MENGERLING STRATEGI BISNIS SANG NAGA



“Meskipun anda belum pernah ke Cina, tapi yang pasti barang Cina pernah ada di tempat Anda, dan itu adalah realita”. Peter J Williamson, buku Dragon at Your Door (2007).

Dalam tiga dekade, semenjak Deng Xiao Ping menerapkan sistem ekonomi pasar terkelola di awal 1978, cakar-cakar naga telah terentang begitu jauh. Kini produk-produk Cina telah membanjiri pasaran dunia; USA, Eropa, Timur Tengah, Asia, termasuk Indonesia.

Dengan keunikannya, korporasi China sudah merambah industri-industrimass-market, termasuk pelbagai industri high-techdan specialty, sepertirefrigerator, container, berbagai mesin-mesin cetak dan lain-lain. Mulai dari teknologi tinggi yang menghasilkan X-Ray, seperti Zhongxing Medical yang berhasil memukul mundur General Electric dan Philips, HiSense yang telah menjadi pemasok terbesar perangkat TV di negara berkembang, hingga penghasil kereta bayi seperti Goodbaby.


Masih ingat penawaran Haier, market leader elektronik China, untuk membeli Maytag-AS. Lalu pembelian Nanjing Automotive atas MG-Rover, raksasa otomotif asal Inggris. Transaksi pembelian PC Thinkpad IBM oleh Lenovo senilai US$1,75 miliar. Sebelumnya ada pula penawaran pembelian perusahaan minyak Unocal dari AS oleh CNOOC perusahaan minyak milik pemerintah Cina. Terakhir, Huawei yang dalam tahap due dilligence untuk mengakuisisi Marconi, perusahaan vendor peralatan telekomunikasi dari Inggris.

Banyak pakar manajemen yang mengklaim bahwa tenaga kerja yang murah adalah sumber utama dukungan bagi daya saing Cina. Sebagian lagi, memprediksi signifikannya dampak subsidi pemerintah Cina terhadap produk-produknya.

Penulis pikir, landasan keduanya sangat lemah. Misalnya, perkara subsidi industri dalam negeri. Kebijakan ini bisa saja terjadi, tetapi patut dipertanyakan logika asal muasal anggaran untuk melakukan subsidi terhadap jutaan produk yang dihasilkan industri Cina? Bagaimana dengan alasan rendahnya upah buruh?

Dengan pertumbuhan ekonomi China yang mencapai 9,2% (2011), turun dari 10,3% (2010), tak pelak akan diiringi dengan tingginya tingkat inflasi yang berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok. Konsekuensinya, harus ada peningkatan daya beli masyarakat. Mengingat karakteristik demografi Cina, maka kemampuan membeli tinggi apabila pendapatan buruh atau karyawan juga tinggi.

Jadi alasan yang tepat adalah sebagaimana yang disebutkan Williamson dan Zeng, dalam buku Dragons At Your Door (2007). Keduanya sepakat kalau rahasia dari kemampuan korporasi Cina dalam penetrasi pasar di pelbagai negara adalah inovasi biaya (cost innovation).

Korporasi China berhasil memutar balik paradigma lama, yaitu teknologi tidak harus berbiaya tinggi. Mereka berhasil mengubah pola pikir, menggunakan biaya rendah dengan cara unik: teknologi tinggi yang murah, menggunakan sumber daya teknik, desain, dan layanan berbiaya rendah. Tidak hanya itu. Sang Naga juga berhasil menggunakan teknologi alternatif yang murah, selain fokus pada celah kompetitor.

Strategi inovasi biaya tersebut telah mengganggu kompetisi global (disrupting global competition) yang selama ini mapan. Berbagai industri yang selama ini dikuasai berbagai negara industri maju mulai terpengaruh oleh keunggulan korporasi Cina. Mereka menyatakan pada tahun 2005, produk-produk China telah membanjiri volume pasar dunia, yaitu produk televisi (40%), AC (50%), refigerator (30%), microwave ovens (51%), kamera digital (50%), ponsel (37%), kontainer (70%), produk mainan (60%), lampu (70%), Crane (50%),  produk Crane (70%), dan produk mesin jahit (35%).

