Aku meloncat ke bis Patas,
jurusan Kampung Rambutan, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Tambun
Tanggerang. Hidup makin sulit, dan rezeki sudah tak dapat lagi dibatasi garis
demarkasi wilayah.
Bertampang masam istriku
membuka pintu rumah petak. Dia langsung ngeloyor ke dalam, sementara aku
meredakan penat dengan selonjoran di sofa yang sudah koyak-moyak dan menjadi
surga beranakpinaknya ratusan kepinding.
”Lho kok pahit, Dek?” Tanyaku
setelah mereguk secangkir kopi.
Tampang istriku sontak selayak
rok katun yang belum diseterika, ”aku punya tiga kabar buruk. Pertama, dapur
kita tidak ngebul malam ini karena Mpok Markonah sudah menolak memberi hutang.
Kedua, Si Rajib diusir gurunya akibat nunggak SPP tiga bulan. Terakhir, tadi
pagi Pak Mahmud mengancam kita untuk siap-siap angkat kaki kalau pekan depan
belum juga melunasi uang sewa rumah.”
Aku mendengus. Rasanya kopi itu
semakin pahit saja.
”Jangan diam begitu! Abang
mesti cari akal buat nebus barang dagangan kita yang disita Satpol PP. Abang
tak ingin kita jadi gelandangan kan?”
”Ngaco kamu! Apa kamu pikir aku
tenang-tenang saja? Lagipula kita kan tidak sendirian? Kusno, Parto dan Bang
Rozak juga bernasib serupa,” Aku sontak tegak ketika melihat isyarat di mata
istriku. ”Tidak! Jangan paksa aku menghadap Haji Husin. Aku malu. Hutang kita
sudah bertumpuk-tumpuk.”
Istriku mau membantah, tapi
sayup-sayup terdengar keriuhan di luar. Lekas aku memburu. Cari selamat
sekaligus menuntaskan rasa penasaran.
Seorang pendeta Tionghoa
mendentang-dentangkan loncengnya sembari melemparkan kertas-kertas kuning ke
udara. Sepasang lelaki-perempuan bermata sipit merah mangkak, dengan pakaian
dari katun putih kasar melangkah lambat-lambat. Beberapa lelaki tegap memanggul
peti jenazah. Para bocah mengekor di belakang rombongan. Mereka saling bisik,
cekikikan, tapi tak ada yang menganggu prosesi pemakaman.
”Abang lihat! Bahkan orang mati
lebih sejahtera ketimbang kita.”
”Hussh!” Aku mengangkat telapak
tangan ke bibir, ”Jangan ngomong sembarangan. Pamali tahu?”
”Lebih baik dikutuk setan
ketimbang makan batu besok pagi!” Seru istriku jengkel, lalu berdebam masuk ke
dalam rumah.
-()0()-
Semua orang di kampung Rawa
Belong membenci Babah Alung. Kecuali menagih setoran dua warung bakmi dan
sebuah toko barang elektronik kepunyaannya, dia nyaris tak pernah keluar rumah.
Dia selalu memasang palang pintu, menghindari keramaian, dan menolak ikut ronda
dan kerja bakti bulanan.
Tetapi yang paling menyebalkan
adalah sifat kikirnya. Kediamannya adalah rumah sederhana dari papan yang mulai
lapuk di sana-sini. Pekarangannya ditumbuhi rumput setinggi dengkul karena
Babah Alung terlalu sayang membayar ongkos seorang tukang kebun. Kecuali itu,
dia hidup selibat karena istrinya sudah lama wafat. Kedua anaknya merantau ke
Batam dan Bangka.
”Dia bukannya pelit. Dia itu
SUPER MEDIT!” maki Kusno ketika mendapat laporan kalau Babah Alung menolak
memberi sumbangan sewa orgen tujubelasagutusan, tepat tiga bulan yang
lalu.
”Jangan ngomong begitu. Babah
Alung itu orang baik. Kalian hanya belum cukup mengenalnya,” nasihat Haji
Husin.
Mata Kusno mendelik. ”Aduh, Pak
Haji ini? Dia bahkan tak pernah kelihatan berkeringat seolah setiap cairan di
dalam tubuhnya benar-benar berharga. Jangankan duit. Aku ragu kalau dia itu
memang benar-benar pernah kencing dan berak.”
Dan orang-orang di rapat warga
itu tertawa terbahak.
