Aku meloncat ke bis Patas,
jurusan Kampung Rambutan, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Tambun
Tanggerang. Hidup makin sulit, dan rezeki sudah tak dapat lagi dibatasi garis
demarkasi wilayah.
Bertampang masam istriku
membuka pintu rumah petak. Dia langsung ngeloyor ke dalam, sementara aku
meredakan penat dengan selonjoran di sofa yang sudah koyak-moyak dan menjadi
surga beranakpinaknya ratusan kepinding.
”Lho kok pahit, Dek?” Tanyaku
setelah mereguk secangkir kopi.
Tampang istriku sontak selayak
rok katun yang belum diseterika, ”aku punya tiga kabar buruk. Pertama, dapur
kita tidak ngebul malam ini karena Mpok Markonah sudah menolak memberi hutang.
Kedua, Si Rajib diusir gurunya akibat nunggak SPP tiga bulan. Terakhir, tadi
pagi Pak Mahmud mengancam kita untuk siap-siap angkat kaki kalau pekan depan
belum juga melunasi uang sewa rumah.”