Politik Upah Murah


Sejak lima tahun silam, Indonesia selalu diguncang isu pengupahan yang lazim dibarengi unjuk rasa besar-besaran. Perlu dicatat, dalam setiap unjuk rasa bukan hanya pengusaha yang pusing.

Setiap unjuk rasa selalu melalui proses panjang dan rumit, yang pasti akan menyedot banyak energi. Mulai dari rapat, konsolidasi, sampai penggalangan dana dan perizinan. Jika boleh memilih, buruh pun ingin bekerja tenang. Tapi, dalam banyak kasus, unjuk rasa dan mogok terbukti lebih jitu sebagai instrumen pemenuhan hak-hak buruh.

Keampuhan unjuk rasa tergambar dari data upah minimum periode 2010-2015 yang naik signifikan. Grafiknya eksponensial. Rata-rata pertumbuhan upah minimum di Indonesia pasca-2010 selalu di atas 15 persen. Bahkan pada 2013, DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Pasuruan naik masing-masing 43,9 persen, 60,9 persen, dan 37,4 persen. Namun, perlu pula dicatat pertumbuhan itu tetap membuat upah minimum Indonesia masih berada di bawah Malaysia, Thailand, Cina, Filipina, dan Singapura.

Lentingan pertumbuhan upah minimum adalah sesuatu yang wajar. Sebab, setelah sekian lama, pemerintahan Orde Baru mengeksploitasi kaum buruh. Ibarat pegas, semakin kuat penekanan semakin kuat pula tingkat lontarannya.

Namun, harus diakui bahwa lentingan tersebut membuat perusahaan tidak stabil. Pengusaha kesulitan untuk memprediksi besaran upah minimum tahun depan. Kesepakatan yang terjadi antara pengusaha-buruh via Dewan Pengupahan sejatinya adalah kesepakatan sama-sama kalah. Target besaran upah yang dirumuskan buruh dan pengusaha sama-sama tidak tercapai.

Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla mencoba menjadi mediator. PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan adalah instrumen untuk mengharmoniskan kepentingan buruh dan pengusaha. Prediksi besaran upah buruh akan memudahkan perusahaan untuk membuat penganggaran tahun depan. Rencana pengembangan perusahaan dalam Rapat Umum Pemegang Saham bisa lebih dijamin realisasinya.

Sebaliknya, buruh memiliki jaminan bahwa upah minimum akan naik setiap tahun. Upah minimum tahun depan adalah upah minimum berjalan, ditambah upah minimum tahun berjalan dikalikan inflasi tahunan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Tingkat inflasi menjadi simbol pengaman kenaikan barang dan jasa tahun berjalan. Sedangkan, "bagi hasil" atas kinerja perusahaan disimbolkan dengan pertumbuhan ekonomi.

Pada titik ini bisa dipahami iktikad baik pemerintah dalam konteks mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Karenanya, secara makro meskipun dengan beberapa catatan, PP Pengupahan cukup diterima serikat buruh. Sayangnya, sebelum catatan tersebut sempat dibahas bersama, secara sepihak pemerintah mengetuk pemberlakuannya pada 23 Oktober 2015.

Dari banyak catatan, setidaknya ada tiga catatan penting atas PP Pengupahan. Pertama, upah minimum yang menjadi startup. Pemerintah tidak memberi ruang untuk mengkritisi apakah upah minimum 2015 sudah sesuai kebutuhan hidup layak (KHL). Padahal, data Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) menunjukkan, pada 2015 terdapat 23 provinsi yang pengupahannya di bawah KHL.

Jika upah minimum yang dijadikan startup sudah di bawah KHL, kemungkinan besar hasil rumusan PP Pengupahan akan kembali di bawah KHL. Ambil contoh KHL Jakarta versi buruh Rp 3,3 juta, tetapi upah minimum 2015 cuma Rp 2,7 juta. Ada kesenjangan Rp 600 ribu atau 22,23 persen. Padahal, UMP Jakarta 2016 cuma naik 11,5 persen karena inflasi 2015 sebesar 6,83 persen dan pertumbuhan ekonomi DKI 4,67 persen.

Kedua, degradasi peran dewan pengupahan dari wadah berunding menjadi tukang hitung rumus. Tidak ada lagi survei lapangan. Cukup mengambil data inflasi dan pertumbuhan ekonomi dari BPS. Permasalahannya, kenaikan harga barang acap lebih tinggi dari tingkat inflasi.

Ambil contoh, data BPS 2014 mencatat harga eceran nasional susu kental kaleng 385 ml dan minyak goreng mengalami kenaikan 13,9 persen dan 8,82 persen dari 2013. Padahal, inflasi tahunan 2014 hanya 7,26 persen.

Rumusan ini akan lebih kacau jika diturunkan ke level kota/kabupaten. Ditemukan rata-rata harga eceran beras di pasar tradisional pada 11 kota dari 33 kota mengalami kenaikan di atas nilai inflasi 2014. Empat kota kenaikannya sampai dua digit, dengan pemuncak Kota Palembang dan Kota Bengkulu yang mencapai 15,29 persen dan 16,23 persen.

Kondisi ini menggambarkan bahwa penggunaan tingkat inflasi nasional tidak serta-merta bisa mengejar kenaikan harga di level nasional, apalagi lokal. Lantas siapa yang harus menanggung kesenjangan ini? Layakkah menutupnya dengan bagian upah minimum dari pertumbuhan ekonomi? Jika demikian, bukankah artinya kembali buruh yang dikorbankan?

Jika pun hendak dipaksakan, perusahaan hendaknya memberi subsidi upah jika ternyata besaran upah minimum rumusan PP tidak sesuai dengan realitas lapangan. Di sinilah peran dewan pengupahan dibutuhkan, yaitu merekomendasikan besaran subsidi upah. Besarannya berdasarkan pada survei lapangan di masing-masing daerah sebagai pembanding data BPS.

Ketiga, rendahnya kepatuhan pengusaha. ILO Indonesia mencatat 51,7 persen pekerja tetap memperoleh upah di bawah upah terendah yang diwajibkan pada Februari 2015. Ironisnya, kepatuhan ini ternyata memiliki siklus tahunan. Tingkat kepatuhan terendah terjadi pada Februari dan tertinggi pada Agustus.

Ada rentang waktu khusus yang dibutuhkan perusahaan untuk melakukan penyesuaian upah. Butuh beberapa bulan pascadiumumkan, baru para buruh bisa menikmati peningkatan upah. Hal ini tentu merugikan kalangan buruh. Karena itu, dibutuhkan pengawasan dan ketegasan pemerintah untuk memastikan pengusaha merealisasikan kebijakan itu dengan tepat dan cepat.

Intinya, iktikad baik pemerintah yang terkandung dalam PP Pengupahan patut diapresiasi. Sayangnya, pemerintah terlalu tergesa-gesa menerbitkan peraturan itu ketika pokok-pokok substansinya masih perlu dibahas lebih lanjut.

Akibatnya, PP Pengupahan mirip instrumen politik upah murah yang dulu diimplementasikan oleh pemerintahan Orde Baru. PP Pengupahan justru kontradiktif dengan visi trilayak buruh yang digembar-gemborkan Jokowi sewaktu pilpres. 

Hendri Teja
Sekjen PB Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo)

sumber republika.co.id

HARMONISASI HUBUNGAN BURUH - PENGUSAHA


Presiden Jokowi sedang merumuskan formulasi penentuan upah buruh. Hal ini disebut-sebut guna memberikan kepastian bagi pengusaha, mengingat formulasi upah minimum buruh senantiasa ditentukan setiap tahun. Kali ini, rencananya formula ini bisa diterapkan dalam jangka lima tahun.

Melalui formula ini, tuntutan buruh di mana upah minimum akan naik setiap tahun dipastikan akan terjadi. Namun, apakah formula itu nantinya bisa menjawab indikator yang adil dan cukup belum terjawab. Apakah kenaikan tersebut mencukupi buruh untuk bisa memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) belumlah terjawab.