Aku sepakat dengan Kusno.
Tetapi yang menjadi pertanyaanku, dengan pola hidup fakir yang dilakoninya, di
mana Babah Alung menyimpan harta kekayaannya.
Pertanyaan itu terjawab pada
suatu siang, ketika aku ngopi di warung kaki lima Proyek Senen. Pemilik warung
menghidupkan televisi yang menayangkan film hantu Cina. Dari film itu aku tahu
kalau masyarakat Tionghoa meyakini kalau kematian adalah beralih kehidupan. Dan
proses perpindahan itu memerlukan bekal yang tidak sedikit. Berpikir tentang keberadaan
harta karun itu membuat tampangku sumringah.
Malamnya, ketika istriku sudah
terlelap, aku bersijengkat keluar. Menyandang ransel besar di punggung,
kulintasi berderet rumah-rumah sempit berdinding papan tipis, kardus, terpal
atau seng berkarat. Pun busuk solokan mampet membuat perutku mual, aku tidak
melangkah terburu, apalagi menyapu sekitar dengan pandangan dungu. Sengaja.
Biar para remaja tanggung yang sibuk bernyanyi dan main gitar itu tidak curiga.
Sesampainya di depan pagar
pemakaman yang nyaris rubuh, dengan mata berpendar, aku pura-pura membetulkan
tali sepatu. Tepat dugaanku. Tidak ada siapa pun. Hanya patok-patok nisan di
tanah rekah dan rata. Nasihat Kusno tempo hari belum lekang dalam ingatan,
dalam kehidupan majnun ini, curiga itu harus – waspada itu penting.
Setelah yakin kondisi aman, aku
celingukan mencari gundukan kuburan baru. Embun malam membuat tanah pekuburan
berkilatan kekuningan dijilat cahaya bulan separuh. Wangi kembang setaman layu
di atas makam Babah Alung menyerbaki udara. Kukuk burung hantu terdengar
mengerikan. Tetapi ada kekayaan di bawah sana, dan kemiskinan lebih menakutkan
ketimbang kutukan setan.
Ketika menarik cangkul,
mendadak gundukan itu bergetar hebat. Ada asap putih menyelusup keluar dari
pori-pori tanah. Asap putih yang mampu meredam eembusan angin malam. Asap putih
yang lambat-laun mengumpal dan membentuk wujud Babah Alung bertampang sangar.
Tangannya yang gemuk itu menuding langit. Dia berteriak keras sekali.
“Husin! Apa saja kerjamu,
Husin?”
Sekujur tubuhku menggigil.
Gigiku mengelatuk, mataku mendelik dan tampangku memucat. Kutarik perkataanku
barusan. Setan lebih menakutkan ketimbang kemiskinan.
Ketakutan membuatku membeladag
dari areal pekuburan. Tak tahu sudah sejauh mana pontang-panting, yang jelas
langkahku baru berhenti ketika pandangan ini seperti melayang dan nafasku sesak
sekali. Di saat begini, aku tak punya pilihan. Kuputuskan mencari pertolongan
di dalam masjid.
-()0()-
Haji Husin hanya ulama kelas
kampung, tapi dia mampu membuat bergetar siapa saja yang berada di dekatnya.
Tuturnya ramah, dan dia tak pernah menagih piutang kepada orang-orang yang
dibantunya. Karena itu guncangan tangannya sebagai isyarat agar aku bangun dan
bersholat Shubuh tak bisa kutapikkan.
Aku bersidekap di shaf paling
belakang. Mencoba merenungi makna ayat-ayat suci yang dilafazkan sang imam.
Menarikkan rasa penyerahan diri yang lamat bermiang jemawa, pongah dan
kufur.Pasrah menyelami hidup. Pada sujud terakhir, aku pun berdoa di puncak
pengharapan: Ya Allah. Karuniai hamba ketabahan menerima hal-hal yang tidak
bisa hamba ubah. Keberanian mengubah hal-hal yang bisa hamba ubah. Dan
kebijaksanaan untuk membedakan keduanya
“Ada yang mau kau ceritakan
kepadaku?” Haji Husin bertanya ketika kami melangkah pulang. Rumah Haji Husin
memang terpaut dua gang dari kediamanku.
“Hhm… sebenarnya,” Aku menelan
ludah. Bimbang, sebelum akhirnya teringat tampang lusuh istriku sepekan
terakhir.
