Intimidasi Pembatalan Film Tan Malaka, Laku Dungu yang Terus Berulang



Seharian tadi kita bisa mengendus semerbak bau pahlawan. Ibu-ibu berkonde dengan giat-giat produktifnya, warta-kabar di televisi, atau keriuhan di media sosial. Tanggal 21 April sejak dulu selalu jadi simulasi 17 Agustus, hari di mana bangsa Indonesia mengenang masa-masa melawan penindasan. Bukan cuma Kartini, atau perempuan-perempuan hebat besertanya, tapi juga para pahlawan yang punya andil sehingga Indonesia bisa jadi seperti sekarang.

Sialnya, perayaan mengenang masa lalu itu harus tercederai hari ini. Satu kabar membuat hati kita terbanting-banting. Di satu sudut Kota Padang, Sumatera Barat pemutaran film dokumenter “Mahaguru Tan Malaka” karya Daniel Rudi Haryanto dipaksa batal. Shelter Utara, komunitas tuan rumah, mengaku mendapat sejumlah intimidasi. Mengerikan! Intimidasi ini adalah laku dungu yang diusung dengan gegap-gempita.

Pelarangan dan pembubaran giat-giat bertema Tan Malaka bukan kejadian baru, tapi kedunguan kali ini serasa lebih pahit. Tersebab ada jejak tangan pemerintah langsung dalam produk film itu. Dengan dukungan Kemendikbud, pada 2017 yang lalu, Daniel menapaki jejak Tan Malaka di Eropa. Sekarang film pendek itu tengah roadshow untuk penggalangan dana pembuatan film panjangnya.

Ada pula giat-giat lainnya yang jadi sinyal bahwa Kemedikbud mulai memberi ruang bagi produk-produk berbau Tan Malaka. Tahun lalu, novel Tan dengan citra Tan Malaka mengantarkan saya menerima penghargaan sastra dari Badan Bahasa Kemendikbud.

Hal serupa juga mulai terasa Kementerian Sosial dan DPR RI. Tan Malaka Institute bersama komunitas dan individu-individu yang respek dengan pemikiran Tan Malaka, mulai mangkus mengobati alergi Tan Malaka di institusi pemerintah, di benak publik.

Percaya atau tidak, sekarang giat terkait Tan Malaka sudah kerap dihelat di kalangan pesantren. Diskusinya dimeriahkan oleh kalangan bersarung dan bersorban. Jejak langkah dan pemikiran Tan Malaka memang memiliki irisan dengan gerakan Islam politik di tanah air kita.

Pencapaian-pencapaian di atas serasa ambrol sebab pelarangan pemutaran film ini terjadi sekitar 6 kilometer dari Jalan Tan Malaka di samping RRI Padang itu. Ditarik ke atas, pelarangan ini terjadi di ranah Minangkabau, tanah leluhur yang menjadi pondasi awal pemikiran Sang Datuk. Tanah satu suku bangsa yang kesohor dengan budaya diskusi sepekan suntuknya.

Amat kontradiktif. Ketika ranah 'darek' Minangkabau gegap-gempita meluruskan kesalahan sejarah atas sosok Tan Malaka, ranah 'rantau' justru mengaburkannya. Mestinya 'rantau' lebih inklusif tersebab ditopang oleh kampus-kampus besar yang jadi wahana untuk membuka ruang dialektika mendalam.

Semestinya, dialektika lebih meriah di Kota Padang. Mereka yang masih terjebak dalam jerat masa lalu, bisa menghadiri acara itu, menontonnya dengan seksama, lalu meledakan penolakannya di forum diskusi. Amat baik apabila aparat keamanan dan pertahanan, yang sedang membangun citra ramah dan senang diskusi itu, turut menghadiri giat-giat semacam ini. Betapa dahsyatnya pertukaran pendapatan yang akan terjadi apabila kaum yang alergi warna merah, saya mencatat ada sembilan warna dasar, mau hadir.