Yang jelas, sebagai suatu formula, kebijakan taktis ini bisa membuka ruang baru dalam harmonisasi hubungan industrial tanah air yang sekian lama dibalut saling curiga. Perkara upah minimum hanya satu bagian kecil dalam permasalahan hubungan industrial di tanah air.

Saling Curiga
Relasi buruh dan pengusaha yang dibalut saling curiga sejatinya lahir dari satu pemikiran dasar yang bertolak belakang. Pengusaha, sebagai pemilik capital, memandang buruh hanya sebatas faktor produksi. Buruh tidak beda dengan mesin, lahan, atau bahan baku sehingga penggunaannya diefektifkan dan diefisiensikan agar harga produk rendah, kualitas tinggi, dan deliver produk yang cepat. Muaranya adalah pemaksimalan keuntungan bagi pengusaha. Dalam kerangka ini maka paradigm yang dimajukan adalah produktifitas. Semakin produktif, maka reward bagi buruh akan semakin tinggi.

Di lain sisi, belakangan ini buruh tengah berjuang untuk memposisikan diri sebagai mitra pengusaha. Jika pengusaha memberikan kapital bagi perusahaan, maka buruh menyumbang tenaga dan pikirannya. Mereka sama-sama pemilik faktor produksi. Tuntutan kesetaraan posisi kian menguat seiring diberlakukannya UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja. Apalagi  menolak dan masuk serikat buruh sudah masuk ke dalam ranah HAM.

Buruh terpaksa menggunakan paradigma bargaining, karena posisi mereka dianggap lemah oleh pengusaha. Instabilitas yang terjadi dalam pasar tenaga kerja di Indonesia, terlebih dengan parade PHK buruh belakangan ini, membuat posisi pengusaha sangat kuat.

Menurut Rieke Diah Pitaloka, Anggota Komisi IX DPR RI FPDI Perjuangan, pada periode Januari-September 2015 telah terjadi PHK sebesar 79.425 orang. Dalam konteks ini, buruh terpaksa menggunakan dua jurus utama. Pertama, aksi-aksi menyebalkan untuk menarik perhatian publik, unjuk rasa besar-besaran sampai menutup jalan tol. Kedua, aksi menggangggu produktifitas, seperti mogok masal, sehingga buruh dan pengusaha sama-sama merugi.

Pemerintah Belah Sebelah
Buruh bukannya enggan memajukan paradigm produktivitas. Tetapi dalam banyak kasus, produktivitas tidak linier dengan reward yang didapat. Metode ini acap tidak konsisten. Sebagai contoh, Publikasi Asian Productivity (2014) mencatat bahwa produktivitas per pekerja di Indonesia  adalah sebesar 20 ribu $USD. Indonesia hanya kalah dari Thailand (22,9 $USD), Malaysia (46,6 $USD) dan Singapura (114,4$USD). 

Produktivitas buruh Thailand dan upah buruhnya yang lebih rendah dari Indonesia kemudian dijadikan senjata oleh Kementerian Perindustrian untuk menekan tuntutan kenaikan upah buruh. Hal ini memperkuat stigma buruh bahwa pemerintah dalam banyak kasus sering berperan sebagai antek-antek pengusaha. Cacat taktik ini adalah perbandingan yang tertutup.

Jika dibandingkan lebih luas, produktivitas Indonesia lebih tinggi dari Tiongkok (16,9 ribu $USD), Filipina (14,7 ribu $USD), India (11,9 ribu $USD), Vietnam (7,9 ribu $USD), Myanmar (6,7 ribu $USD) dan Kamboja (4,6 ribu $USD). Ironisnya upah buruh Tiongkok, Filipina dan Vietnam justru jauh lebih besar dari Indonesia. Hasil analisis The Economist Intelligence Unit (EIU), menyebut buruh Indonesia hanya menerima 74 sen per jam. Sedangkan buruh Tiongkok menerima US$ 4,79 per jam, Filipina US 3,15 per jam, dan Vietnam US$ 3,16. Bukankah ini ketimpangan?

Harmonisasi Hubungan Industrial  
Pendekatan produktifitas dan bargaining semata mustahil mampu membangun relasi produktif-manusiawi antara buruh dan pengusaha. Tetapi tetap ada jalan tengah. Agus Sudono pernah merumuskan jawaban. Menurut tokoh buruh tiga zaman ini, hubungan pengusaha dan buruh sebaiknya didasarkan pada tiga asas kemitraan, yaitu produksi, berbagi keuntungan dan pertanggungjawaban.

Buruh dan pengusaha sama-sama berkontribusi bagi perusahaan. Sehingga keduanya harus mau berbagi keuntungan. Karena kesejahteraan keduanya terkait kemajuan perusahaan, maka mereka wajib menciptakan iklim kerja kondusif demi keberlanjutan perusahaan.

Kuncinya adalah perluasan akses pekerja dalam pengambilan keputusan perusahaan.  Agar legal dan paripurna sebaiknya ada saham pekerja. Sayangnya, karena dinilai akan mengerogoti dominasi pengusaha, gagasan ini layu sebelum berkembang.  Belakangan saham pekerja menjadi  salah satu tujuan serikat buruh sebagaimana termaktub dalam UU No 21 Tahun 2000, kendati belum menjadi kewajiban pengusaha.

Mirip dengan Sudono, dalam Teologi Buruh (2008), Abdul Jalil merumuskan hubungan industrial berbasis syirkah inan-ijarah. Ini adalah kombinasi perjanjian kemitraan dengan kontrak kerja buruh-majikan. Jalil merekomendasikan agar buruh-pengusaha berbagi untung-rugi (profit loss sharing) sesuai kesepakatan. Jika pengusaha dan buruh sudah berbagi keuntungan, otomatis mereka akan bekerjasama mengejar produksi optimun. Pintu masuk Jalil adalah ruang bagi buruh untuk berkontribusi dalam pembentukan modal perusahaan. Buruh turut menjadi pemilik perusahaan. Sehingga pengusaha wajib melibatkan buruh dalam penyusunan kebijakan perusahaan.

Kemitraan buruh-pengusaha ini dalam teori manajemen modern lazim disebut gainsharing. Model ini mulai berkembang di Eropa dan Amerika Serikat pada dekade 80-an sebagai jalan tengah. Buruh bukan lagi sebatas alat produksi perusahaan, objek dalam kapitalisme. Sebaliknya, model ini juga menolak buruh sebagai penguasa mutlak alat produksi seperti yang ditekankan kalangan sosialis.

Kini bentuk praktik gainsharing kian beragam. Bentuk yang paling populer adalah bonus ketika output melebihi target (production sharing plans) dan bonus terlepas kinerja buruh (profit sharing plans). Belakangan saham pekerja (employee stock ownership plans) juga diadopsi.

Dalam kondisi relasi buruh-pengusaha di Indonesia yang buruk, ketiga bentuk ini sebaiknya dipraktikan sekaligus. Ambil contoh kasus buruh perkebunan karet dan sawit yang harga produknya tergantung pasar dunia.  Production sharing plans mudah dihitung, tapi bagaimana jika harga kedua komoditas itu melonjak di pasar dunia? Tidak layakkah jika buruh turut mengecap manisnya durian runtuh itu? Lagipula profit rill perusahaan akan lebih dipercaya jika disampaikan kepada komisoner perusahaan yang merupakan representasi dari kalangan buruh.

Melalui gainsharing, buruh akan menanggapi positif target produksi perusahaan. Hubungan harmonis seperti ini yang sesungguhnya dituntut oleh perekonomian pancasila yang mulai kita lupakan.


Revisi UU KPK, PDIP Coba Telikung Jokowi?

