MEREKA BILANG KANGMAS KORUPSI



Aku tengah surfing di internet. Menjelajahi berita dan wacana pemberantasan korupsi. Dan hasilnya fantastic. Kucatat setidaknya ada tiga negara yang menerapkan proses hukuman menakjubkan bagi para koruptor. Cina menembak mati para koruptor, Arab menegakkan sanksi potong tangan, dan mereka dihukum minimal 15 tahun penjara di Amerika. Sesuatu yang teramat luar biasa bila terjadi di negeri yang identik dengan dagelan hukum seperti Indonesia.

Akh, aku mendengus, seperti David melawan Goliath. Mendadak ponselku berdering. Sebaris nama dari masa silam langsung menarik perhatian.  

“Gawat Dikmas! Gawat. Kasus yang dulu itu dibuka kembali. Sekarang statusku sudah menjadi tersangka,“  suara serak itu terdengar cemas nian.
Aku terperanjat. Setahuku, kendati pensiun tetapi Kangmas[2] Suwito masih berkarib dengan para petinggi negeri ini. Lantas bagaimana bisa tuntutan impor sapi yang dulu menjeratnya dibuka kembali. Aku menggeleng tanpa sadar. Rupanya cakar-cakar pejuang anti korupsi sudah benar-benar bersliweran mencari mangsa.

“Ini konspirasi lawan-lawan politikku. Mereka mau menjegalku turut Pilkada. Ini keterlaluan, Dikmas. Benar-benar keterlaluan!“

“Sabar Kangmas. Sabar.“

Tak ada jawaban. Hanya dengus suara memburu yang terdengar.

“Kangmas?”

“Maaf, Dikmas. Aku emosi. Kau benar, semestinya aku tak boleh terlalu cemas. Ya, bukankah ada kamu. Kau pasti akan membantuku kan?”

Aku tercenung. Idealisme dan hutang budi bertarung.

“Hallo, Dikmas. Kamu masih di sana kan? Kamu akan membantuku kan?”

“Iya Kangmas. Saya akan berusaha semampunya.“

Aneh. Kenapa nada suaraku terdengar begitu lesu

-()0()-

Angin tak kuasa bersekutu dengan kesejukan. Kemarau sudah kelewat lama melanda sampai-sampai hawa dingin pun lenyap diserap tanah. Titik-titik air kian langka. Penduduk Desa Joyoboyo terpaksa terengah-engah sejauh enam belas kilometer pulang pergi, berpayah-payah meniti tebing pejal untuk menciduk mata air sekarat, nyaris tinggal kubangan sempit di tanah liat. 

Dalam gubuk gedek berlantai tanah rekah-rekah, di dapur, Mbok Sumi khusyu meniup api tungku dengan ruas bambu. Asap hitam sisa pembakaran sabuk kelapa dan dedaunan kering membikin tampang legamnya semakin hitam. Nafasnya agak sesak. Peluh beraroma bacin menjelajahi tepi-tepi tubuh dan wajahnya.

Mbok Sumi hendak menanak nasi tiwul. Barangkali ini yang terakhir. Persediaan ubi ketela sudah habis. Mulai besok keluarganya mesti puas menyantap nasi aking. Mau bagaimana lagi. Mbok Sumi hanya mampu mengutuki langit yang tak kunjung menangis. Bahkan sawah tadah hujan milik Haji Ismed, tempat suaminya menggantangkan beberapa liter beras juga gagal panen.

Ditinggalkannya dapur ketika mendengar suara memanggil di muka rumah. Tamunya ternyata seorang pemuda yang kuyup oleh keringat dan dekil akibat debu pasir khas Gunung Kidul. Rambutnya kusut masai. Keletihan tergurat jelas di garis-garis wajah yang keras. Tetapi senyum begitu tulus, menandakan hatinya yang bersih.

“Matur nuwun Mbok. Aku Suwito, mahasiswa dari Jogja. Kebetulan aku tengah melancong ke sini. Bila diizinkan aku mau numpang istirahat sejenak. Siang di Gunung Kidul begitu panas, tubuhku terasa terbakar.“

Masya Allah, batin Mbok Sumi. Pemuda ini mahasiswa, kalangan orang-orang pintar itu, dan dia berkenan singgah ke gubuk burukku. Mbok Sumi merasa mendapat kehormatan, tapi sejenak kemudian dia sontak gelagapan.