Saya yakin tidak akan ada seorang pun yang mencegah. Malahan tubruk-menubruk itulah yang diharapkan bisa terjadi dalam setiap forum diskusi terkait Tan Malaka—termasuk tubrukan yang paling ekstrim sekalipun. Perkara kita pulang dengan cemberut sebal atau sumringah tercerahkan, itu lain soal.

Pelarangan pemutaran film Tan Malaka ini adalah sinyal bahwa gerakan meluruskan sejarah Tan Malaka harus diteruskan. Masalahnya masih berkutat di titik klasik: bukan cuma pemerintah yang lambat bergeser, tapi masyarakat yang sudah kadung termamah propaganda masa lalu.

Adalah lumrah apabila kita takut dengan sesuatu yang tidak dipahami. Lebih-lebih apabila takut itu adalah warisan dari masa lalu. Namun, sependek ingatan saya, orang Minangkabau tidak pernah berhenti pada kondisi 'takut'. Orang Minangkabau justru mempelajari rasa takut itu, agar bisa menaruhnya dalam bilik 'ketakutan yang keliru' atau 'ketakutan yang perlu diakali'.

 Terserah bilik mana yang mau dipakai selama ada proses penggalian dahulu. Tanpa penggalian, takut itu tak lebih dari laku dungu bukan kepalang

Pengalaman Tanggap Darurat di Meulaboh Aceh


Saya ingat sekali hari itu, 13 tahun silam, 26 Desember 2004. Seusai mengelar diklat untuk calon siswa baru Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup Universitas Negeri Padang (MPALH UNP), saya leyeh-leyeh di rumah Handreas Novroly. Lalu datang Agus Suryansyah dengan mata sembab. Aceh diterjang gempa tsunami, dan keluarganya di Meulaboh tak jelas kabarnya.

Singkat kata, MPALH UNP mengutus saya bersama Djamin Purba dan Aan Abi Faris buat mengantar Agus. Sebagai modal awal, kawan-kawan MPALH iuran sedapatnya dikoordinir oleh Richi Wiliam waktu itu.

Ini benar-benar tugas nekad. Kami benar-benar buta kondisi, sementara televisi cuma menyiarkan berita-berita mengenaskan yang membuat Agus tercenung. Tak tahu pula siapa yang bisa dikontak di Medan nanti. Tapi, ya itu, solidaritas kawan lebih besar dari rentetan kengerian itu. Waktu itu targetnya cuma satu: pokoknya Agus mesti sampai di Meulaboh selekas mungkin.

Kami pergi menumpang travel ke kota Medan. Di sana, kami dapat kabar perjalanan tidak bisa menggunakan jalur darat. Ada jalanan ambrol di Tapaktuan. Isunya pun kian simpang-siur, kian mengerikan. Saya teringat Agus menangis saat mendengar isu yang paling mengerikan: Meulaboh akan "dikremasi"---ya dibakar---guna mencegah wabah penyakit akibat ribuan jenazah yang tidak tertangani itu.

Semua jalan kami tempuh, dari coba melobi ke markas BNPB di kawasan Bandara Polonia,  menyambangi Ikatan Keluarga Aceh, hingga ikut antrean relawan dari Universitas Teknik Medan. Sayangnya hanya bertemu jalan buntu. Tak ada kepastian kapan kami bisa berangkat.

Di sela-sela ketidakpastian itu, tangan Tuhan bekerja. Kami dapat kontak dengan Jaringan Relawan Kemanusiaan yang diinisiasi Romo Sandyawan---kawan-kawan di Padang yang mencarikan. Sejak itu, langkah kami semakin terang. Dari Padangbulan, kami bertolak menuju Subuhsalam, disambung dengan naik feri ke Meulaboh. Untuk kawasan Aceh Barat, Jaringan Relawan Kemanusiaan tergolong rombongan relawan yang pertama kali sampai.

Seturun feri kami langsung disambut kondisi Meulaboh yang luluh-lantak. Angin siang yang berembus seolah-olah membawa aroma kematian dan rintih kepedihan. Semua orang yang saya temui berwajah murung. Dan sejauh mata memandang--di sepanjang jalan, di bawah reruntuhan rumah-rumah, di dalam genangan puing-puing bangunan---ada banyak jenazah. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un

Satu-satunya yang melegakan adalah saat mengetahui bahwa keluarga Agus selamat semuanya.