Menarik menyikap usulan revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Prolegnas prioritas tahun 2015. Bukan sekadar karena tahun kerja 2015 tinggal sekitar dua bulan lagi, tetapi karena para pengusul mayoritas berasal dari kelompok Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Total anggota DPR pengusul sendiri adalah 45 orang.
Hitung-hitungan pengusul yang notabene tergabung dalam KIH  berjumlah 34 anggota DPR yang terdiri dari Fraksi PDIP 15 orang Fraksi nasdem 11 orang dan fraksi hanura 3 orang. Fraksi PKB 2. Lalu dari kelompok Koalisi Indonesia Hebat berjumlah 14 anggota DPR yaitu Fraksi Golkar 9 orang dan Fraksi PPP 5 orang.
Usulan ini menarik, pasalnya pada Juni lalu, Jokowi telah bertegas-tegas menolak rencana dan usul revisi UU KPK. Penolakan tersebut karena Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi ditujukan untuk kementerian, lembaga dan pemerintah daerah, dimana KPK akan tetap membantu dalam pengawasannya.
Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrachman Ruki, Jokowi tidak memiliki keinginan untuk melemahkan KPK. Karena itu, revisi UU KPK ditolak Jokowi.
Meskipun usulan ini tidak menggunakan embel-embel fraksi, mengingat pengusulnya mayoritas anggota DPR dari KIH, tetap bak menampar wajah Jokowi. KIH sudah distigmakan dengan Jokowi-JK. Artinya setiap komponen KIH, mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah, diharapkan bisa mendukung program-program pemerintah. Bukannya justru menjadi tukang recok.
Perlu dicatat bahwa aktivitas anggota DPR bukan sekadar mewakili rakyat yang memilihnya. Dalam banyak kasus, gerak-gerik anggota DPR bukan didorong oleh masalah pribadi/ sukarela yang diselesaikan berdasarkan pada kombinasi pandangan atau prioritas anggota DPR secara individu serta loyalitas pada parpol. Fraksi di DPR bukanlah pratana otonom yang bergerak atas usulan para anggotanya.
Sebaliknya, Fraksi di DPR sejatinya merupakan kepanjangan tangan parpol. Melalui fraksi-lah, parpol masuk dalam gelanggang penyusunan UU, penentuan APBN, serta pengawasan pemerintah. Sejarah DPR mencatat para legislator yang menentang kebijakan fraksi DPR, cq parpol, yang kemudian disaksi rotasi komisi, dicopot dari jabatannya pada alat kelengkapan DPR, bahkan dikenakan PAW.
Jika ditelisik lebih mendalam, fenomena ini bisa dilihat pada dua prespektif. Pertama, terjadi kreatifitas destruktif di tubuh aktivis KIH di DPR terhadap orientasi dukungan terhadap pemerintah Jokowi-JK. Jika hal ini yang terjadi, artinya Fraksi DPR, dan jika ditarik lebih ke atas, parpol yang tergabung dalam KIH telah kecolongan. Pasalnya, jarak 4 bulan, Juni-Oktober, tidaklah terlalu jauh sehingga anggota DPR pengusul revisi UU KPK tersebut bisa silap. Terlebih jika mengingat para anggota DPR telah dibekali oleh 5 tenaga ahli yang bertanggungjawab memberikan supporting atas kerja-kerja mereka.
Kedua, fenomena ini adalah skenario test the water yang digawangi oleh parpol sendiriAda gerakan senyap, sebuah kesepakatan bersama untuk merevisi UU KPK di tubuh parpol. Bagaimanapun, sejarah penegakan hukum terhadap koruptor tidak pernah pandang bulu. KPK telah menjerat para politisi parpol korup, baik di KIH maupun KMP.

Dan ternyata, informasi terbaru sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto, revisi UU KPK ini adalah atas perintah dari komandan tertinggi di PDIP. Siapa lagi kalau bukan Megawati Soekarno Putri?
Namun, mengingat gugatan publik dan demi menjaga citra pemerintah, parpol melakukan ‘nabok nyilih tangan’. Secara sengaja, para anggota DPR dikerahkan tetapi dengan seragam individualPara pengusul ini adalah pion-pion yang bertugas untuk test the water, menguji sejauh mana perhatian publik terhadap revisi UU KPK ini.
Jika respon public hanya samar-samar, maka agenda ini akan dimajukan dalam lingkup Fraksi- DPR. Tetapi jika kemudian gagal, maka fraksi akan pura-pura kecolongan, lalu memberikan sanksi terhadap pion-pion ini untuk menenangkan masyarakat.
Jika berhasil, para pion akan diganjar penghargaan. Jika gagal, tidak pula ‘rugi-rugi amat’. Paling-paling mereka cuma akan dikenakan sanksi teguran. Apakah pion-pion tidak akan merugi dalam konteks citra di masyarakat. Ya, mereka akan menderita kerugian. Tetapi bukankan masyarakat Indonesia suka lupa? Bukankah pemilu 2019 masih lama waktunya?
Lantas, apa yang harus dilakukan masyarakat? Jika Anda merasa revisi UU KPK ini akan melemahkan KPK, tentu saja harus menyuarakan penolakan. Banyak cara yang bisa dilakukan. Dan selemah-lemahnya iman adalah dengan ber-medsos ria. Petisi Change dan kampanye di facebook dan twitter bisa jadi pilihan. Sudah saatnya kita hentikan perang hastek tak bermutu di twitter dimana penyerang dan pendukung Jokowi adalah akun-akun yang ‘itu-ke itu’ saja.

*pernah dimuat di gerilyanews dan kompasiana

Dianiaya DPR, Pekerja Rumah Tangga Melawan



Topiah, Pekerja Rumah Tangga (PRT), mengaku kerap dianiaya majikannya,  Fanny Afriansyah alias Ivan Haz, anggota DPR. Dia  mengaku kerap ditendang dan dibenturkan ke tembok oleh putera mantan Wapres Hamzah Haz tersebut.  Akibatnya, kepalanya dijahit dan telinganya robek sehingga harus dioperasi. Dia juga mengaku hanya diberi makan hanya sekali sehari, dan dua bulan upah kerjanya belum dibayar. Karena tidak tahan lagi, Topiah kabur dan kemudian melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian.

Pelaku Kekerasan Bisa Siapa Saja
Sebelum kasus Topiah mencuat, media telah ramai mempublis keluarga pengusaha batu permata di Medan, serta tiga janda paruh baya di Tangerang Selatan. Di Depok, seorang PRT tua dianiaya oleh seorang PNS yang juga istri polisi. Di Bogor, pelakunya istri purnawirawan jenderal polisi.

Belakangan, pada Juli 2015, sempat mencuat oknum Brimob Polda NTT menganiaya seorang PRT anak. Seorang polisi yang nyambi sebagai debt colector pun sempat kedapatan menganiaya PRT di Bogor.  Lantas, kendati sulit dipercaya, bukan tidak mungkin seorang anggota DPR pun melakukan hal yang sama.
Kasus ini kian menyedot perhatian, karena selain anggota DPR, Ivan Haz adalah putera mantan wapres yang pernah menjadi ketua umum PPP. Sebagai pembuat UU, secara otomatis anggota DPR adalah kalangan pertama yang diwajibkan taat dan patuh akan peraturan perundang-undangan.

Sebagai putera Hamzah Haz dan politisi parpol Islam, tentu ada nilai-nilai humanis yang harus kukuh dipegang.  Sehingga menjadi tandatanya besar, kesalahan apa yang dilakukan Topiah sehingga rela kabur dengan memanjat pagar dan akhirnya terjatuh. Artinya ada ketakutan mahabesar di sini.

Damai = Tidak Ada Efek Jera
Menariknya, Ivan sempat menyesalkan, mengapa urusan ini tidak diselesaikan secara kekeluargaan. Mengapa Topiah sampai harus lapor polisi. Pernyataan ini adalah fenomena yang terjadi pada mayoritas kasus dugaan penganiayaan PRT. Data JALA PRT mencatat terjadi 408 kasus kekerasan terhadap PRT di mana 85 % diantaranya terhenti proses hukumnya di kepolisian. Artinya 347 kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan.