“Ngomong saja. Sesama hamba
Allah diwajibkan untuk tolong-menolong dalam kebaikan.”
“Pak Haji percaya adanya mahluk
halus?” Tanyaku rikuh.
Mata Haji Husin mendelik. Dia
cekikikan, tapi kembali bersikap serius ketika berhasil menangkap
ketidaksenangan di tampangku.
“Mustahil setan bisa membunuh.
Itu cuma kelakar dalam sinetron picisan. Bentuk fisik yang menyeramkan
sebenarnya sekedar perwujudan dari rasa takut kita. Orang-orang pinter bilang
kalau penampakan ganjil itu hanyalah halusinasi.”
“Trus cara ngusirnya
bagaimana?”
“Wah! Kamu benar-benar serius
ya.” Pak Haji Husin meremas bahuku. Arkian dia tahu apa yang kuinginkan. “Kalau
kita senantiasa berdzikir, Insya Allah syetan tidak akan mengganggu, tapi kalau
kamu nanti ketemu hantu dan terlalu takut untuk ambil langkah serinu maka cara
mengatasinya cuma satu…”
“Apa itu?” Potongku cepat.
“Ingat kepada Allah. Baca saja
ayat kursi atau surat An Nash. Insya Allah setan itu akan bablas.”
“Kalau setannya bukan muslim
bagaimana?” Tanyaku belum puas.
Pak Haji Husin garuk-garuk
kepala, “Waduh! Aku tidak tahu. Ilmuku belum sampai ke sana.”
Aku menelan ludah. Ketika itu
kami sudah tiba di simpang jalan. Haji Husin ambil permisi selepas mengucap
salam. Aku mengikuti langkahnya yang menghilang di dalam rumah petak yang tak
lebih bagus ketimbang rumah kontrakkanku. Sudah nyaris sepuluh tahun terakhir,
dia bermukim di sana bersama istri dan kedua puteranya.
Suatu keganjilan sebenarnya.
Haji Husin cuma seorang guru SD swasta, herannya dia selalu berkecukupan untuk
membantu orang kampung yang kemalangan. Sumbangannya untuk kegiatan-kegiatan
masyarakat juga lumayan besar. Secara logika perkara itu jelas mustahil, tapi
mengingat Haji Husin merupakan seorang saleh, orang kampung Rawa Belong percaya
kalau uang itu pasti statusnya halal
Di muka rumah, aku sontak
terperanjat. Istriku sudah mencangcang dengan tampang paling lecek yang bisa
diberikan seorang istri kepada suaminya.
”Dasar laki-laki enggak tahu
diri! Bukannya cari kerja malah keluyuran malam-malam.”
Dia menjewer daun telingaku,
dan menarik seluruh tubuhku masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian
piring-piring kaleng pun berterbangan di rumah kontrakan kami.
-()0()-
Dua malam kemudian, aku kembali
ke kuburan Babah Alung. Kali ini tidak bertangan kosong. Ransel dan saku bajuku
penuh amunisi kelas berat.
Nyatanya semua itu tak terlalu
berfaedah. Ketika kuburan Babah Alung tinggal beberapa langkah lagi, aku
kembali dicekik kengerian. Kalong dan burung hantu terbang mencabik-cabik
kesiur angin dingin. Lolongan anjing terdengar melengking. Bacin keringat
dingin menusuk hidungku. Untuk sesaat aku merasa seperti tengah melangkah
menuju lubang kuburanku sendiri.
Kejadian itu terulang kembali.
Kuburan bergonjang hebat. Asap putih menelusup keluar dari pori-pori makam,
menyatu di udara membentuk wujud Babah Alung bertampang garang.
”Husin! Apa saja kerjamu
Husin?” Teriak arwah penasaran itu.
Aku terjengkang ke tanah.
Sekujur tubuhku menggeletar. Jantung berdegub kencang. Aku merasakan sebilah
tangan seolah tengah mencekik leherku, membuat nafasku terasa sesak.
Lalu keinsyafan itu pun
membuncah. Tidak. Kemiskinan lebih menakutkan ketimbang kutukan setan!
Kurogoh saku jacket. Kuraih
botol air suci, kiriman khusus dari Ucok yang rajin kebaktian, dan
memercikkannya ke tubuh asap arwah penasaran itu.