Lebih dari satu bulan saya di sana kala itu. Pekerjaan tim saya adalah melakukan evakuasi jenazah, distribusi logistik makanan dan obat-obatan, hingga membantu menyekop lumpur setebal di atas mata kaki di rumah-rumah penduduk.

Entah di mana foto-foto itu sekarang. Tim saya memang enggan berfoto-foto---kami tak mau sampai dituding turis bencana.

Dua pekan berselang, saat Melauboh kembali berdenyut, kami dapat kabar bahwa warung nasi di Simpang Rumah Sakit sudah dibuka. Buat kami para relawan yang sepanjang waktu hanya makan mi instan plus kornet atau sarden kalengan, ini ibarat menemukan oase di padang pasir. Berbondong-bondong kami di sana.

Saya makan banyak waktu itu, sayangnya waktu minta nambah, si penjual menolaknya. "Buat relawan yang lain," kata ibu penjual. Sependek pengalaman saya makan di kedai nasi, itu adalah penolakan nasi tambah pertama yang saya alami.

Di sela-sela aktivitas tanggap darurat itu saya juga menyitir rumor truk logistik yang dibajak para pengungsi yang kelaparan. Para relawan yang hampir-hampir dipukuli warga kota karena terlalu sibuk berswafoto ria. Juga perihal para anggota GAM yang mati kecemasan--ingin turun dari hutan-gunung untuk menolong sanak-keluarganya--tetapi cemas akan berkonflik dengan TNI. Siapa sangka, dari kehancuran besar itulah proses perdamaian Aceh tumbuh menjulang. Konflik berakhir sejak penandatanganan Perjanjian Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

Belakangan, pengalaman di Aceh mendorong saya buat menuliskan cerpen; saya beri judul "Ketika Dua Boneka Perang Bertemu". Berkisah tentang persahabatan terpaksa antara TNI dan GAM paska Aceh diguncang gempa dan tsunami. Cerpen ini diganjar Juara Utama Sayembara Menulis Cerpen Lustrum V Fakultas Sastra Universitas Andalas. Hadiahnya berupa uang tunai yang kemudian saya belikan cincin emas buat kado ulang tahun Ibu saya.

Sejak hari itu, sudah tiga kali saya menjejak Meulaboh kembali. Ketiganya, urusan pekerjaan. Dan setiap kali datang, saya saksikan perubahan menyeluruh di Meulaboh. Infrastruktur yang terbangun, perekonomian yang berputar, serta masyarakatnya yang ramah senyum. Kedai-kedai kopi tumbuh menjamur, terang-benderang, dan buka hingga tengah malam. Satu dua insiden masih terdengar---biasanya urusan politik---tapi sependek pandangan saya, semua sudah jauh lebih baik.

Ini pertanda bahwa konflik telah berhasil diselesaikan secara damai dan bermartabat. Aceh kembali hidup tenang bersama keluarga besar bangsa Indonesia. Aceh telah berada dalam keadaan yang makin aman dan damai, maka jangan sia-siakan pencapaian ini untuk membangun Aceh sekali lagi, menuju masa depan yang lebih baik.

Palestina, Boikot dan Gerakan Kemandirian Bangsa


Seorang sahabat mengirimkan link berita via WA perihal seorang Walikota yang menyerukan boikot produk Israel dan AS. Seruan yang mirip dan agak ektrem dilakukan kawan-kawan OKP di beberapa tempat. Ya, boikot produk Israel dan AS sudah menjadi isu nasional. Satu dari berkian cara yang dilakukan sebagai protes atas pernyataan Donald Trump yang menentapkan Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Secara pribadi saya sepakat dengan aksi ini. Trump berkarakter keras kepala, degil. Ia pemimpin bertipikal bulldozer yang menggilas segala penghalang di depannya. Plus posisinya sebagai presiden negara adidaya membuat ke- koppig-an itu bukan kepalang. Trump tidak akan tunduk oleh satu gelombang penolakan dan perlawanan ala kadarnya. Buktinya resolusi OKI tempo hari tidak membuat Trump berpaling. Hujatan dari negara-negara di Eropa, ia anggap angin lalu.

