PENUNGGU BELANTARA WAKAOKILI


”Di sana! Aku lihat keparat itu!”

Sepersekian detik, kelima lelaki itu seperti kesetanan. Desing peluru merobek-robek keheningan hutan, menerabas rerimbunan jeruju. Kawanan monyet terusik dan menjerit-jerit tak karuan. Lolongan anjing kampung terdengar melengking. Kalong dan burung hantu mengepakan sayapnya, terbang mencabik-cabik kesiur angin senja yang dingin.

Entah karena kekuatan apa, pada detik yang sama mereka sepakat menahan senjatanya. Waspada mereka bergerak maju. Tinggal beberapa langkah lagi. Bacin keringat dingin menusuk hidung. Sesuai rencana, serangan beruntun itu efektif membuat lelaki itu mencungap-cungap. Jangankan seorang lelaki, bahkan empat keparat sekalipun bakal sulit bernafas setelah digempur peluru dari empat penjuru. Namun, semua orang tahu siapa Joko Indo. Seperti kucing hitam, keparat bengis yang lihai menggunakan senjata api itu memiliki nyawa sembilan.

Hening menyergap, bahkan gemerisik angin di pucuk-pucuk pohon terdengar jelas. Mereka menahan nafas. Semua mata saling mendelik. Kelima lelaki itu dipagut kecemasan, seperti tengah menghampiri lubang kubur mereka sendiri.

SEGITIGA CINTA YANG TERLUKA


andai aku telah dewasa
apa yang akan kukatakan
untukmu idolaku Ayahku tercinta[1]

Deru motor itu sontak mengunting mimpi Pak Kardi. Setengah limbung, satpam tua itu membuka gerbang dan Elang langsung disayat sembilu penyesalan. Ya, mimpi adalah media pengapaian cita-cita Pak Kardi yang tak pernah maujud di dunia nyata. Dan untuk kesekian kalinya dia memporak-porandakan kerajaan imajinasi yang murni itu.

“Tidur saja di dalam, Pak. Siapa yang nekad menyatroni pemukiman elit ini? Mau didoor apa?”

Pak Kardi tersenyum rikuh, “ndak apa-apa, Den. Ini sudah jadi tugas Bapak”

Elang mengangguk sebagai tanggapan. Tak sepakat, tetapi dia merasa tidak berdaulat memaksa.

Dia lantas melangkah malas. Saban pulang, kepalanya selalu terasa panas. Disusurinya kerikil pembatas taman mawar koleksi Mama yang mempercantik kolam ikan di muka beranda. Akh, bila bukan karena Mama niscaya telah lama ditinggalkannya istana terkutuk ini.