”Husin! Apa saja kerjamu
Husin?” Arwah Babah Alung sama sekali tak bergeming. .
Kubuka reslesing ransel.
Mengeluarkan bilah kayu salib. Tidak, Babah Alung bukan seorang Kristiani.
Kulemparkan ratusan kertas
jimat kuning. Bukan, Babah Alung bukan penganut Taoisme.
Aku meringkuk, mengangkat
tangan ke langit. Dengan lidah yang terjepit langit-langit mulut, kubaca
ayat kursi dan surat An Nash. Ya ampun, apa agama lelaki Tionghoa ini
sebenarnya.
Arwah Babah Alung tetap saja
mengantung di udara. Tangannya menuding ke arah kampung Rawa Belong, dan
teriakkannya semakin keras.
”Husin! Apa saja kerjamu
Husin?”
Amunisiku habis. Aku tak
sanggup lagi menatap arwah penasaran itu. Badanku berat ke bumi. Kusurukkan
wajahku selayak burung unta yang mengidap malu. Sekarang adalah akhir hidupku.
Sebuah akhir yang benar-benar menyedihkan.
Ketika itulah sayup-sayup
ucapan Haji Husin terdengar di telinga, kalau kita senantiasa berdzikir, Insya
Allah syetan tidak akan mengganggu. Ya, pasti itu jawabannya. Entah mengapa,
dalam ketakutan doa anak manusia memang selalu terdengar syahdu.
Tuhan berkenan membangkitkan keberanianku.
“Alhamdulillah kerjaku sudah
beres semua.” Jawabku tersendat-sendat.
Arwah Babah Alung terbungkam.
Bermata jalang dia menatapku penuh geram.
“Dusta besar! Kau berkhianat.
Kenapa Rajib putera si Khaidir sampai nyaris putus sekolah? Kenapa Kusno sampai
terpaksa menggadaikan rumahnya? Kenapa Rozak belum juga bisa menebus barang
dagangannya yang disita pamong praja? Kenapa Mpok Hindun yang kena bengek belum
juga dibawa ke rumah sakit?”
Aku tercekat. Sekarang bukan
sekedar takut, tapi keheranan atas maksud di balik pertanyaan arwah penasaran
yang mendominasi isi kepalaku.
“Jawab Husin! Jawab! Bela
dirimu dihadapanku sebelum malaikat menjepit lidahmu dan memotong tanganmu di
neraka. Jawab Husin! Jawab! Tunjukkan kalau memang kau bukan seorang pendosa!”
Arwah Babah Alung berang nian.
Mulutnya meludahkan kobaran api serupa naga dalam dongeng Cina. Tangannya kini
terangkat tinggi-tinggi, siap melontarkan trisula merah membara menembus dada
ini.
“Ampun! Ini kesalahanku.
Kumohon maafkan aku.”
Sepi. Aku tak mendengar apapun
selain deru nafasku sendiri. Dan ketika mendongak kulihat kobaran api di
mulut arwah Babah Alung telah padam. Trisula api mengerikan itu sudah lenyap.
”Minta maaflah kepada Tuhan dan
orang-orang yang kau sakiti. Ingatlah, tak peduli apapun sukunya, agamanya dan
warna kulitnya, pada dasarnya setiap manusia itu bersaudara. Jadi kau mesti
turut merasakan sakit ketika ada seseorang ditampar, bahkan meskipun orang itu
tidak mengerang.”
Ternyata perkataan itu adalah
pesan terakhirnya. Arwah Babah Alung lantas lenyap dicabik-cabik kesiur angin
malam. Sejenak aku gelagapan. Sibuk mengatur kendali pancaideraku, memastikan
kembali detak jantung, nafas dan meyakinkan diri kalau kewarasanku belum
tandas. Arkian, dengan tangan menggeletar kukeluarkan pacul dari dalam ransel.
-()0()-
”Babah-Babah, kenapa bisa
seperti ini nasibmu?” Mei Ling puteri Babah Alung histeris melihat kuburan
Ayahnya gompal. Peti jenazah pecah di beberapa sisi.
Hok Gian meremas bahu adiknya,
dengan jengkel dia berseru, ”sudah kubilang agar Babah dikebumikan di pemakaman
Sandiago Hill[1] saja. Tapi kau menolak. Maka beginilah jadinya.”
