PENUNGGU BELANTARA WAKAOKILI


”Di sana! Aku lihat keparat itu!”

Sepersekian detik, kelima lelaki itu seperti kesetanan. Desing peluru merobek-robek keheningan hutan, menerabas rerimbunan jeruju. Kawanan monyet terusik dan menjerit-jerit tak karuan. Lolongan anjing kampung terdengar melengking. Kalong dan burung hantu mengepakan sayapnya, terbang mencabik-cabik kesiur angin senja yang dingin.

Entah karena kekuatan apa, pada detik yang sama mereka sepakat menahan senjatanya. Waspada mereka bergerak maju. Tinggal beberapa langkah lagi. Bacin keringat dingin menusuk hidung. Sesuai rencana, serangan beruntun itu efektif membuat lelaki itu mencungap-cungap. Jangankan seorang lelaki, bahkan empat keparat sekalipun bakal sulit bernafas setelah digempur peluru dari empat penjuru. Namun, semua orang tahu siapa Joko Indo. Seperti kucing hitam, keparat bengis yang lihai menggunakan senjata api itu memiliki nyawa sembilan.

Hening menyergap, bahkan gemerisik angin di pucuk-pucuk pohon terdengar jelas. Mereka menahan nafas. Semua mata saling mendelik. Kelima lelaki itu dipagut kecemasan, seperti tengah menghampiri lubang kubur mereka sendiri.

Dan nama besar Joko Indo memang bukan isapan jempol. Dia adalah keparat gila. Mendadak lelaki itu menyeruak dari balik gerumbulan belukar lengkap dengan sepasang baretta 45 di tangan. Mereka seolah melihat Izrail telah tercancang di hadapan, dan sontak menembak. Pun Joko Indo membalas. Jemarinya cekatan menarik picu, kedua tangannya ligat berputar-putar di udara. Ada tujuh pistol, tapi terdengar sembilan letusan.   

Dua lelaki tersungkur. Joko Indo bersiap membidik mangsa selanjutnya, ketika ketiga lelaki lainnya tersadar untuk memprioritaskan keutuhan selembar nyawa yang mereka miliki. Kesusu mereka berpencar, cari selamat masing-masing. Seorang memasrahkan diri pada pokok kayu, yang lain memilih rebah di bebatuan tebing, sementara sisanya mencungap-cungap tiarap di tanah.

Joko Indo menggelagak, lantas bergerak selihai harimau. Dia cekatan menerobos semak belukar, melompati akar-akar besar yang malang melintang di tanah. Mudah saja dia berkelit di balik batang pohon besar ketika ketiga lelaki itu sudah bisa menarik nafas dan balas menembak.  

“Bangsat!” Maki seorang lelaki sambil menatap geram Joko Indo yang kuyup  membeladag ke puncak bukit.

Ketiga lelaki itu tercancang. Mata mereka menerawang lapisan-lapisan batu yang tersusun menyerupai tembok menjelang puncak bukit. Arkian, seorang polisi muncul. Bahunya kanannya koyak ditembus peluru. Darah menderas, dan rasa sakit naik sampai kepala. Tampangnya pucat, tetapi amarahnya tak sontak surut.

“Kenapa berhenti? Ayo cepat kejar!” Bentaknya.   

Seorang lelaki dengan jengkel membacokkan pasatimpo[1]-nya ke batang pohon. ”Target telah melintasi bente[2]?”

”Kalian takut pada binatang itu?” Hardiknya, teringat berita seekor babi rusa raksasa yang menyerang para petani di lereng pebukitan Napabale. Konon ketika dikejar binatang buas itu melarikan diri ke dalam belantara Wakaokili.

”Belantara Wakaokili dijaga benteno[3]. Mahluk itu seribu kali lebih buas ketimbang babi rusa ganas,” seseorang menjawab serak.

Logikanya tak berdaulat menangkap kebenaran mitos. Dengan tatapan  jijik dia kembali membentak, ”Joko Indo itu penjahat besar. Pembunuh, perampok, pemerkosa! Kalian lihat apa yang dia lakukan kepada Kasat Reskrim Wa Ode? Jangan katakan kalau kalian mau melepaskannya begitu saja?” 

