AHOK, CERITA GIGI VERSUS GIGI


Membaca sepak-terjang Basuki Tjahya Purnama seperti membaca ‘Perahu Kertas’-nya Dewi Lestari tetapi ditulis oleh Pramudya Ananta Toer. Sebuah letupan tak lazim. Dan para pecinta tetralogi Pulau Buruh tanpa sadar akan didorong menjadi dua kutub, mencintai atau membencinya. Demikian pula dengan Ahok. Dia adalah sebuah eksperimen politik. Dia mengilas habis, apa yang selama ini kita sebut, brand pejabat publik.

Saya membaca tiga aspek dari Ahok yang menjadi sorotan publik. Bagi penggiat politik, masa lalu Ahok itu hitam. Ahok adalah politisi kutu loncat. Seingat saya, Ahok pernah “mengontrak rumah” pada 3 parpol, yaitu PIB, Golkar dan Gerindra. Yang paling menjadi masalah adalah sejarah Ahok pada 2 parpol terakhir. Ahok meninggalkan Golkar dan masuk Gerindra agar bisa bersanding dengan Jokowi. Tetapi, dengan santai pula dia meninggalkan Gerindra sebagai konkrititas sikap tegasnya menolak pilkada via DPRD.

POLITISI NDESO ITU KEMBALI


Setelah sekian lama kita ditampar kegalauan, akhirnya di penghujung tahun kuda ini, Jokowi kembali ke asalnya. Politisi ‘ndeso’ ini membuat gebrakan besar ketika harapan rakyat akan nawacita yang konsekuen mulai dipertanyakan. Sore tadi, Jokowi kembali gemilang membacakan pidatonya yang, kembali tegas, sekaligus jadi jalan keluar sengketa Polri versus KPK.

Point penting, dari pidato Jokowi itu adalah, Pertama, membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan, dan mengusulkan Komjen Badrodin Haiti sebagai Kapolri kepada DPR. Kedua, memberhentikan sementara  Abraham Samad dan Bambang Widjojanto terkait masalah hukum yang menjerat dua pimpinan KPK, serta mengangkat Taufiequrrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi sebagai pimpinan sementara KPK demi keberlangsungan kerja di lembaga KPK demi keberlangsungan kerja di lembaga “Kuningan” itu.

BLUNDER (BURUH) MENTERI TEDJO



Oleh : Hendri Teja
Aktivis Buruh & Rakyat Tak Jelas

Pernyataan Menkopolhukam Tedjo Edhi Purdijanto kian hari kian blunder saja. Setelah sebelumnya menyebut KPK didukung rakyat tak jelas, kini Tedjo memasuki ranah buruh. Ancaman pegawai KPK untuk mogok jika seluruh pimpinannya ditetapkan tersangka oleh Bareskrim Polri, direspon Tedjo dengan sebutan “kayak buruh saja”.

Respon  ini menggambarkan kegagalan Tedjo, bukan hanya, dalam membaca dan menganalisis gerakan buruh, tetapi pemahaman siapa buruh itu sendiri.  Ada tiga point penting yang saya catat terkait pernyataan Tedjo ini.

Pertama, gagal paham definisi. Setiap orang berhak menafsirkan definisi subjek tertentu, tetapi sebagai seorang  pejabat publik, apalagi menkopolhukam, Tedjo dipaksa untuk berucap sesuai dengan konsteks peraturan perundangan-undangan. Karena jika tidak, multitafsir yang terjadi bisa menyebabkan kegoncangan-kegoncangan publik. Kasus ini adalah salah satunya.

Jadi berdasarkan UU No 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan UU No. 14 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ditegaskan bahwa pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan  menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Artinya pegawai KPK itu bukan “kayak” buruh tetapi mereka memang buruh.  Bukankah KORPRI dan PGRI sudah tercatat sebagai serikat buruh di kementerian tenaga kerja? Hal ini merupakan pengakuan bahwa PNS itu adalah buruh.

JANGAN SEKADAR UPAH MINIMUN


Ketimbang isu ketenagakerjaan lainnya, penetapan upah minimun adalah yang terpanas. Negosiasinya selalu disambut unjukrasa besar-besaran. Dewan pengupahan, sebagai representasi pemerintah, pengusaha, serikat buruh, ditambah pakar dan perguruan tinggi, gagal meredam keriuhan ini. Dewan pengupahan seolah sekadar tempat adu ngotot, saling tuding antara buruh-pengusaha.

Ironisnya, taktik memperkuat bargaining kalangan buruh sering serampangan sehingga mengganggu ketertiban umum. Gegap-gepita, manuver dan antusiasme buruh dalam menuntut upah minimun mengundang cemooh publik. Buruh dituding sebagai kalangan yang mau menang sendiri.  Harga ini relatif mahal mengingat upah minimun hanya sebagian kecil dari target perjuangan buruh.

Lagipula upah minimun sejatinya hanya jaringan pengaman bagi pekerja lajang yang masa kerjanya di bawah 1 (satu) tahun. Para pekerja yang sudah berkeluarga tentu harus mendapatkan pendapatan di atas upah minimun. Artinya, pertarungan ini akan diteruskan ke tingkat perusahaan masing-masing.