Mei Ling menoleh, sudut mata
kirinya masih rabas oleh air mata.
”Babah minta dikuburkan di
sini, Bang.”
”Sebagai seorang anak kita
wajib membalas budi orangtua, salah satunya adalah memberikan tempat yang
nyaman dalam peristirahatannya menuju nirwana. Aku tidak mau Babah sampai tidak
tenang di alam sana gara-gara para pencuri makam jahanam. Kali ini aku yang
ambil keputusan!”
Tersuruk di sudut areal
pekuburan, terpisah cukup jauh dari kedua anak Babah Alung, Kusno mendengus
jengkel.
”Huh! Mayat orang kikir saja
diributkan. Masih untung kematiannya bisa berguna bagi orang lain.”
”Jangan begitu. Babah Alung itu
orang baik.”
”Aduh! Kenapa Pak Haji
terus-terusan membela si kikir itu? Baiklah, tolong katakan satu saja
kebaikannya dan aku bakal tutup mulut.”
Haji Husin tertunduk. Aku melihat
sesuatu di matanya. Dia memiliki jawaban, hanya saja kelihatannya dia masih
ragu bersuara.
”Nah! Apa kubilang? Hei,
Khaidir, menurutmu berapa yang akan dikeluarkan Babah Alung untuk menyuap
malaikat kubur agar tidak menyiksanya di bawah tanah nanti?.”
Kali ini aku tak bisa tertawa
mendengar kelakar itu.
”Kau sudah keterlaluan.
Baiklah. Ya –Allah kalau pengakuanku ini sebuah dosa, tolong maafkan aku,” Haji
Husin menerawang ke kaki langit, sebelum berpaling kepada kami, ”Kalian mesti
tahu kalau uang yang kupinjamkan, sumbanganku untuk masjid, kerja bakti warga
dan biaya pengobatan Mpok Hindun sebenarnya bukan milikku. Aku hanya dipercaya
menjadi perantara. Semua itu adalah uang Babah Alung.”
Aku dan Kusno terkejut bukan
alang kepalang.
”Babah Alung itu orang baik.
Sebenarnya dia mau membaur dengan masyarakat, tapi khalayak masih menganggapnya
sebagai sosok licik, penjilat, lintah darat. Dia sengaja menghindari keramaian,
karena saban kali datang, khalayak selalu bergunjing dibelakangnya. Dia
merasa kehadirannya malah mendorong orang-orang berbuat dosa. Karena itu
dipertahankan saja citra buruknya, sementara belaskasihnya untuk orang kampung
dia percayakan kepadaku.
”Orang sekikir itu? Bagaimana
bisa?” Kusno gelagapan.
”Haji Husin menarik nafas
panjang. ”Kalian boleh tidak percaya, tapi bahkan Babah Alung hanya berkenan
dikuburkan dengan kafan dan peti mati, tanpa harta kekayaannya. Dia bukan
seorang muslim, tapi kedermawananya selayak seorang muslim yang taat. Kalian
ingat hadist nabi itu? Jika tangan kananmu memberi tangan kirimu jangan sampai
tahu.”
Mulutku terkunci. Pandangan
matanya memaku tanah. Sekujur tubuhku menggeletar. Ada rasa nyeri mengiris-iris
ulu hatiku. Terjawab sudah kenapa peti mati semalam itu kosong isinya.
”Biarkan saja semua tetap
menjadi rahasia. Itu pesan terakhir Babah Alung.” Haji Husin membenarkan letak
kopiahnya. ”Aku tak tahu apa kaitannya, tetapi beberapa malam ini aku selalu
dihantui Babah Alung. Akh, andai saja aku tahu apa yang hendak ia sampaikan.”
”Ampuni hamba ya Allah, apa
yang telah kulakukan,” Kusno bergetar hebat. Air matanya merabas, dia menyesal
sekali.
Haji Husin mengangguk mantap.
Dia sudah mengambil ancang-ancang permisi, sebelum akhirnya berpaling
kepadaku.
”Ada yang mau kau sampaikan,
Khaidir?” Tanya Haji Husin dengan tatapan interogatif.
”Tidak, Pak Haji. Tidak ada
yang perlu dibicarakan lagi.” Jawabku dengan gelengan lemas.
Padang, 15 Maret 2008
[1] Merupakan kawasan pemakaman
kalangan orang kaya di dekat Jakarta, ibukota Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar