Membangun Bangsa: Pemikiran Anwar Vs Mathiyas



Selalu menarik mendengar seorang pakar keuangan dan moneter bicara tentang produktivitas dalam ukuran produk. Apalagi jika yang bicara sosok sekaliber Guru Besar FE UI Anwar Nasution. Pemikiran teranyarnya terangkum dalam opininya di Kompas, Senin (8/4/2013) berjudul Kalah Bersaing di ACFTA.

Menurut Ketua BPK ini kekalahan Indonesia di ACFTA disebabkan dua faktor. Pertama, kurangnya upaya pemerintah dan dunia usaha menjelaskan peluang yang terbuka dari perjanjian ini. Kedua, masih luasnya ceruk pasar luar negeri yang belum dimasuki dan rendahnya produktivitas akibat kurangnya daya saing perekonomian bangsa.

Daya saing bangsa memang masih terseok-seok. Bahkan berdasarkan The Global Competitiveness Report 2012 terbitan World Economic Forum (WEF), indeks daya saing Indonesia anjlok dari posisi ke 46 (2011) menjadi ke 50 (2012). Kita masih tertinggal jauh dari Singapura (2), Malaysia (25), Brunei Darussalam (28) dan Thailand (34).

Serupa Anwar Nasution, Alomet & Friends percaya produktivitas dan daya saing bangsa merupakan kunci kemakmuran. Peningkatan produktivitas secara berkesinambungan, khususnya di bidang ekonomi, bermuara pada kemakmuran bangsa. Karena ekonomi produktif akan mendongkrak keuntungan pada modal yang diinvestasikan dalam setiap aktivitas bisnis. Pencapaian produktivitas yang berkesinambungan hanya dapat dilakukan dengan membangun keunikan, membangun daya saing guna memenangkan kompetisi antar bangsa. Produktivitas dan daya saing menjadi penting jika Indonesia ingin menjadi pemain global di pentas ekonomi dunia.

Pemikiran ini yang kemudian mendorong Alomet & Friends down to earth. Sejak satu dekade terakhir, Mathiyas Thaib, pendiri Alomet and Friends, bersama para senior konsultannya sudah membangun produktivitas dan daya saing pelbagai lembaga dan perusahaan nasional melalui pendayagunaan proses bisnis dalam framework arsitektur bisnis.

Dalam berbagai worshop, seminar dan pembelajarannya, Alomet & Friends terus mendengung-dengungkan isu produktivitas dan daya saing.  Termasuk menyuntikkan isu strategis ini kepada pelbagai lembaga dan perusahaan yang Alomet & Friends dampingi. Beberapa diantaranya adalah  PT Angkasa Pura II, PT Jasa Marga,  PT Pertamina Drilling Service Indonesia (PDSI), PT PLN, Bank Riau, Kementerian Keuangan, Pusdiklat Kementerian Perindustrian, RSCM, PT Aplikanusa Lintasarta, Fak. Kedokteran UI, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI), PT. Industri Sandang Nusantara (ISN), PT Bormindo Nusantara, PT. ANTAM dan PT. KELSRI.

Garis Demarkasi
Daya saing bangsa dan produktivitas juga bukan isu baru. Sejak bangsa ini masih bayi, the founding father telah meletakan arah pembangunan nasional pada rel produksi, pada pembangunan daya saing. Karena itu, ramai-ramai anak bangsa dikirim Soekarno untuk belajar teknologi ke negara-negara maju. Karena itu, Soekarno berencana menghambat masuknya modal asing sampai sekitar 1980-an, kurun waktu di mana anak bangsa telah memiliki kompetensi untuk mengolah sendiri sumberdaya alamnya.

Garis demarkasi antara Anwar Nasution dan Mathiyas Thaib adalah perbedaan metode dalam mewujudkan daya saing bangsa. Dalam seminar Indonesia Economic Policy In Challenging Global Economy 2012 silam, Anwar Nasution menegaskan jika ingin bersaing dengan Cina, Indonesia harus menambah utang guna meningkatkan produktivitas dan pembangunan infrastruktur.

Lanjut Anwar, rasio utang Indonesia terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) masih sangat kecil, yakni 25%. Masih relatif aman karena APBN memberi batas maksimal 60% dari APBN. Ini sesuai dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, merilis total utang pemerintah Indonesia sampai Maret 2013 mencapai Rp 1.991,22 triliun dengan rasio 24,1% terhadap PDB.

Sebaliknya Mathiyas Thaib menilai utang luar negeri tak ubahnya racun yang akan membunuh bangsa ini perlahan-lahan. Perekonomian berbasis utang lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya. Sejarah negara-negara dunia ketiga telah mencatatnya bahwa semakin besar utang suatu negara, semakin besar pula potensi korupsi dan penyelewengannya.

Ironisnya, Bank Dunia dan IMF malah terkesan membiarkan kebocoran itu. Tutup-mata ini adalah konkrititas dari mental bankir yang semata-mata bertujuan meraup pendapatan bunga sebesar-besarnya, tanpa ambil pusing dengan kebocoran yang terjadi. Ingat pendapatan bankir berasal dari bunga utang. Semakin lama jangka waktunya, akan semakin besar pula pendapatan bunga yang diraup.

Kebocoran akibat korupsi menyebabkan output project-project berbasis utang tidak sesuai target. Kendati begitu, pemerintah secara rutin harus membayar pokok bunga dan cicilan hutang luar negeri. Hal ini jelas mengurangi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi, termasuk alokasi dana pembangunan dari APBN. Pada APBN 2013 contohnya, cicilan bunga dan pokok utang diperkirakan mencapai Rp 171,7 triliun, atau 15 persen terhadap belanja pemerintah pusat.

Selain itu, utang luar negeri merupakan salah satu alat yang dipakai kekuatan asing untuk mengintervensi kebijakan-kebijakan Iindonesia. Dalam banyak moment, kental nian upaya IMF dan Bank Dunia untuk mengarahkan pelbagai kebijakan mereka kepada Indonesia. Dua intervensi yang paling signifikan adalah penutupan bank investasi BAPINDO dan industri strategis seperti PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL produsen armada udara dan perairan indonesia. Bahkan IMF juga merambah kebijakan non perekonomian, seperti reformasi struktural kepemimpinan negara.

Kemandirian Cina
Melalui hutang, Anwar Nasution mengiming-imingi harapan Indonesia dapat menyaingi Cina. Padahal perekonomi Cina bukan berbasis utang. Williamson dan Zeng, dalam buku Dragons At Your Door (2007) menegaskan rahasia dari kemampuan korporasi Cina adalah inovasi biaya (cost innovation).

Korporasi Cina membongkar paradigma lama, yaitu teknologi tidak harus berbiaya tinggi. Cina mendayagunakan ilmu proses bisnis guna memunculkan keunikan sehingga biaya operasional perusahaan menjadi rendah. Keunikan Sang Naga adalah keberhasilan menemukan dan menggunakan teknologi alternatif, sumber daya teknik, desain, dan layanan yang juga berbiaya rendah. Hal inilah yang tidak dapat ditiru oleh negara-negara kawasan Eropa dan AS. Hal ini yang menyebabkan masifnya penetrasi produk-produk Cina ke pasar internasional.

Cina memang menarik investasi asing untuk mengakali kebutuhan fresh money. Tetapi kebijakan ini dilakukan dengan berhati-hati dan terkendali. Berhati-hati karena Cina melangkah secara bertahap sehingga adaptif dan tahan terhadap dinamika dan gelombang moneter yang datang dari luar. Investasi asing tidak dibuka ekstrim, diseleksi secara kreatif untuk kebijakan ekonomi di China.

Terkendali karena investasi yang masuk tidak dilakukan seolah-olah di ruang yang kosong, melainkan tetap memperhatikan norma, kondisi sosial, institusi, dan aturan main yang berkembang di negara tersebut. Sehingga unsur intern tetap menjadi penentu bagaimana dan kemana dana asing tersebut harus diinvestasikan.
Tidak seperti pemerintah Indonesia yang bisa didikte oleh kepentingan luar, Cina memiliki memiliki kemandirian dalam menetapkan kebijakan ekonomi bangsanya. Kemandirian ini tercipta karena Cina sadar akan konsep keunikan Michael Porter, yaitu jumlah penduduk Cina adalah suatu keunggulan, adalah pasar yang sangat besar, dan harus didayagunakan.

Apalagi CK Prahalad menegaskan bahwa persaingan industri dan ekonomi masa depan adalah bagaimana merebut pasar pada masyarakat lapisan berpenghasilan menengah ke bawah (fortune at the bottom of pyramide). Ingat hukum 20/80 pareto. Jumlah kalangan the have tak lebih dari sekitar 20 persen masyarakat dunia. Pasar pada masyarakat lapisan berpenghasilan menengah ke bawah masih sangat luas. Dan Cina adalah yang terbesar.


Cina tidak perlu mengemis investasi asing. Justru para investor yang berlomba-lomba meminta diperkenankan berinvestasi di sana.

0 komentar:

Posting Komentar