The Low Cost Company
Strategi berbiaya rendah (cost-leadership) sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Buku Competitive Strategy (Porter, 1980) mungkin adalah literatur yang mempopulerkannya. Tetapi, yang menarik dari korporasi Cina adalah kemampuan mereka menawarkan fitur-fitur canggih pada produk-produknya, dengan strategi harga yang tidak masuk dalam hitungan bisnis para kompetitornya.

Pada intinya perusahaan harus menciptakan daya saing khusus untuk memperkuat posisi tawar-menawar dalam persaingan, dan untuk menampung tuntutan persaingan di pasar yang berasal dari pemasok, pembeli, ancaman pendatang baru, produk pengganti, dan tantangan yang gencar dari para pesaing.

Menurut strategi ini, perusahaan harus mencari pasar yang kuat dengan biaya yang rendah (market power and low cost). Ini adalah senjata utama dalam persaingan.

Menurut, Mintzberg (1990) perusahaan harus mendesain strategi perusahaan yang cocok (fit) antara peluang dan ancaman eksternal dengan kemampuan internal yang memadai dan berpedoman kepada pilihan alternatif dari grand strategy, serta didukung dengan menumbuhkan kapabilitas inti (core competency) yang merupakan kompetensi khusus (distinctive competency) dari pengelolaan sumber daya perusahaan.

Kompetensi itu diciptakan melalui generic strategies-nya Porter, seperti strategi biaya rendah, diferensiasi dan focus, serta didukung oleh nilai-nilai budaya yang relevan. Substansi dari teori kompetensi inti (core competency) juga sering dikemukakan oleh Gary Hamel, C.K Prahalad dan H. Mintzberh.

Selain Cina, strategi ini juga telah diadopsi India, Korea dan belakangan Malaysia. Khusus untuk kasus Indonesia, strategi ini kendati sudah digembor-gemborkan, tetapi belum menampakkan hasil maksimal. Seringkali para CEO korporasi bingung dan apatis untuk mengimplementasikan strategi ini. Usut punya usut, ternyata the low cost company sering dimaknai sebatas cost cutting.

Padahal The Low Cost Company ditandai dengan kemampuan perusahaan menurunkan biaya produksi melalui perbaikan proses kerjanya. Intinya adalah aktivitas dan atau proses bisnis yang meningkatkan nilai tambah diperkuat kualitasnya. Sebaliknya yang tidak menciptakan nilai tambah dihilangkan saja. Contohnya SOP dalam mekanisme organisasi yang cenderung menyebabkan perusahaan menjadi terkotak-kotak, mengutamakan fungsi-fungsi organisasi, tetapi melupakan tujuan akhir organisasi yang seharusnya berorientasi kepada pengguna akhir

Jadi yang dikejar oleh The Low Cost Company adalah perbaikan terus menerus dari sisi penurunan biaya produksi (cost). Kendati begitu, dalam penerapannya model ini tidak memperkenankan penurunan kualitas (quality) dan waktu penyampaiannya (delivery).

Sebagai penutup, ijinkan penulis untuk mengutip pernyataan BJ. Habibie ketika bersilahturahmi ke PT. GIA beberapa waktu silam.


“Dik, dalam industri apapun kuncinya itu hanya satu QCD? Q itu quality, Dik. Anda harus buat segala sesuatunya berkualitas tinggi dan konsisten. C itu cost, Dik. Tekan harga serendah mungkin agar mampu bersaing dengan produsen sejenis. D itu delivery. Biasakan semua produksi dan outcome berkualitas tinggi dengan biaya paling efisien dan disampaikan tepat waktu! Itu saja!” 

0 komentar:

Posting Komentar