Perdamaian ini tidak terlepas dari latar belakang PRT sebagai kalangan buruh yang paling lemah posisinya. Bukan sekadar karena mayoritas berpendidikan rendah, tetapi juga faktor kuantitasnya yang bisa dihitung jari dalam satu rumah tangga. Jika buruh industri bergerak dalam wadah unit kerja, maka perjuangan PRT cenderung individual. Dan perjuangan perorangan selalu dihantui oleh rasa takut yang berlebihan.

Walhasil, ketika kekerasan terjadi, PRT lebih cenderung memilih damai ketimbang bertarung demi mendapatkan hak-haknya. Fenomena ‘nrimo’ akan kian kental jika dalam penuntutan tersebut, PRT tidak didampingi oleh relawan buruh yang bisa membangkitkan kepercayaan dirinya.

Kedua, karena tidak ada sanksi atas pelanggaran hak-hak PRT dari sisi majikan khususnya. Tidak ada rujukan payung hukumnya karena UU Perlindungan PRT belum ada, sementara UU No. 13 Tahun 2003 tidak memasukan PRT sebagai buruh atau tenaga kerja.

Sebagai buruh, PRT sejatinya memiliki hak-hak normatif  diantaranya standarisasi upah, pengaturan jam kerja dan waktu istirahat, cuti mingguan, dan tahunan, hak untuk berkomunikasi dan berserikat serta perjanjian kerja tertulis, bukan sekedar lisan.  Tetapi karena tidak ada rujukan payung hukumnya, polisi sulit menindak pelanggaran hak-hak tersebut.

Pasalnya, UU Perlindungan PRT belum ada, sementara UU No. 13 Tahun 2003 tidak memasukan PRT sebagai buruh atau tenaga kerja. Sehingga yang bisa ditindaklanjuti biasanya ketika PRT telah mendapat kekerasan secara fisik. Majikan pelakunya kemudian dikenakan pasal kekerasan dalam rumah tangga. Jadi tindak kekerasannya yang ditindak, bukan pelanggaran terhadap hak-hak PRT-nya.

Fenomena ini menjadi persoalan pelik karena kekerasan terhadap PRT tidak terjadi secara ujug-ujug. Kekerasan terhadap PRT biasanya terjadi setelah hak-hak normatif diatas dilanggar, dan PRT tidak berdaulat untuk melawan.

Jika sejak pelanggaran hak-hak normatif PRT, para majikan telah diberi sanksi, kekerasan terhadap PRT akan bisa diminimalisir. Sayangnya tidak ada payung hukum yang bisa mengantisipasi kejadian-kejadian ini. Maka tak heran jika publik baru meledak ketika PRT sudah melapor ke polisi dalam kondisi berdarah-darah.

UU Perlindungan PRT
Sejatinya, Kementerian Tenaga Kerja telah mencoba menjawab dengan menerbitkan Permenaker No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT. Tetapi peraturan ini tidak bisa menjawab masalah secara komprehensif. Permenaker No. 2 Tahun 2015 sejatinya lebih berorientasi pada perlindungan PRT atas ‘kejahatan’ penyalur. Subjek hukum Permenaker bukan majikan, tetapi perusahaan penyalur. Sehingga sanksi yang diberikan adalah teguran dan pencabutan izin. Permenaker ini tidak berdaya untuk menjawab aksi-aksi kekerasan fisik dan non fisik yang dilakukan para majikan. Apalagi dalam Permenaker tersebut, pemerintah tidak membuka ruang bagi PRT  ke lembaga penyelesaian perselisihan, seperti pengadilan atau dinas ketenagakerjaan.

Satu-satunya cara adalah dengan menerbitkan UU Perlindungan PRT. Sejatinya UU PRT merupakan salah satu janji politik yang termaktub dalam visi dan misi Jokowi-Jusuf Kalla. Nyatanya para wakil rakyat yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat di DPR nyaris tak berbunyi. Bahkan Menaker Hanif Dhakiri secara resmi tidak merekomendasikan RUU PRT untuk masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.

Padahal, draft UU Perlindungan PRT versi masyarakat sejatinya sudah diserahkan kepada DPR sejak sepuluh tahun silam. Tebar janji dari pimpinan DPR sampai pimpinan Komisi IX yang membidangi  Kenegarakerjaan juga sudah terjadi. Tetapi nasib RUU PRT tidak jelas ujung pangkalnya. Bahkan, RUU Perlindungan PRT ditolak masuk prioritas Prolegnas 2015 oleh DPR, yang didalamnya termasuk Ivan Haz, majikan yang dituduh telah menganiaya PRT-nya. Jadi, kepada siapa lagi PRT harus berharap?

*pernah dimuat di gerilyanews dan kompasiana

Pemerintah Tumpul, Pengawasan DPR Reaktif dan Rakyat Gonjang-Ganjing


Sepanjang dua hari lalu, setahun DPR periode 2014-2019 dilantik menjadi isu yang mewarnai media massa.  Pada dasarnya ada dua kesimpulan besar di sana. Pertama, DPR seolah asyik dengan dirinya sendiri. Perihal yang disebut sebagai ‘asyik dengan dirinya sendiri’ tersebut diantaranya adalah  usulan dana aspirasi Rp 11,2 T, rencana 7 mega proyek pembangunan DPR, paranoid keamanan yang mendorong pengetatan sistem kunjungan rakyat ke DPR termasuk usulan polisi parlemen, kunker ke luar negeri, kasus-kasus dugaan pelanggaran etik di MKD, dan lainnya
Kedua, kinerja legislasi DPR memang mengenaskan. Dalam setahun ini, dari 37 Program Legislasi Nasional Prioritas 2015, tak satu pun yang telah disahkan DPR. Baru tiga RUU yang mulai diharmonisasi di Badan Legislasi DPR. Sedangkan tiga UU yang telah disahkan adalah hasil periode sebelumnya, yaitu Perpu Pilkada dan Perpu Pimpinan KPK serta revisi UU MD3.
Dua hal ini memang menyedihkan. Tetapi ada satu fungsi DPR yang kemarin kurang disorot yaitu pengawasan. Mengapa pengawasan penting? Karena, sebagaimana penyakit klasik di negeri kita, implementasi kebijakan pemerintah sering morat-marit di lapangan. Dibutuhkan ‘palu’ DPR untuk meluruskan kembali operasional kebijakan pemerintah agar bisa terlaksana sesuai dengan yang ditargetkan.
Tentu saja banyak faktor yang membuat kebijakan pemerintah melempem pada tatanan implementasi. Tidak semua kesalahan ada di sisi internal pemerintah, faktor eksternal –seperti perekonomian dunia dan hukum internasional turut mempengaruhi. Tetapi minimal dengan pengawasan yang baik kemelempeman ini bisa diminimalisir.
Apakah setahun ini pengawasan DPR terhadap pemerintah kurang? Tidak jika kita bicara di sisi hilir. Setahun ini, dan sebenarnya sama dengan periode-periode sebelumnya, pengawasan DPR relatif bersifat reaktif. Ketika terjadi kasus-kasus yang meresahkan masyarakat, akibat kemelempeman pemerintah ini, DPR baru turun tangan.  Googling saja, dan kita akan temukan beragam aksi heroik yang dilakukan DPR untuk menanggapi isu-isu yang membuncah di public..
Jika persoalan legislasi ada pada posisi hulu, maka pengawasan reaktif ini ada pada posisi hilir. Lantas bagaimana ditengahnya? Yang saya masuk di tengah ini adalah mencegah sebelum kasus-kasus yang meresahkan masyarakat tersebut muncul. Ambil contoh kasus pembakaran hutan dan lahan.
Mengutip penyataan MS. Kaban, mantan Menhut di era SBY, kasus pembakaran hutan dan lahan adalah kejadian rutin tahunan. Persoalannya ada pada perusahaan-perusahaan yang dengan sengaja membakar  hutan dan lahan, dan juga tumpulnya hukum sehingga kelompok pengusaha hitam ini selalu saja bisa mengulangi aksinya.
Saya tidak percaya, pemerintah era Jokowi-JK tidak punya strategi untuk mencegah kejadian ini terulang. Yang saya yakini adalah Jokowi-JK gagal mengimplementasikan strategi tersebut dengan paripurna, sehingga bencana kabut asap kembali terulang. Kegagalan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh tumpulnya hukum, rendahnya pengawasan pemerintah, serta lemahnya sinergi antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah (Pemda). Peran Pemda  menjadi penting karena semangat  otonomi daerah sesungguhnya telah menisbatkan Pemda sebagai ujung tombak dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan. Tapi lagi-lagi kita kecolongan.
Pada posisi inilah sesungguhnya fungsi pengawasan DPR harus hadir. Kejelian DPR dalam membaca masalah dan ketegasannya dalam memberikan masukan-masukan menohok agar strategi pemerintah tersebut tidak melempem. Intinya, DPR, dan sekaligus pemerintah, harus meninggalkan predikat pemadam kebakaran. Pencegahan lebih bermanfaat ketimbang bersikap heroik dalam penanganan. Jika strategi pemerintah sudah tumpul di lapangan, sedang DPR kipas-kipas cari angin ke luar negeri, tentu saja pencegahan muskil tercapai maksimal.
Kembali ke laptop. Salah satu fungsi pengawasan DPR yang terpenting saat ini adalah memegang janji Menaker Hanif Dhakiri bahwa PHK ada solusi terakhir yang akan dilakukan perusahaan dalam mengatasi perekonomian yang sedang gonjang-ganjing ini. Saat ini gelombang PHK, dengan data yang kian tidak jelas, sedang menghantam angkatan kerja Indonesia. Pertanyaannya, apakah DPR akan kembali membiarkan pemerintah berkubang lumpur untuk menepati janjinya tersebut? Atau DPR mau terjun payung, mengawasi serta memberikan masukan bernas atas segenap kerja-kerja pemerintah untuk mencegah gelombang PHK?
Jika DPR masih juga memakai seragam pemadam kebakaran, bulan November mendatang, ketika buruh akan kembali turun untuk menuntut kenaikan UMR 2016, maka kondisi perekonomian Indonesia akan semakin gonjang-ganjing.

Ketimpangan, “Klan Gayus” dan PSK Malas Bayar Pajak

Salah satu persoalan mendasar Indonesia paska reformasi adalah ketimpangan pendapatan yang kian melebar. Pertumbuhan ekonomi yang massif memang sukses menurunkan jumlah orang miskin, yang secara gegabah dimaknai dengan peningkatan kesejahteraan rata-rata rakyat Indonesia.
Meskipun trend penurunan jumlah penduduk miskin ini tidak manjur di era pemerintahan Jokowi-JK, di mana per Maret lalu BPS mempublikasikan kenaikan penduduk miskin menjadi 28,59 juta jiwa dari  27,73 juta orang yang terdata pada September 2014. Bahkan Kepala Kajian Kemiskinan dan Perlindungan Sosial LPEM FEUI, Teguh Dartanto memprediksi sampai akhir 2015, penduduk miskin di Indonesia akan bertambah 1,2 juta-1,5 juta orang.
Perlu dingat bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata direspon lebih baik oleh masyarakat kelas atas ketimbang menengah dan apalagi masyarakat berpendapatan lapis bawah. Trendnya, adalah ketimpangan pendapatan yang terus meningkat. Sejak tahun 2000, ketimpangan pendapatan di Indonesia terus meningkat.  Bahkan menurut Faisal Basri, sejak tahun 2010 porsi kelompok 20 persen terkaya naik pesat hingga mencapai 49 persen. Sementara itu, kelompok 40 persen menengah dan 40 persen termiskin terus turun.
Ironisnya, dalam konteks pendapatan negara, kontribusi para Penduduk Super Kaya (PSK) ini kalah dari pekerja kelas menengah. Mereka yang berpendapatan 5-10 Miliar pertahun jumlahnya meningkat, tetapi malas bayar pajak. Kontribusi kelompok PSK  ini hanya sekitar 2 persen terhadap penerimaan negara melalui pajak penghasilan 
Hal ini bertolakbelakang dengan kelompok pekerja atau kelas menengah. Kontribusi pajak mereka sudah mencapai 15 persen terhadap penerimaan negara. Artinya, kalau mau jujur kalangan buruh dan kelas menengah itu adalah pilar penopang pembiayaan negara ini.
Tidak bisa ditafik, ketidakrelaan, atau bisa jadi ketamakan, kelompok PSK membayar pajak ini yang akhirnya mendorong beranak-pinaknya ‘Klan Gayus’, para mafia pajak. Bekerjasama dengan “Klan Gayus”, para PSK bisa mengemplang pajak. Bayaran “Klan Gayus” barangkali tampak gila-gilaan. Kita tahu Gayus yang cuma berpenghasilan Rp.12,5 juta per bulan bisa punya kekayaan senilai Rp.74 Milyar. Tetapi jumlah ini pasti teramat kecil jika dibandingkan dengan kewajiban pajak yang bisa diselamatkan ‘Klan Gayus’ darti saku para PSK ini.
Selain menggunakan jasa “Klan Gayus”, modus para PSK adalah menghindari pajak dengan menempatkan perusahaan atau berinvestasi di luar negeri. Singapura adalah negara yang paling popular. Konon, nilai asset mereka di negeri Singa ini sampai Rp 3.000 triliun.
Menyebalkannya, Indonesia ternyata tergolong ‘baik” bagi para PSK ini. Faktanya, tarif pajak tertinggi di Indonesia hanya 30 persen bagi pendapatan di atas Rp 500 juta per tahun. Ini bermakna tidak ada pembedaan antara si kaya dan para PSK. Mereka yang berpendapatan Rp 500 juta dengan  yang berpendapatan di atas Rp 3 -10 miliar ke atas terkena tariff pajak yang sama. Padahal tarif pajak orang kaya di Perancis bisa sampai  75 persen.
Menjelang Pilpres 2014, wacana tariff pajak progresif untuk kalangan OSKAB ini sempat muncul, tetapi entah mengapa tiba-tiba lenyap dari wacana public dan pemberitaan media. Apa karena kalangan OSKAB ini banyak berkontribusi atas biaya kampanye kedua paslon capres-cawapres? Entahlah.
Dua hal ini yang jadi pekerjaan utama Ditjen Pajak Kemenkeu. Menyikat “Klan Gayus” di tubuh mereka sendiri dan mengejar penerimaan pajak dari investasi orang-orang kaya Indonesia di luar negeri. Kedua langkah ini harus maksimal karena rasanya tidak adil ketika masyarakat buruh dan kelas menengah ternyata lebih banyak berkontribusi atas pendapatan negara ini, sementara para orang kaya itu malah leyeh-leyeh santai di Singapura.
Apalagi, Pepres 37 Tahun 2015 yang kontroversi itu telah menaikan tunjangan kinerja Eselon 1 Ditjen Pajak mencapai Rp 117,375 juta perbulan. Sementara pegawai kelas pelaksana, bisa mengantungi tunjangan kinerja Rp 5 – 8 juta sebulan. Sangat jauh ketimpangannya dengan Upah Minimun Provinsi (UMP) pekerja NTT yang Cuma dapat Rp 1,6 juta perbulan.

*pernah dimuat di gerilyanews dan kompasiana

INDONESIA NEGARA PALING ‘SENGSARA” SE-DUNIA ?


Badan Pusat Statistik (BPS) akhirnya merilis kondisi kemiskinan di Indonesia. Tercatat per Maret 2015 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin di Indonesia menjadi 28,59 juta jiwa. Angka ini naik 310 ribu jiwa dari Maret 2014 yang mencapai 28,28 juta jiwa.

Kenaikan jumlah orang miskin ini sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Pasalnya, perekonomian nasional di era Jokowi-Jusuf Kalla memang cenderung tidak stabil. Banyak kebijakan pemerintah yang gagal mengungkit bahkan menjaga daya beli masyarakat.

