JANGAN SEKADAR UPAH MINIMUN


Ketimbang isu ketenagakerjaan lainnya, penetapan upah minimun adalah yang terpanas. Negosiasinya selalu disambut unjukrasa besar-besaran. Dewan pengupahan, sebagai representasi pemerintah, pengusaha, serikat buruh, ditambah pakar dan perguruan tinggi, gagal meredam keriuhan ini. Dewan pengupahan seolah sekadar tempat adu ngotot, saling tuding antara buruh-pengusaha.

Ironisnya, taktik memperkuat bargaining kalangan buruh sering serampangan sehingga mengganggu ketertiban umum. Gegap-gepita, manuver dan antusiasme buruh dalam menuntut upah minimun mengundang cemooh publik. Buruh dituding sebagai kalangan yang mau menang sendiri.  Harga ini relatif mahal mengingat upah minimun hanya sebagian kecil dari target perjuangan buruh.

Lagipula upah minimun sejatinya hanya jaringan pengaman bagi pekerja lajang yang masa kerjanya di bawah 1 (satu) tahun. Para pekerja yang sudah berkeluarga tentu harus mendapatkan pendapatan di atas upah minimun. Artinya, pertarungan ini akan diteruskan ke tingkat perusahaan masing-masing.
   

Saling Curiga
Relasi buruh dan pengusaha selalu dibalut saling curiga. Pengusaha menilai buruh sebagai kelompok yang menumpang hidup di perusahaan, yang notabene adalah miliknya. Sehingga buruh harus tunduk pada kebijakan pengusaha. Persepsi ini adalah warisan Orba ketika sikap penguasa yang pro pengusaha sangat kental. 

Sebaliknya serikat buruh memposisikan diri sebagai mitra pengusaha. Jika pengusaha memberikan kapital bagi perusahaan, maka buruh menyumbang tenaga dan pikirannya. Mereka sama-sama pemilik faktor produksi. Tuntutan kesetaraan posisi kian menguat seiring diberlakukannya UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja. Apalagi  menolak dan masuk serikat buruh sudah masuk ke dalam ranah HAM.

Yang jelas pengalaman masa silam membuat kalangan buruh sangsi akan pendekatan produktifitas versi pengusaha. Apakah pengusaha mau benar-benar membuka sisik melik perusahaan agar  penerapannya bisa dinilai adil dalam kacamata kedua pihak?.

Buruh lebih percaya pada pendekatan bargaining, adu kuat. Ketidakpastian perekonomian dengan  tingginya tingkat pengangguran, inovasi teknologi yang efisien SDM, sampai ancaman serbuan pekerja asing seiring pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), membuat kian dinamisnya equlibrium pasar tenaga kerja. Hanya rentang harga yang bisa diprediksi, di mana fenomenanya kalangan pengusaha cenderung memilih batas terendah. Sehingga tingkat upah sangat tergantung pada kekuatan bargainning kedua pihak.  Inilah akar unjukrasa pekerja setiap moment negosiasi buruh-pengusaha berlangsung.

Kemitraan Buruh-Pengusaha 
Pendekatan produktifitas dan bargaining semata mustahil mampu membangun relasi produktif-manusiawi antara buruh dan pengusaha. Tapi bukan tiada jalan tengah. Agus Sudono pernah merumuskan jawaban. Menurut tokoh buruh tiga zaman ini, hubungan pengusaha dan buruh sebaiknya didasarkan pada tiga asas kemitraan, yaitu produksi, berbagi keuntungan dan pertanggungjawaban.

Buruh dan pengusaha sama-sama berkontribusi bagi perusahaan. Sehingga keduanya harus mau berbagi keuntungan. Karena kesejahteraan keduanya terkait kemajuan perusahaan, maka mereka wajib menciptakan iklim kerja kondusif demi keberlanjutan perusahaan.

Kuncinya adalah perluasan akses pekerja dalam pengambilan keputusan perusahaan.  Agar legal dan paripurna sebaiknya ada saham pekerja. Sayangnya, karena dinilai akan mengerogoti dominasi pengusaha, gagasan ini layu sebelum berkembang.  Belakangan saham pekerja menjadi salah satu tujuan serikat buruh sebagaimana termaktub dalam UU No 21 Tahun 2000, kendati belum menjadi kewajiban pengusaha.

Mirip dengan Sudono, dalam Teologi Buruh (2008), Abdul Jalil merumuskan hubungan industrial berbasis syirkah inan-ijarah. Ini adalah kombinasi perjanjian kemitraan dengan kontrak kerja buruh-majikan. Jalil merekomendasikan agar buruh-pengusaha berbagi untung-rugi (profit loss sharing) sesuai kesepakatan. Jika pengusaha dan buruh sudah berbagi keuntungan, otomatis mereka akan bekerjasama mengejar produksi optimun. Pintu masuk Jalil adalah ruang bagi buruh untuk berkontribusi dalam pembentukan modal perusahaan. Buruh turut menjadi pemilik perusahaan. Sehingga pengusaha wajib melibatkan buruh dalam penyusunan kebijakan perusahaan.

Kemitraan buruh-pengusaha ini dalam teori manajemen modern lazim disebut gainsharing. Model ini mulai berkembang di Eropa dan Amerika Serikat pada dekade 80-an sebagai jalan tengah. Buruh bukan lagi sebatas alat produksi perusahaan, objek dalam kapitalisme. Sebaliknya, model ini juga menolak buruh sebagai penguasa mutlak alat produksi seperti yang ditekankan kalangan sosialis.

Kini bentuk praktik gainsharing kian beragam. Bentuk yang paling populer adalah bonus ketika output melebihi target (production sharing plans) dan bonus terlepas kinerja buruh (profit sharing plans). Belakangan saham pekerja (employee stock ownership plans) juga diadopsi.

Dalam kondisi relasi buruh-pengusaha di Indonesia yang buruk, ketiga bentuk ini sebaiknya dipraktikan sekaligus. Ambil contoh kasus buruh perkebunan karet dan sawit yang harga produknya tergantung pasar dunia.  Production sharing plans mudah dihitung, tapi bagaimana jika harga kedua komoditas itu melonjak di pasar dunia? Tidak layakkah jika buruh turut mengecap manisnya durian runtuh itu? Lagipula profit rill perusahaan akan lebih dipercaya jika disampaikan kepada komisoner perusahaan yang merupakan representasi dari kalangan buruh.


Melalui gainsharing, buruh akan menanggapi positif target produksi perusahaan. Hubungan harmonis seperti ini yang sesungguhnya dituntut oleh perekonomian pancasila yang mulai kita lupakan.

0 komentar:

Posting Komentar