“Ndak ada apa-apa di rumah Mbok, Den“ tukasnya penuh penyesalan.

“Apa Mbok punya segelas air?”

Mbok Sumi mengangguk

“Nah, itu sudah lebih dari cukup “

Kendati ragu, arkian Mbok Sumi mempersilakan. Dia lalu minta permisi ke belakang untuk mengambil kendi air. Suwito meringkuk di balai bambu. Ketika itulah telinganya menangkap isak seorang bocah dari dalam kamar berdinding anyaman bambu.        

“Kenapa si Thole, Mbok?”

“Dia kepingin nagasari. Tapi Mbok tidak punya uang. Kemarau kali ini  menyebabkan kami gagal panen “

Suwito menerima kendi yang disodorkan, lahap meneguk. Aliran dingin itu membasahi tenggorokannya. Benar-benar sejuk. Setelah itu dia merogoh tas kainnya dan mengeluarkan bungkusan dari daun pisang. Mbok Sumi terbelalak ketika melihat isinya. Bukan hanya nagasari, jenang dodol, klepon dan onde-onde serta kue cucur pun ada di sana.

“Tadinya aku mau bawa ini buat oleh-oleh. Tapi setelah kupikir-pikir baikan ini buat si Thole saja “

“Jangan, Den. Si Thole memang kebiasaan. Sebentar lagi tangisnya juga berhenti sendiri “

“Ndak apa-apa toh, Mbok.”

“Ya Allah terimakasih banyak, Den. Le, Thole! Keluarlah, lihat apa yang  Raden bawa?”

Seorang bocah muncul takut-takut, dan bersembunyi di balik tubuh Mbok-nya. Matanya sembab karena kebanyakan menangis. Mbok Sumi mengamit sebongkah nagasari dan meletakkan di tangan mungil itu. Si Bocah menerimanya dengan mata berbinar.

“Si Thole ndak sekolah, Mbok?” Suwito tersenyum, menggerakkan tangannya, mengundang si Bocah mendekat

“Sekolah itu letaknya di ibukota kecamatan. Lagi pula biayanya mahal. Mau bayar pakai apa?”

“Kamu sendiri bagaimana, Le? Kamu mau sekolah?”

Si Bocah menghentikan makannya. Dia melontarkan tatapan heran, tapi akhirnya mengangguk.

“Kalau aku sekolahkan si Thole bagaimana, Mbok?”

Mbok Sumi tersentak. Merasa ada yang salah dengan pendengarannya. Tawaran Suwito itu terdengar seperti Haji Ismed hendak menghibahkan suaminya sebidang lahan bercocok tanam.   

“Memang bukan sekolah formal. Muridnya ya anak-anak desa di sini. Kelasnya nanti kita usahakan, bisa rumah, atau musallah. Biar nanti kuajak kawan-kawanku untuk membantu. Kalau sekedar baca tulis, berhitung, melukis dan menari anggap saja beres. Dan semuanya gratis. Tapi itu pun kalau Mbok mengizinkan… “ 

“Tidak, Den tidak!” Mbok Sumi mulai terisak. “Mbok ndak keberatan. Ini anugerah, Den. Akhirnya akan ada pula anak keturunan Mbok yang bisa baca tulis. “

Mbok Sumi makin sesungukan. Air matanya tumpah tanpa bisa dihentikan. Sementara itu si Bocah menatap Mbok-nya dengan penuh keheranan. Mengapa Mbok-nya menangis tiba-tiba? Arkian keheranan itu pecah juga,bocah itu tak tahan melihat Mbok-nya menangis dan ikut-ikutan menangis.

-()0()-

Aku melenguh. Mencoba membenamkan ingatan masa silam. Keinginan  melanjutkan surfing patah sudah. Kuputuskan membuka email. Sepuluh surat, banyak juga. Padahal baru kemarin aku membuka account email-ku di sebuah situs yang terkenal akan kemahirannya mencari data di dunia maya. Sebuah email kemudian menarik perhatianku.