Ambil contoh kebijakan menaikan harga BBM, gas elpiji dan listrik, tanpa kebijakan bernas untuk mengantisipasi melambungnya kebutuhan bahan pokok. Penyaluran raskin dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) tertunda akibat  pemerintah lambat mengatur belanja. Hal ini diikuti dengan gelombang PHK yang menurut catatan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mencapai sekitar 26 ribu buruh. Belum lagi melemahnya daya tukar rupiah terhadap dollar USA hingga mencapai kisaran 14 ribu-an.

Dalam konteks ini menjadi menarik, meskipun wacana ini sudah tergolong usang, mendiskusikan kritik garis kemiskinan BPS yaitu pengeluaran US$ 0,79 per kapita perhari. Kendati demikian, sejak jauh-jauh hari para ekonomi sejatinya menyarakan agar Indonesia menggunakan indikator Bank Dunia, yaitu US$ 2 per kapita perhari. Jika indikator Bank Dunia yang digunakan sudah pasti jumlah penduduk miskin di Indonesia akan jauh lebih besar dari jumlah yang dipublikasikan BPS.

Terkait statistik ini pula, sebuah artikel Business Insider telah menempatkan Indonesia sebagai negara paling “sengsara”. Indonesia berada di posisi 17 dari 21 negara yang diteliti, yaitu sedikit di atas Brasil, Rusia dan Spanyol. Indikator yang digunakan adalah indeks sengsara (misery index)-nya ekonom Arthur Okun yang menghitung berdasarkan tingkat pengangguran dan inflasi suatu negara. Semakin tinggi angkanya, semakin sengsara negara tersebut. Logikanya adalah seseorang akan  sengsara karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya akibat tidak memiliki pekerjaan dan harga barang terus meningkat.

Jika penderitaan masyarakat Spanyol terkait perihal pengangguran, maka Rusia dan Brasil lebih karena inflasi yang meningkat tinggi.  Sedangkan penderitaan masyarakat Indonesia terkait dengan keduanya, yaitu angka pengangguran dan tingkat inflasi yang cukup besar. Dengan alasan yang bertolak belakang, Switzerland, Taiwan dan Japan dinobatkan sebagai negara yang paling tidak menderita karena memiliki tingkat penganguran dan inflasi yang rendah.


Sebagai catatan, memang ada beberapa kritik terkait misery index. Beberapa studi yang menyebut tingkat penganguran membawa pengaruh yang lebih besar atas ketidakbahagiaan ketimbang inflasi. Jika menggunakan studi ini artinya Spanyol, Itali, Francis, dan Polandia lebih sensara dari Indonesia.

Mengalir Bersama Bang Alir


Pertemuan perdana saya dengan Bang Alir, demikian biasa saya memanggilnya, terjadi pada awal 2009. Ketika itu saya masih tergabung di KOGAMI, NGO yang fokus pada mitigasi bencana. Saya dapat amanat untuk mendorong Perda Penanggulangan Bencana di Pesisir Selatan (Pessel). Bang Alir menjadi salah seorang yang paling sering saya mintakan pendapatnya.

Sebermula, saya pikir bertemu Bang Alir akan ribet. Mengingat kesibukannya sebagai Ketua DPRD Pessel. Pertemuan ini banyak dibantu oleh Ady Gunawan, Ketua Paguyuban Warga Sunda (PWS) Sumbar, di mana Bang Alir diangkat sebagai Pembina PWS Pessel. Tenyata orangnya ramah dan terbuka. Obrolan singkat yang saya prediksi menjadi diskusi sekitar 2 jam. Itu pun berulang sekitar 3 kali lagi.

Seingat saya, kentalnya perhatian Bang Alir terhadap warga pendatang, membuat dirinya menjadi satu-satunya sosok yang ‘dihalo-halokan’ di warga Sunda yang bermukim di Sumbar ketika ajang Pileg 2009 berlangsung. Bang Alir juga sempat menjadi Pembina Ikatan Keluarga Sriwijawa di Pessel pada tahun 2006-2009. Alhamdulillah Bang Alir kemudian terpilih sebagai senator dari Sumbar.

Garis tangan mempertemukan saya dengan Bang Alir kembali. Revi Marta Dasta, senior saya di HMI, ternyata dipercaya sebagai tenaga ahli-nya. Ketika itu saya baru hijrah ke Jakarta, dan tersangkut sebagai tim teknis salah satu direktorat di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Jarak Sudirman-Senayan yang cuma sepelemparan batu membuat saya acap ngopi-ngopi sore di ruang tamu kantor Bang Alir. Ada tiga peserta rutin ngopi sore itu, yaitu saya, Bang Revi dan Bang Adli. Terkadang Irvan, tenaga ahlinya Emma Yoanna juga terlibat.

Yang paling seru, ya jika Bang Alir ikut bergabung. Maka obrolan sore itu akan menjadi serius. Tidak ada lagi topik remeh-temeh. Bang Alir paling sering bicara kemajuan Pessel, industri otak Minangkabau dan penguatan peran DPD RI. "Jangan jadi pemuda yang penakut akan kegagalan. Pemuda harus tampil menjadi pemimpin perubahan bukan lagi hanya jadi agen perubahan,pesan Bang Alir, yang berkecimpung di dunia organisasi sejak dari pengurus OSIS SMA Tarusan.

Namun topik favoritnya adalah perihal pemekaran Renah Indojati. Bagi putera kelahiran Gurun Panjang, Pessel, pemekaran merupakan solusi terbaik untuk percepatan pembangunan di kawasan  Inderapura, Tapan, Lunang dan Silaut. Sebagaimana lazimnya daerah  perbatasan yang jauh dari ibukota kabupaten, pembangunan di 4 kawasan tersebut memang tertinggal.

Setahu saya, sejak menjabat ketua DPRD Pessel, Bang Alir sudah memperjuangkan pemekaran Renah Indojati. Geliatnya kian men-tsunami, ketika menjadi Ketua Komite I DPD yang membidangi Otonomi Daerah, Politik, Hukum dan HAM. Komunikasi yang intens dan sinergi antara Bang Alir dengan Raswin, ketua percepatan pemekaran Renah Indojati, yang didukung masyarakat menjadi kunci utama untuk mendobrak palang-palang penghalang.

Sebagai mantan wartawan Harian Singgalang, Bang Alir dekat dengan para jurnalis. Kedekatan ini sangat penting untuk mendorong dan mengawal wacana pemekaran Renah Indojati di aras media massa. Lolosnya status DOB Renah Indojati mulai dari DPRD Ka­bu­paten, DPRD Provinsi, DPD RI, Kemendagri tidak bisa dilepaskan dari kepiawaian lobby Bang Alir. Segenap energi masyarakat; waktu, tenaga, pemikiran dan dana – telah terkuras selama bertahun-tahun untuk melengkapi per­syaratan dokumen DOB tersebut.
 
Saya tahu ikhwal ini. Karena dua tahun sebelum  Pileg 2014, saya sempat menjadi tenaga ahli bagi Eko Sarjono Putro anggota DPR dari Fraksi Golkar yang ditempatkan di Komisi II DPR. Menjelang Pileg, selain perihal UU Pilkada dan UU Pemda, perihal DOB memang dibahas maraton.

Beberapakali Komisi II DPR, DPD dan Mendagri menggelar rapat bersama. Ketua Tim Kerja RUU DOB DPD RI adalah Farouq Muhammad Syechbubakar, senator asal NTB, yang kini diamanahi sebagai Wakil Ketua DPD. Namun sering pula dalam rapat-rapat tersebut saya bertemu Bang Alir, atau minimal tenaga ahlinya. “Kalau masyarakat minta 10, kita kasih 11,” kata Bang Alir sambil tertawa.

