AHOK, CERITA GIGI VERSUS GIGI


Membaca sepak-terjang Basuki Tjahya Purnama seperti membaca ‘Perahu Kertas’-nya Dewi Lestari tetapi ditulis oleh Pramudya Ananta Toer. Sebuah letupan tak lazim. Dan para pecinta tetralogi Pulau Buruh tanpa sadar akan didorong menjadi dua kutub, mencintai atau membencinya. Demikian pula dengan Ahok. Dia adalah sebuah eksperimen politik. Dia mengilas habis, apa yang selama ini kita sebut, brand pejabat publik.

Saya membaca tiga aspek dari Ahok yang menjadi sorotan publik. Bagi penggiat politik, masa lalu Ahok itu hitam. Ahok adalah politisi kutu loncat. Seingat saya, Ahok pernah “mengontrak rumah” pada 3 parpol, yaitu PIB, Golkar dan Gerindra. Yang paling menjadi masalah adalah sejarah Ahok pada 2 parpol terakhir. Ahok meninggalkan Golkar dan masuk Gerindra agar bisa bersanding dengan Jokowi. Tetapi, dengan santai pula dia meninggalkan Gerindra sebagai konkrititas sikap tegasnya menolak pilkada via DPRD.

Padahal, paska reformasi, hambatan kebijakan eksekutif adalah konstelasi politik di gedung wakil rakyat. Karena itu, lazimnya kepala daerah independen tersebut, pada akhirnya terpaksa menerima realitas. Mereka menjadi kader parpol.  O.K. Arya Zulkarnain dan Aceng Fikri  mantan Bupati Batubara dan Garut, yang terpilih dari jalur perseorangan, akhirnya hinggap di struktur Golkar sebagai solusi menjinakan DPRD. Sementara Irwandi Yusuf di Aceh kemudian mendirikan parpol baru. Kondisi yang bertolak belakang justru terjadi pada kasus Ahok.

Pembangkangan di internal parpol itu biasa. Tetapi perilaku Ahok ini menurut saya bukan sekedar itu. Masalah pertama adalah politik balas budi. Masalah kedua, dan ini yang paling aneh, Ahok mengobrak-abrik parpol sebagai otoritas tunggal yang lazimnya bisa memutar kepala para kadernya. Jika otoritas Parpol melempem di mata para kader, maka parpol akan terdegradasi menjadi selayak minimarket. Kader hanya datang jika ada barang-barang yang hendak dibelinya. Selain itu, kader abai. Barangkali ini yang membuat Ahok dihajar oleh parpol-parpol lewat kaki tangannya di DPRD DKI. Parpol berhimpun, dan hak angket pun sah diajukan.

Sebenarnya Ahok bisa saja mengisolasi resistensi kepadanya hanya pada kalangan politisi. Persoalannya, Ahok bukan pemimpin kebanyakan. Dia tempramental, ceplas-ceplos, dan jarang  mau kompromi. Jika didesak, Ahok justru balas mengaum. Gigi dibalas gigi. Ahok seolah tak kenal istilah ‘win-win’, tetapi ‘gue harus menang’ .

Sebenarnya gaya kepemimpinan macam ini bukan hanya milik Ahok. Banyak pejabat publik yang juga begitu. Perbedaannya, Ahok tak punya bilik kecil dan bilik besar. Tanpa dosa, Ahok ngamuk-ngamuk di depan publik, di depan PNS, kepada para pengusaha. Bahkan keberadaan awak media tidak menyurutkan aksinya. Tak pelak aksi ngamuk-ngamuk ini yang kemudian banyak sampai ke publik.  Brand Ahok menjadi pejabat negara yang emosian dan tukang cari musuh.

Padahal masalah Ahok sudah segudang. Bukan hanya politisi, tetapi kalangan yang fanatik sudah sejak Pilkada DKI menjadikan dirinya sebagai sasaran tembak. Pemimpin Tionghoa dan non muslim memimpin daerah yang mayoritas Islam memang bukan sesuatu yang lazim.    
Ahok memang tak perlu takut. Dengan adanya pendukung rill dan popularitasnya yang relatif bersih, potensinya untuk memenangkan ‘pertempuran-pertempuran’ politik ini cukup besar. Pendukung-pendukungnya, yang sebagian besar adalah anak muda, terdidik, kelas menengah itu juga kemungkinan besar tidak akan kehabisan nafas.  Lihatlah tagar-tagar yang mereka ajukan, dari sekedar #saveahok sampai, lebay sebenarnya, #InAhokWeTrust

Ahok sebagai sebuah eksperimen politik membuat mereka siap memback-up. Jika sukses,  bangsa ini akan menemukan jalur baru yang bermanfaat. Jika gagal, akan kembalilah kita pada jalan tua penuh ilalang, kerikil dan tahi sapi yang menyebalkan. Memang belum semua harapan sudah terealisasi, tetapi kekacauan di sana toh bisa disubsidi dengan kesuksesan di sini.

Dampak gigi vs gigi ini paling-paling program terhambat, yang bisa Ahok akali dengan memecut PNS-PNS agar bekerja lebih cepat, lebih efektif. Toh, take home pay PNS DKI Jakarta sangat menggiurkan. Kalaupun ada nada sumbang, Ahok bisa menabrakan kekecewaan rakyat atas terhambatnya program kepada DPRD, kepada masyarakat yang membangkang, kepada SKPD-SKPD yang lemot.

Tidak salah memang, karena itu pula faktanya. Tapi persoalannya, Ahok sudah nyaris tiga tahun duduk di kursi pimpinan Jakarta. Mulai dari wagub, Plt gubernur sampai gubernur. Tidakkah ia belajar bahwa ‘kalau mau damai harus siap berperang’ bukan satu-satunya strategi untuk pembangunan Jakarta. Mengapa Ahok tidak menerapkan strategi baru, misalnya ‘menang tanpa perlu mencabut pedang’?

Kalau Ahok bisa mendekat kalangan masyarakat umum, mengapa ia tidak mencoba bicara dengan para penentangnya? Stop dulu perang mulut di media massa. Saya yakin di sisi seberang sana, masih ada kalangan yang siap diajak bicara jika Ahok mau sedikit menurunkan temperamennya –sebuah pendekatan baru tanpa harus menurunkan kualitas program-program yang ia sodorkan. Kalaupun para penentang menolak, bukankah secara politis brand Ahok akan meningkat?

Ahok, DPRD, dan para pendukungnya mungkin masih bisa mengebul mesin-mesinnya hingga Pilkada DKI Jakarta ke depan. Tetapi bagaimana dengan masyarakat Jakarta yang lain, yang sudah letih melihat keriuhan di tingkat pusat dan provinsi,yang ingin agar program-program Ahok dapat segera mereka rasakan manfaatnya? Bagaimanapun, semua pertentangan ini sejatinya kan buat mereka.

0 komentar:

Posting Komentar