”Maaf, Dan, tapi yakinlah kalau keparat itu tak bakal keluar hidup-hidup,” ungkap lelaki yang lain dengan ludahan terakhir sembari berbalik pergi.   

Polisi itu menggeram. Menginjak-injak tempatnya berpijak, sampai nafasnya sesak oleh rasa lelah yang hebat. Dia meluruskan lengkung punggung, mengatur nafas sambil menengadah. Langit tak tampak lagi, terhalang rimbunnya kanopi hutan, tapi bisa dia pastikan kalau angkasa kini dipayungi awan raksasa berwarna pekat. Petir menggelegar, kilat membelah udara. Sejengkat lagi langkah waktu akan menginjak malam.

Rasa sakit itu kembali mendesak sampai ke benaknya. Dia tak mengempit  raincoat, tiada senter, tanpa cadangan makanan dan kawan sejalan. Kecuali itu, ketika ditinggalkan tadi, Kasat Reskrim Wa Ode tengah sekarat. Barangkali komandannya akan selamat, tapi bekas peluru bajingan itu akan menjejak hingga akhir hayat.

Polisi itu menggeleng lemah. Cukup sudah alasan untuk berbalik pulang.

-()0()-

Joko Indo menapak lambat di lumpur. Hatinya girang nian. Dugaannya benar. Para pengejar kelewat takut melintasi bente, apalagi masuk ke perut belantara Wakaokili.

Hujan turun tak terlalu lebat karena terhalang kanopi hutan. Namun, dia belum kelewat ahmak untuk membiarkan tubuhnya kian kuyup. Didakinya pebukitan sampai bertemu ceruk tebing. Dipetikinya daun-daun trembesi untuk alas duduk. Giginya mengelatuk, lantaran ranting-ranting basah terlalu pongah untuk dijadikan api unggun. Arkian dia putuskan untuk mengeliat-geliat dalam ceruk itu, membikin tubuhnya panas dan berdoa biar hujan cepat reda. Menggagau dalam keremangan cahaya bulan, dia berencana bergerak menuju perkampungan terdekat.

Tetapi hujan terus berebut menukik selayak anak-anak panah. Lapar mulai menjeratnya. Dia paksakan diri untuk tetap bersyukur, sembari menguat-nguatkan hati dengan kalimat: aku haram dalam keadaan kenyang sebab lapar mempertajam panca indera.

Dari waktu ke waktu dia terus menggeliat dan menyimak saksama suara-suara rimba. Takut-takut kalau ada bintang buas memagut atau para pengejarnya itu mendadak nekad, sampai akhirnya terdengar suara aneh. Joko Indo sontak bertegak punggung. Tangan kiri menyalakan api mancis. Pistol bersiap di tangan kanan. Tak sampai tujuh langkah di hadapannya ada rerimbunan semak yang bergerak-gerak.

 “Siapa itu?” Hardiknya, yakin kalau bukan angin penyebabnya, sebab bahkan lidah api mancisnya tak bergoyang. “Cepat keluar atau aku akan menembak!”

Tak ada jawaban. Geram ditembakkannya revolver secara asal ke semak belukar itu. Deru peluru membikin api mancis padam. Ketika dia menyalakannya kembali, semak belukar itu sudah berhenti bergerak. Mendadak dari dalam sana melesat keluar sosok mahluk hitam berkaki empat.

Joko Indo terkejut, tapi lalu menggelakak. “Keparat! Ternyata hanya seekor musang.”

Joko Indo sudah kembali meringkuk dan mulai membayangkan kenikmatan seekor ikan bakar. Tetapi nafasnya mendadak tercekat. Sekonyong-konyongnya sesosok hitam besar melesat, menerkamnya dari balik semak belukar. Refleks dia menembak. Tetapi sekelebat cakar telah mengebaskan jemarinya sehingga pistol itu tercampak. Cakar kedua membuatnya terjerembab ke tanah. Selang sekedipan mata, makhluk itu sudah menindih tubuhnya, bersiap merobek kerongkonganya. 