Sayangnya, akibat intrik politik di tingkat pusat, UU Renah Indojati tidak jadi disahkan. Karenanya, majunya Alirman Sori dan Raswin sebagai Cabup dan Cawabup Pessel kental nian aroma penuntasan pemekaran Renah Indojati. Saya menduga hal ini sudah menjadi masalah personal bagi Bang Alir, semacam obsesi sekaligus beban moral bagi dirinya. 
  
Akhir kata saya mengucapkan selamat berjuang untuk Bang Alir dan Bang Rawin dalam gelanggang ritual demokrasi Pessel. Semoga cita-cita mereka untuk membangun masyarakat Pessel yang lebih sejahtera dapat lekas tercapai.

DPR Rempong, PR UU Keteteran

Miris rasanya menyitir kabar sepanjang 2015, DPR baru mengesahkan 4 UU. Masih ada 37 RUU prioritas yang tersisa dari target DPR tahun 2015. Padahal waktu kerja hanya tersisa 4 bulan. Itupun harus dikurangi dengan waktu reses, yang biasanya, antara September-Desember. Celakanya, Forum Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat baru 20 RUU yang dalam proses persiapan untuk dibahas. Jumlah tersebut mencakup 16 dalam proses di DPR ditambah 4 RUU usulan pemerintah. Sehingga, masih ada 19 RUU dari prioritas 2015 yang belum tersentuh sama sekali.
Rendahnya kinerja legislasi DPR merupakan hal yang tidak terduga. Pasalnya, belakangan ini DPR tengah gegap-gempita memperjuangkan 7 mega poyek di kompleks DPR yang memakan anggaran negara sekitar Rp 2,7 triliyun. Jumlah ini membengkak dari prediksi DPR yang sebelumnya hanya Rp 1,6 triliyun. Sebagaimana kita ketahui, 7 proyek fisik tersebut meliputi alun-alun demokrasi, museum dan perpustakaan, jalan akses bagi tamu ke Gedung DPR, visitor center, pembangunan ruang pusat kajian legislasi, pembangunan ruang anggota dan tenaga ahli, serta integrasi kawasan tempat tinggal dan tempat kerja anggota DPR. Sebelumnya DPR tampak “mati-matian” mendorong kebijakan dana aspirasi yang besarnya Rp 20 milyar peranggota DPR pertahun.
‘Kengototan’ dan sikap ‘keras’ DPR ini membawa saya pada pemikiran bahwa fungsi legislatifnya berjalan prima, atau minimal lumayan bagus. Karena amanat UU menegaskan bahwa DPR memiliki tiga fungsi yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan, yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. Ketika fungsi legislatif ini masih kedodoran, alangkah naifnya jika DPR menawarkan atau menuntut sejumlah hal-hal baru.  Bukankah usulan-usulan DPR yang akan menimbulkan kegoncangan publik akan lebih sedap ditangani jika DPR mampu memperlihatkan diri sebagai institusi dengan kinerja prima?
Tidak jelas alasan rendahnya kinerja legislasi DPR ini. Tetapi saya menduga ada dua alasannya. Pertama, DPR terlalu sibuk mengurusi tawaran-tawaran kreatifnya sehingga fungsi legislasi terbengkalai. Kedua, DPR konsisten mengejar kualitas UU. Secara kasat mata dugaan pertama sangat kentara dan bisa dinilai langsung oleh rakyat. Bagi saya, dugaan kedua ini yang ngeri-ngeri sedap.
Memproduksi UU yang berkualitas jelas merupakan tuntutan bagi DPR. Beberapa tahun ke belakang, negeri ini memang disibukan dengan UU yang bermasalah. Ambil contoh, pada 2010 di mana DPD menemukan 84 undang-undang yang bermasalah saat ini, terutama UU yang terkait dengan persoalan di daerah. Mahkamah Konstitusi (MK) sempat membatalkan secara keseluruhan UU tentang Sumber daya Air, UU Perkoperasi dan UU Badan Hukum Pendidikan. Ada juga pasal-pasal dalam sejumlah UU lainnya yang dibatalkan MK, yang teranyar adalah UU Pilkada. Artinya, jika minimnya produk UU yang dihasilkan DPR akibat orientasi kualitas, tentu rakyat Indonesia harus bersyukur.
Tetapi tentu saja masyarakat menuntut bukan hanya UU yang berkualitas. Kecepatan DPR dalam memproduksi UU juga diperlukan. Pasalnya UU dirumuskan, disahkan dan diberlakukan tentu berakar pada kebutuhan masyarakat. Semakin lama UU tersebut diberlakukan serupa memperlambat pemecahan masalahan-masalah di tingkat masyarakat. Ambil contoh ketiadaan UU Pekerja Rumah Tangga, yang membuat penanganan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga tidak bisa maksimal.
Coba dibayangkan! Dengan kecepatan 4 UU per Agustus ini, artinya sampai Desember nanti DPR maksimal akan menghasilkan 4 UU lagi. Padahal masih ada 37 RUU prioritas yang tersisa dari target DPR tahun 2015. Beban kuantitas ini berpotensi membuat DPR melakukan strategi “cuci piring”, yaitu mengejar pengesahan UU sebanyak-banyaknya. Tanpa strategi yang mumpuni, strategi “cuci piring” ini berpotensi menjebak DPR untuk mengabaikan kualitas UU.
Apalagi ke depannya bangsa kita tengah menghadapi Pilkada serentak. Memang intensitas anggota DPR ke dapilnya yang tengah melangsungkan pilkada tidak akan setinggi pada pileg silam. Namun keterlibatan tersebut sulit untuk dicegah. Bahkan, kendati tidak terlibat langsung, tetap akan ada sejumlah anggota DPR yang turut campur dalam agenda nasional ini. Baik akibat kewajiban dari DPP parpol, maupun kepentingan mengamankan basis suara demi menuai investasi politik pada pemilu 2019.
Pada titik ini, peran civil society untuk mengawal DPR agar memiliki kinerja prima menjadi penting. Harus ada gerakan bersama untuk mengawal agar DPR ke depan mampu mengharmonisasikan antara kepentingan pencitraan dan amanat untuk memproduksi UU yang berkualitas. Jangan sampai 2016 mendatang kita menyaksikan parade pembatalan pasal bahkan UU keseluruhan oleh palu MK.

