MAFIA HUKUM DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT KECIL



Belakangan ini Indonesia digoncang sengketa KPK VS Polisi, yang notabene merupakan simbolisasi masih mengakarnya praktik mafia hukum di negeri ini. Sebagian orang menilai kalau sengketa itu hanya merupakan keriuhan elit yang tidak berkorespondensi dengan kesejahteraan rakyat kecil. Padahal kegagalan penyelesain sengketa itu secara beradab akan berdampak secara tidak langsung dengan kesejahteraan buruh.

Sengketa antara KPK VS Polisi adalah salah satu puncak ketidakpastian hukum. Celakanya supremasi hukum merupakan salah satu pilar pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pasalnya mafia hukum bukan sekedar mafia kasus (markus), melainkan juga meliputi oknum-oknum internal kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun KPK itu sendiri.

Markus hanya bekerja bila pengusaha melakukan kesalahan-kesalahan pelik sehingga mesti diselesaikan melalui jalur hukum formal. Tetapi okum aparat hukum ranahnya lebih luas lagi. Mereka bukan sekedar mampu memperjualbelikan surat pemanggilan, status tersangka atau mengungkit-ungkit permasalahan yang sudah selesai. Mereka juga dapat berimajinasi tentang kasus-kasus yang bisa ditimpakan pada para pengusaha, bahkan meskipun para pebisnis itu tidak melakukan kesalahan apa-apa.

MEREKA BILANG KANGMAS KORUPSI



Aku tengah surfing di internet. Menjelajahi berita dan wacana pemberantasan korupsi. Dan hasilnya fantastic. Kucatat setidaknya ada tiga negara yang menerapkan proses hukuman menakjubkan bagi para koruptor. Cina menembak mati para koruptor, Arab menegakkan sanksi potong tangan, dan mereka dihukum minimal 15 tahun penjara di Amerika. Sesuatu yang teramat luar biasa bila terjadi di negeri yang identik dengan dagelan hukum seperti Indonesia.

Akh, aku mendengus, seperti David melawan Goliath. Mendadak ponselku berdering. Sebaris nama dari masa silam langsung menarik perhatian.  

“Gawat Dikmas! Gawat. Kasus yang dulu itu dibuka kembali. Sekarang statusku sudah menjadi tersangka,“  suara serak itu terdengar cemas nian.

ANONIMITAS PARTAI POLITIK


Pemilu bukan sekedar model partisipasi politik masyarakat, melainkan juga merupakan ajang balas dendam rakyat terhadap institusi politik. Parpol adalah institusi politik yang akan paling merasakan dampak ketidakpuasan tersebut. Faktanya, sejak Pemilu 2004, ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja parpol makin menguat. Wujud kongkritnya adalah tingginya angka golput.

Data JPPR 2008 menyebutkan kalau 13 pemilu gubernur dari 26 Pilkada Provinsi sepanjang 2005-2008 dimenangi oleh golput. Jajak pendapat Kompas pada 13-14 Agustus 2008 juga mencatat 3 dari 4 responden (76,5%) menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja Parpol.

Sebelumnya survey LSI juga menempatkan parpol di level terendah sebagai wadah menyuarakan suara rakyat. Posisi teratas ditempati media massa (31 %), ormas (24 %), baru kemudian birokrat dan parpol dengan nilai 11%. Realitas kemudian memaksa parpol untuk berbenah. Ironisnya, pembenahan tersebut ternyata tidak menyentuh aras substansial bahkan malah membuat parpol kehilangan jatidirinya.