DIRJEN PAJAK (CUMA) IBARAT KENEK METROMINI


Kebijakan Presiden Jokowi yang menaikan tunjangan kinerja pegawai Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kemenkeu saya pikir salah sasaran dan bahkan diskriminatif terhadap ASN di institusi pemerintahan pusat lainnya. Bayangkan, tunjangan kinerja eselon 1 di dirjen pajak bisa mencapai Rp 117,375 juta perbulan. lebih jelasnya, silakan lihat pada gambar.

Alasannya sederhana, karena di mata saya Dirjen Pajak itu tak lebih dari kawanan kenek metromini. Dirjen pajak adalah kumpulah tukang tagih bill. Layakkah mereka mendapat insentif yang berlipat-lipat lebih besar daripada ASN yang berkeringat di sektor produksi? Pantasnya kasir punya gaji lebih besar dari chef (koki) restoran yang karenanya kelihaiannya menyantap sehingga pengunjung membludak?

Menurut catatan saya, pajak pemerintah pusat itu terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn-BM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Bea Meterai, Bea Masuk, Cukai, dan Pajak Ekspor.

Jika kita amati, jenis-jenis pendapatan pajak ini ditarik kebanyakan dari para pelaku ekonomi. Artinya, semakin sehat pelaku ekonomi nasional, maka penerimaan pajak akan membesar. Perkembangan perekonomian nasional tidak bisa dilepaskan dari kebijakan bernas kementerian teknis bidang ekonomi. Kalau tidak salah hitung ada 16 kementerian teknis bidang ekonomi yang bergerak dibawah koordinator Menko Perekonomian. Kementerian ini yang berkeringat sehingga perekomian menggeliat, sehingga pendapatan perkapita masyarakat naik dan permintaan produk-produk ekonomi meningkat.

Kalau kementerian-kementerian teknis perekonomian tidak menggeliat, maka Dirjen Pajak ibarat memerah susu dari sapi kurus kerempeng. Berapa ember yang akan dihasilkan? Sebaliknya, jika sapinya tambun gemuk, tentu akan kian banyak yang didapat. Lantas layakkah si pemerah mendapat lebih banyak daripada dokter hewan yang bolak-balik memastikan kesehatan si sapi, dari buruh pemotong rumput dan penyedia suplemen gizi si sapi, dari penanggungjawab kebersihan kandang dan sebagainya?

Ekstrimnya, Dirjen Pajak itu tak lebih sebagai tukang tagih, serupa kondektur metromini. Lalu apa yang mau ditagih jika si supir malah tidur siang di terminal? Serupa menunggu kayu-kayu besar di hilir, tetapi jika tidak ada yang menebang pohon di hulu dan menghanyutkannya, apa pula yang ditunggu?  Artinya logika mengejar pendapatan negara lewat insentif ini sungguh tidak tepat sasaran.

Ini logika terbalik-balik. Logika hanya melihat hilir. Padahal jika hulu dibendung, kawasan hilir akan kekeringan. Lantas mengapa hilir yang diprioritaskan?

Logika agar tidak korupsi? Saya pikir ini menggampangkan situasi. Memangnya di kementerian lain tidak bisa korupsi? Bahkan seorang buruh rumput dan penyedia suplemen gizi sapi pun bisa korupsi. Dan yang perlu juga jadi catatan adalah perkara kecemburuan ASN di kementerian lain? Kecemburuan bisa berujung penurunan motivasi kerja, sehingga layanan publik tidak maksimal. Ujung-ujungnya ya masyarakat kembali yang merasakan.

Sekali lagi, jangan bilang Dirjen Pajak itu pahlawan pendapatan negara. Tidak! Dirjen Pajak itu bukan salesman.  Kerja mereka cuma menagih bill. Mereka tidak perlu jualan kecap, negosiasi transaksi macam salesman. Berbeda dengan salesman yang bisa gagal bertransaksi, pegawai dirjen pajak mestinya tidak kenal istilah ini, karena pekerjaan mereka sudah diatur peraturan perundang-undangan. Siapa yang menolak bisa kena sanksi hukum. Betapa mudah, sederhananya sebenarnya kerja mereka jika ada niat baik dan kesungguhan.

Intinya ini logika terbalik-balik. Ini logika yang dihembus-hembuskan para pengiat sektor keuangan bahwa mereka superior. Padahal kemajuan perekonomian justru ditunjang oleh sektor industri rill. Lihat AS yang berkali-kali terkena krisis akibat main di sektor keuangan, juga indonesia pada medio 1998 lalu. Silakan bandingan dengan perekonomian Tiongkok dan india yang berkutat di sektor rill industri.

0 komentar:

Posting Komentar