70 Tahun RI, Dusta Pemerintah Terhadap Buruh ?


Ada makna positif dari gebyar peringatan 70 tahun Republik Indonesia bagi kalangan buruh. Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan buruh, pekerja atau karyawan masih banyak yang belum beres di negeri ini. Ambil contoh perihal penggajian.
Sudah jamak, jika kalangan pengusaha selalu menggadang-gadangkan besaran penggajian buruh dengan produktivitas. Inti metode ini adalah semakin produktif, maka gaji buruh akan semakin besar. Nyatanya, penerapan metode ini pun tidak konsisten.
Publikasi Asian Productivity (2014) mencatat bahwa produktivitas per pekerja di Indonesia  adalah sebesar 20 ribu $ USD. Indonesia hanya kalah dari Thailand (22,9 $USD), Malaysia (46,6 $USD) dan Singapura (114,4$USD).  Temuan ini dijadikan “senjata” oleh Kementerian Perindustrian (Kememperin) untuk mengerus tuntutan kenaikan upah minumun buruh.
Dirjen Pengembangan Perwilayahan Industri Kemenperin, Imam Haryono, menyebut “Sedangkan upah minimum rata-rata tenaga kerja di Indonesia sudah mencapai US$ 226 per bulan atau sekitar Rp 2,7 juta dengan kurs rupiah Rp 12 ribu per dolar AS. Upah tenaga di negeri gajah putih tersebut hanya sebesar US$ 197 per bulan, atau hanya sekitar Rp 2,3 juta dengan kurs rupiah Rp 12 ribu per dolar Amerika Serikat (AS)”  baca : Produktivitas Pekerja Thailand Lebih Tinggi Dibanding RI 
Buruh Indonesia juga dihajar dengan pendapat dari kalangan pengusaha dan investor.  Ada gerakan untuk mendegradasi gerakan buruh sebagai kalangan yang tidak tahu diuntung. Kalangan yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Silakan baca May Day Tuntutan Upah Tinggi dan Produktivitas Rendah atau Investor Jepang Keluhkan Upah Buruh
Padahal, tidak demikian adanya. Publikasi Asian Productivity, tetapi tidak disiarkan oleh pemerintah dan dunia usaha secara utuh. Produktivitas buruh Indonesia memang kalah dari Thailand,  Malaysia dan Singapura. Tapi lebih tinggi dari Tiongkok (16,9 ribu $USD), Filipina (14,7 ribu $USD), India (11,9 ribu $USD), Vietnam (7,9 ribu $USD), Myanmar (6,7 ribu $USD) dan Kamboja (4,6 ribu $USD). Ironisnya upah buruh Tiongkok, Filipina dan Vietnam justru jauh lebih besar dari Indonesia.
Hasil analisis The Economist Intelligence Unit (EIU), menyebut buruh Indonesia hanya menerima 74 sen per jam. Sedangkan buruh Tiongkok menerima US$ 4,79 per jam, Filipina US 3,15 per jam, dan Vietnam US$ 3,16. Dengan temuan ini, menjadi wajar jika buruh Indonesia menuntut kenaikan upah. Fakta ini yang seolah-olah disembunyikan oleh Kemenperin dan dunia usaha.
Pada titik inilah, tujuan negara yaitu “memajukan kesejahteraan umum” dipertanyakan oleh kalangan buruh. Karena ada indikasi pemerintah segaja mengaburkan fakta untuk membangun citra positif dalam konteks kewajibannya kepada kalangan buruh. Ada nuansa kental bahwa pengaburan ini bersifat kesengajaan, sebuah negosiasi “basah” antara dunia usaha dengan pejabat di kementerian terkait ketenagakerjaan.
Barangkali terlalu lebay rasanya untuk menyebut solusinya, “Hanya ada satu kata! Lawan!” Tetapi tampaknya, bagi buruh Indonesia, hanya itu jalan keluar yang harus dilakukan.

Jantung Bayi Khiren dan “Robot” BPJS Kesehatan


Tersentak saya membaca berita perihal Khiren Humaira Islami, bayi 11 bulan, penderita jantung bocor. Sejak berumur 20 hari, Khiren sudah didiagnosa menderita Penyakit Jantung Bawaan. Akibatnya, bayi Khiren sering sesak napas, pertumbuhan dan perkembangannya terlambat. Khiren terpaksa keluar masuk rumah sakit, mulai dari rawat jalan sampai dengan rawat inap di RSUP M. Jamil Padang sampai ke RS Harapan Kita Jakarta. Melihat si kecil Khiren dengan mata letih dan lubang hidung berikat selang oksigen, membuat hati saya menggigil.
Alhamdulillah,pada tanggal 20 Mei 2015, Khiren akhirnya bisa dioperasi. Dewi Anggraini, sang Ibunda memanfaatkan fasilitas BPJS. Keluarga Khiren mengurus jaminan BPJS tersebut mulai dari  Faskel TK I (puskesmas Ambacang), dan RSUD M Jamil Padang dan diteruskan dengan mendaftar di loket BPJS RS Harapan Kita.
Apa daya, ternyata cobaan  Dewi Anggraini belum lagi usai.  BPJS menolak klaim biaya operasi Khiren. Total biayanya Rp. 124.826.395 (seratus dua puluh empat juta delapan ratus dua puluh enam tiga ratus sembilan puluh lima rupiah). Bayi Khiren baru bisa pulang pada tanggal 4 Juni 2015 (dirawat 17 hari), setalah orang tua menandatangani surat pernyataan penanggung hutang.
Usut punya usut, alasanya karena  orangtua Khiren terlambat mengurus Surat Eligibilitas Peserta (SEP)  yang dalam aturannya selambat-lambatnya 3x24 jam. Akibatnya semua biaya operasi dan perawatan  dikategorikan sebagai pasien umum dengan biaya pribadi. Keluarga Khiren sudah memberi penjelasan kepada  BPJS Harapan Kita sampai BPJS Regional Jakarta Barat. Bahkan menyurati BPJS Kesehatan Pusat. Tetapi BPJS tetap tidak mau mengklaim biaya bayi Khiren. Alasannya SOP. Pelanggaran administratif.
Sekarang hutang Dewi Anggraini sudah jatuh tempo. Manajemen RS Harapan Kita sudah mengirim mengirim surat peringatan pertama (SP 1)  25 Juni dengan perintah segera tagihan dilunasi, paling lambat seminggu setelah surat diterima oleh keluarga pasien Khiren. Di surat juga dikatakan kalau tidak dilunasi maka akan dilimpahkan ke lembaga piutang Negara. Padahal, keuangan Dewi Anggraini belum lagi stabil. Untuk pengobatan Khiren, dan biaya keluar masuk rumah sakit, Dewi Anggraini sudah menggadaikan SK dosennya ke bank.
Ada gemuruh di dada membaca kondisi ini. Sejak dulu saya tidak pernah percaya bahwa SOP adalah sabda Tuhan. SOP adalah produk buatan manusia, dan karena itu pasti memiliki celah. Saya percaya, ada moment-moment di mana SOP harus ditepikan.
Saya percaya, alasan keterlambatan Dewi Anggraini  bukan alasan yang dibuat-buat. Dewi Anggraini  bukan mahasiswa tingkat akhir yang berleha-leha menulis skripsi sehingga tidak kunjung di wisuda.  Ini masalah keselamatan Khiren, bayi terkasihnya. Alasannya pasti sangat masuk akal, sangat manusiawi. Karena tidak ada yang tidak akan dilakukan orangtua untuk membuat buah hatinya sehat dan ceria.
Bayangkan betapa beratnya beban emosional yang ditanggung Dewi Anggraini dan keluarganya. Melihat buah hatinya, sejak umur 20 hari harus keluar masuk rumah sakit. Harus dirayu minum obat ini itu, harus mengenakan selang oksigen, harus dibedah jantung kecilnya dalam usia yang sekecil itu. Berat nian. Hanya kekuatan superhero orangtua yang membuatnya dapat terus bertahan, merawat buah hatinya sambil terus bergerilya mencari cara agar Khiren kecil dapat sehat seperti bayi-bayi pada umumnya.
Bagi saya, Dewi Anggraini adalah seorang ibu yang luar biasa. Saya tidak tahu dengan anda, tetapi saya sendiri ragu masih bisa berpikir jernih jika berada dalam posisi Dewi Angraini.
Hanya karena kesalahan administratif, yang saya haqul yaqin, dilakukan bukan dalam kerangka kesengajaan, Dewi Angraini harus kembali dibebani cobaan hidup. Sebuah celah bak  ombak tsunami yang meluluhlantakkan suatu proses kerja keras penuh pengharapan, rasa cemas, dan uraian air mata. Sebuah kesalahan kecil yang menggerus keluarbiasaan dari suatu proses yang belum tentu bisa dilalui setiap orang dengan tetap memegang kewarasannya. Dalam konteks ini, nurani saya menegaskan bahwa keterlambatan tersebut ini layak dimaafkan.
Saya yakin, BPJS bukan pabrik pencari untung. Pegawai BPJS bukan robot, tetapi manusia-manusia bernurani yang diberi amanah oleh 240 juta rakyat Indonesia untuk menjadi penolong di kala sakit. Pegawai BPJS pasti memiliki keluarga, barangkali bayi mungil, imut dan lucu seperti Khiren. Coba geserlah sudut pandang Anda dari sekedar kertas SOP.  Posisikan diri sebagai Dewi Anggraini. Tanyalah dalam hati apakah Anda akan sengaja melanggar SOP BPJS ketika bayi Anda mengidap jantung bocor?  
NB : saat ini masyarakat sumbar tengah menggagas aksi keprihatinan “koin untuk khiren”. Untuk dukungan para sahabat bisa menandatangipetisi bayi khiren