Kilat menyambar, membelah udara. Sejenak dunia dibuat benderang. Segenap  darah Joko Indo berjingkat ke benaknya. Makhluk itu bukan babi rusa, apalagi anjing hutan. Mahluk itu adalah perempuan keriput berkepala nyaris botak dengan sekujur tubuh bersisik ular. Kuku-kuku tangannya serupa silet, tetapi kakinya seramping kuda bone.

Joko Indo memejamkan mata. Pasrah. Mungkin ini nasib seorang penjahat. Tetapi hingga tiga helaan nafas, dia tak merasakan sakit yang mencabik leher, yang membuatnya sekarat meregang nyawa. Malahan dia mendengar suara sesungukan.

Dia membuka mata dan tersadar kalau masih hidup. Tak sampai selemparan batu dari hadapannya, perempuan itu meringkuk seraya meratap, menjerit histeris.

”Aku tidak bisa! Aku tak bisa!”

Joko Indo dibunuh ngeri, tapi keinsyafan membuatnya bersijengkat sebagai ancang-ancang membeladag. Tetapi perempuan itu seperti memiliki sepasang mata di belakang kepalanya. Dia menoleh, dan Joko Indo bergidik. Kewarasannya nyaris hilang ketika dalam keremangan cahaya bulan dilihatnya perempuan itu tersenyum.

Aku tak akan berpura-pura kalau tadi hanya sebuah permainan. Ya, aku memang bermaksud membunuhmu, tapi ternyata aku tidak mampu.”

”Siapa kau? Mengapa kau mau membunuhku? Apa salahku?”

Kalimatnya mengantung di udara. Joko Indo merasa pandir. Mengapa pula menanyakan suatu alasan. Sebagai seorang pembunuh bayaran, perampok, dan pemerkosa, sudah pasti musuh-musuhnya bertebaran. Mereka semua sangat bernafsu mencabut nyawanya.       

”Dengar baik-baik! Aku bukan seperti apa yang kau pikirkan, bukan setan dari neraka. Aku ini orang baik, bahkan terlalu baik.”

”Lantas mengapa kau hendak membunuhku?”

Perempuan itu tak langsung menjawab. Dalam remang, tangannya bergerak ke arah ceruk batu. Sontak ranting-ranting basah terbakar.

”Pakaianmu kuyup. Kau pasti kedinginan.”

”Bagaimana...,” kata Joko Indo gelagapan, mengawasi lidah api berkobar, ”apa maksud semua ini?”

”Aku adalah puteri kedua Daeang Arumpone. Dan karena kebaikan hatiku, karena belas kasihku, aku lebih dicintai rakyat ketimbang kakakku, Daeng Marowa. Namun akibat bisikan Bissu[4] Sigeri yang mengaku sebagai pembawa kabar Tuhan, Ayah tetap memberikan tahta kerajaan kepada kakakku.”

Jhony Indo tersurut, teringat masa bocah ketika sang nenek mendongeng menjelang tidurnya.

”Dengki merasuk jiwaku. Pada upacara attoriolong[5], ketika sesajen ditebar, saat gamelan dan kendang berdentangan, dan sewaktu para bissu menari sembari menusukkan keris, pisau, gergaji ke tubuh mereka, aku pun bangkit dari singgasana dan menendang mahkota kerajaan sampai jatuh ke bumi,” serak perempuan itu.

Termangu sudah Joko Indo. Dia sadar bahwa kalau nanti selamat, tak akan pernah, seumur hidupnya menyebut-nyebut kejadian ini kepada orang lain. Dia jelas bakal dituding gila.

”Para bissu mengutukku menjadi mahkluk mengerikan. Ya, mereka paham sekali kelemahanku itu, rasa belas kasihku. Untuk dapat memusnahkan kutukan ini, aku mesti melakukan suatu dosa besar. Sebuah pembunuhan...,” lanjut perempuan itu.

”Sebuah pembunuhan?” Joko Indo mengulang parau.

Perempuan itu cekikikan. Tawa yang membikin bulu kuduk lelaki itu merinding. Lantas ketika tawa itu patah, perempuan itu berucap pasrah.

