”Di sana! Aku lihat
keparat itu!”
Sepersekian detik,
kelima lelaki itu seperti kesetanan. Desing peluru
merobek-robek keheningan hutan, menerabas rerimbunan jeruju. Kawanan monyet terusik dan menjerit-jerit tak karuan. Lolongan anjing kampung
terdengar melengking. Kalong dan burung hantu mengepakan sayapnya, terbang mencabik-cabik kesiur angin senja yang dingin.
Entah karena kekuatan
apa, pada detik yang sama mereka sepakat menahan senjatanya. Waspada mereka
bergerak maju. Tinggal beberapa langkah lagi. Bacin
keringat dingin menusuk hidung. Sesuai rencana, serangan
beruntun itu efektif membuat lelaki itu mencungap-cungap. Jangankan seorang lelaki, bahkan empat
keparat sekalipun bakal sulit bernafas setelah digempur peluru dari empat
penjuru. Namun, semua orang tahu siapa Joko Indo. Seperti kucing
hitam, keparat bengis yang lihai menggunakan senjata api itu memiliki nyawa
sembilan.
Hening menyergap, bahkan
gemerisik angin di pucuk-pucuk pohon terdengar jelas. Mereka menahan nafas.
Semua mata saling mendelik. Kelima lelaki itu dipagut kecemasan, seperti tengah menghampiri lubang kubur mereka sendiri.