Belakangan ini
Indonesia digoncang sengketa KPK VS Polisi, yang notabene merupakan simbolisasi
masih mengakarnya praktik mafia hukum di negeri ini. Sebagian orang menilai
kalau sengketa itu hanya merupakan keriuhan elit yang tidak berkorespondensi
dengan kesejahteraan rakyat kecil. Padahal kegagalan penyelesain sengketa itu
secara beradab akan berdampak secara tidak langsung dengan kesejahteraan buruh.
Sengketa antara
KPK VS Polisi adalah salah satu puncak ketidakpastian hukum. Celakanya
supremasi hukum merupakan salah satu pilar pertimbangan investor untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Pasalnya mafia hukum bukan sekedar mafia
kasus (markus), melainkan juga meliputi oknum-oknum internal kepolisian,
kejaksaan, pengadilan maupun KPK itu sendiri.
Markus hanya
bekerja bila pengusaha melakukan kesalahan-kesalahan pelik sehingga mesti
diselesaikan melalui jalur hukum formal. Tetapi okum aparat hukum ranahnya
lebih luas lagi. Mereka bukan sekedar mampu memperjualbelikan surat
pemanggilan, status tersangka atau mengungkit-ungkit permasalahan yang sudah
selesai. Mereka juga dapat berimajinasi tentang kasus-kasus yang bisa
ditimpakan pada para pengusaha, bahkan meskipun para pebisnis itu tidak
melakukan kesalahan apa-apa.
Kemampuan
merekayasa ini tergambar melalui rekaman Anggodo Widjoyo dan para penegak hukum
perihal skenario kriminalisasi Bibit-Chandra. Pengakuan Wiliardi Wizardi
yang dipaksa terlibat dalam skenario menjerat Antasari Azhar semakin memperkuat
kemampuan itu. Bila tindakan itu dapat menimpa para penegak hukum, lalu apa
yang menghalanginya terjadi juga pada para pengusaha.
Pengusaha yang
ketakutan terpaksa membayar uang sesuai permintaan. Pemerasan itu memang
tidak langsung mendongkrak biaya produksi, tetapi pasti berdampak pada cashflow
(aliran modal) perusahaan. Dalam jangka panjang akhirnya tindakan itu akan
berdampak negatif terhadap kelangsungan perusahaan. Djimanto Ketua Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO) pernah memperkirakan kalau tambahan biaya para
pengusaha yang berpekara di meja hijau dapat mencapai 30 % dari total produksi.
Akibatnya laju
investasi terhambat. Pengusaha urung berinvestasi di Indonesia. Pembukaan
lapangan pekerjaan bagi 9.427,6 ribu penganggur di Indonesia (BPS; 2008) masih
akan menjadi permasalahan keseharian. Yang terparah apabila kondisi ini
mendorong terjadinya arus pelarian modal ke negara-negara yang iklim usahanya
lebih kondusif sebagaimana yang pernah terjadi di awal reformasi dahulu.
Gelombang PHK dapat muncul kembali. Akibatnya kesejahteraan buruh jelas bakal
semakin morat-marit.
* pernah dimuat
di Harian Media Indonesia
**
penulis adalah Hendri Teja Wasekjend PB GASBIINDO
0 komentar:
Posting Komentar