”Jangan takut! Sudah kukatakan kalau aku ini orang baik. Kesalahan masa silam biarlah menjadi penyesalan. Mustahil aku mampu menukar kebahagian dengan menyakiti orang lain. Lagi pula kupikir waktuku sudah sampai.”

Joko Indo merasakan kalau sekujur tubuhnya dihantam badai hebat. Langit mendadak seakan berliang. Cahaya putih benderang menyeruak dari dalamnya. Sambil tenggadah, perempuan itu menghela nafas. Matanya berkerjap-kerjap. Ada kepasrahan teramat sangat terpancar dari sana.

”Bagaimana nasibmu nanti?” Serak Joko Indo penasaran.  

”Tuhan memiliki cara tersendiri untuk mengurus orang-orang sepertiku..”

”Aku sungguh menyesal,” seraknya, mendadak merasa iba. Ya, sontak terbersit keinginan bertaubat. Pagi-pagi nanti dia akan turun ke kaki bukit dan menyerahkan diri kepada yang berwajib.

Pun masih takut-takut, dia bergerak mendekat. Tulus disodorkan tangannya. Dia merasakan kalau tangan perempuan itu lembek dan hangat seperti daging sapi panggang.

”Terimakasih,” katanya dengan suara tercekat di tenggorokan.

Dengan tampang yang sarat luka bakar, perempuan itu tersenyum tulus, kendati tetap melontarkan kengerian yang menyakitkan jantung.

Mendadak senyuman itu lenyap, dan seperti harimau, perempuan itu menerkam. Joko Indo terlampau terperanjat untuk menghindar. Mereka bergelantangan di lereng bukit. Dipagut ketidakpercayaan, dia melihat perempuan itu berhasil berpegangan pada sulur tumbuhan merambat. Namun, dirinya terus menukik seperti elang tertembak senapan pemburu. Ternyata ada jurang di tepi sana.

Joko Indo tidak menjerit. Pasrah. Mungkin ini karma seorang penjahat.

-()0()-

Perempuan itu terjaga di atas bentangan padang rumput hijau mahaluas. Hidungnya mengendus aroma mawar dan segar embun yang mengantung di ujung dedaunan. Matahari bersinar teduh, mengelus tangannya yang mulus. Dia tercekat. Ya, tangannya telah kembali mulus. Dan rambutnya sekarang memanjang, hitam terurai. Tak ada telaga, apalagi cermin, tetapi melalui ujung jemarinya, dia sadar kalau parasnya juga telah kembali cantik. 

Dia pun histeris. Lenyapnya si buruk rupa hanya bermakna satu perkara.   Untuk perdana dia menjadi seorang pembunuh. Dia merasa jahat. Amat jahat.

Tangisnya sedikit tertahan ketika terdengar keretap langkah kaki. Dia  tengadah dan terperanga. Joko Indo tegak di hadapannya berbalut pakaian putih bersih, wajah bersinar dan senyumnya mengesankan.

”Maafkan aku,” seraknya sesungukan, ”aku tak bermaksud menyakitimu, ketika itu ada seekor babai rusa raksasa hendak menerkammu. Aku hanya berusaha menyelamatkanmu, aku...”

Lelaki itu mengulurkan tangannya. Lembut menyusut butir-butir air yang mengaliri pipinya.  

”Tuhan tidak pernah bermain dadu. Kebaikan hatimu bahkan telah membuat lelaki  berlumpur dosa ini diperkenankan mencecap surga. Sekarang, mana tanganmu? Akan kuantarkan kau menuju istana yang sudah bertahun-tahun silam disiapkan para malaikat bagi dirimu.”   
Kendari,  28 Mei 2008




[1] Semacam parang dalam masyarakat Bone Tondo
[2] Tebing batu yang dipercaya masyarakat Bone Tondo sebagai pembatas antara dunia makhluk gaib dengan dunia manusia.
[3] Semacam hantu dalam  masyarakat Bone Tondo
[4] Pendeta waria dalam masyarakat Bone kuno
[5] Ritual penobatan

0 komentar:

Posting Komentar