Sender  :  Handreas Novroly <hanov@kpk.org>
To      :  Urip Prihatin <uripri_2007@senja.com>
Subject :  info penting

Salam sobat,
Sekarang aku sedang menangani kasus korupsi di Jogja. Proyek pengadaan hibah sapi untuk masyarakat miskin yang diduga dikorupsi oleh Drs. Suwito.  Dari berkas-berkasnya aku tahu kalau lelaki itu ternyata ada hubungannya denganmu. Kakak angkatmu, kalau aku tidak salah ingat. Kupikir kau perlu tahu perkara ini.
Aku turut bersedih, Rip. Semoga saja ini hanya sekedar kesalahan administrasi.  
Salam buat Nova, Febby dan si kecil Reza.

Sahabatmu
Handreas N, SH, MH 

-()0()-

Rumah itu masih sama seperti dulu. Masih begitu sederhana, asri dan terasa sejuk. Meski kini telah menjejak era globalisasi, pagarnya toh masih terbuat dari kayu. Beragam bunga warna-warni tampak terpelihara rapi di muka pagar. Seorang perempuan tua melangkah terbungkuk-bungkuk bertumpukan sebatang tongkat. Aku terburu menghampirinya dan mengecup tangannya.

“Jadi kan hari ini nginap di rumah, Mbok ? “

“Lha iya toh. Aku kan sudah kangen sama cucu-cucuku itu. “

Aku memberi isyarat. Tergopoh-gopoh Darto mengambil barang bawaan Simbok dan memasukannya ke dalam bagasi mobil. Hari ini adalah jadual berkunjungnya ke rumah.

Setelah bekerja di kejaksaan atas rekomendasi Kangmas Suwito, aku  memboyong Simbok dan Bapake ke Jakarta. Kami bermukim bersama sampai aku menikah dan memutuskan mencari kediaman  baru.

Tiga tahun silam Bapake berpulang. Sebermula aku ingin agar Simbok tinggal bersama keluargaku, tetapi beliau menampik. Kemandirian seorang perempuan Jawa telah terpatri dalam jiwanya, sampai-sampai mampu mengusir rasa sepi. Dia memutuskan hanya datang untuk menengok para cucu bila rasa kangen menerpa.

“Kamu sudah tahu perihal Raden Suwito?” Simbok membuka perbincangan ketika kami telah menyusuri jalanan. Bahkan setelah tiga puluh lima tahun berselang, dia masih tetap memanggil Suwito dengan sebutan Raden.

Aku mengangguk.

“Kamu harus membantunya. Ingat kamu bisa begini. Bisa punya rumah besar, mobil, dan pekerjaan, semua karena jasa-jasa Raden Suwito. Kamu harus membalasnya, Le.”

Aku mengangguk patuh. Simbok tersenyum senang. Perempuan tua itu lalu membelai lembut kepalaku. Aku menyukai usapan kasih itu. Entah mengapa, bersama Simbok aku selalu saja merasa selayaknya seorang bocah. Urip Prihatin kecil dengan tampang tirus, dekil dan hitam terbakar matahari Gunung Kidul. Seorang bocah yang menangis histeris karena sampai umur sepuluh tahun belum pernah mencecap nikmatnya jajanan nagasari.

-()0()-

Seorang bocah langsung mencekal lenganku ketika aku baru saja membuka pintu. Reza, putra bungsuku, menarik tubuhku ke muka televisi. Tampak tayangan berita di mana Kangmas Suwito tengah digiring polisi menuju mobil tahanan.

“Kenapa Pakde ditangkap? Memangnya Pakde itu penjahat, ya, Pa?”

“Huss, Cah Bagus! Pakde-mu itu tidak jahat. Pakde-mu justru dijebak oleh orang-orang jahat,” suara Simbok yang khas mengalihkan perhatian Reza dari  televisi. Bocah itu tersenyum girang dan langsung berlari kecil memeluk Eyang-nya. Simbok mencium pipi-pipi halus cucunya itu.

“Kalau tidak jahat lalu kenapa Pakde dipenjara, Eyang ?”

Simbok tampak kebingungan menjawab pertanyaan Reza yang polos itu. Aku segera mengambil alih kendali. Mencairkan suasana.

“Pakde tidak jahar Reza. Nanti kalau Reza sudah besar, Reza pasti akan mengerti. Sekarang panggil Mama gih, katakan Eyang sudah datang…”

Reza tersenyum lebar dan dengan kepolosannya, dia berlari-lari masuk ke dalam rumah.   


Yogyakarta, 20 Mei 2009

0 komentar:

Posting Komentar