot, tetapi manusia-manusia bernurani yang diberi amanah oleh 240 juta rakyat Indonesia untuk menjadi penolong di kala sakit. Pegawai BPJS pasti memiliki keluarga, barangkali bayi mungil, imut dan lucu seperti Khiren. Coba geserlah sudut pandang Anda dari sekedar kertas SOP.  Posisikan diri sebagai Dewi Anggraini. Tanyalah dalam hati apakah Anda akan sengaja melanggar SOP BPJS ketika bayi Anda mengidap jantung bocor?  
NB : saat ini masyarakat sumbar tengah menggagas aksi keprihatinan “koin untuk khiren”. Untuk dukungan para sahabat bisa menandatangipetisi bayi khiren

0 komentar:

Posting Komentar