Karena itu, untuk mengubah pendirian Trump kita perlu menghidupkan bulldozer yang jauh lebih besar dari dirinya. Bulldozeritu adalah rakyat AS sendiri. Saya yakin banyak rakyat AS yang menolak kebijakan Trump, tapi jumlahnya belum bisa diharapkan. Ini adalah bukti bahwa keegoisan dalam menyikapi lingkungan kerapkali menginjak-injak rasa kemanusiaan, menerbitkan sikap abai. Tetapi, bisakah kita berkilah dari naluri purba untuk cari selamat: saat kepentingan kita terganggu?

Boikot produk-produk Israel dan AS yang dilakukan secara massif dan berkepanjangan akan membuat konglomerat-konglomerat Paman Sam bereaksi. Aksi boikot yang berkepanjangan akan berimbas pada mewujudnya citra buruk Perusahaan multinasional (PMN) yang mereka miliki, termasuk penurunan pendapatan perusahaan.  Jikalau para pemodal Trump ini sudah turun tangan, plus gugatan rakyat AS dan seantero dunia akan kesalahan fatal Trump---besar kemungkinan pendirian Trump akan bergeser.

Tentu saja menjaga nafas ini amat sulit. Indonesia adalah bangsa konsumtif. Keseharian kita terpenjara oleh produk-produk yang terafiliasi dengan PMN milik AS dan Israel. Mulai dari bangun tidur, mandi, pergi ke kantor, mengudap makanan, hingga kembali tidur; kita mengonsumsi produk-produk itu.

Bahkan saya mengetik tulisan ini di gawai produk AS, ditemani sebatang rokok bermerk AS. Kelak, saat memosting tulisan ini saya harus membuka Google, dan barangkali memanfaatkan Facebook dan Twitter untuk menyebarluaskannya.

Betapa sulitnya! Jika membincang ini bersama-sama kawan-kawan, biasanya mereka akan menarik kesimpulan: hampir-hampir mustahil. Apalagi, kalau sudah hadir kawan yang berkacamata hitam-putih: boikot atau terima tanpa syarat.

Tapi di sinilah letak amnesia sejarah bangsa. Kita lupa apa yang diajarkan para pendiri bangsa: memanfaatkan senjata lawan untuk menyerang balik tidak pernah diharamkan. Telisiklah baik-baik! Politik etis yang dahulu digunakan kolonial Belanda untuk mendidik pribumi sebagai sekrup industri atau pegawai gubermen, nyata-nyata sukses dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas diri, menemukan kesadaran akan nasib bangsa dan menginspirasi perjuangan menuju kemerdekaan.

Telisiklah kecerdasan Teuku Umar yang berlagak tunduk pada Belanda, lalu hengkang dengan membawa banyak senapan dan barisan prajurit terlatih. Ada pula Agus Salim yang sukses berkali-kali mengadali Gubermen: memanfaatkan fasilitas penjajah untuk membangun gerakan perjuangan.

Termasuk BPUPKI dan PPKI itu. Tugas BPUPKI hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan, sementara penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI. Tapi toh Sukarno dan para pendiri bangsa menelikung skenario Jepang ini. Sidang BPUPKI malah membahas habis-habisan perihal dasar negara dan pokok-pokok konstitusi. Sehingga, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, UUD 1945 dan dasar negara bisa ditetapkan.

Memukul balik dengan perkakas lawan adalah satu keniscayaan. Kita sudah melakukannya! Lewat produk-produk teknologi informasi---yang semuanya masih dikuasi asing---gerakan rakyat bergulir tak henti-henti. Kampanye pemilu sudah jadi cerita keseharian. Aksi-aksi massa yang jutaan itu pun digagas lewat WA Group, lalu dikampanyekan via jejaring sosial, termasuk aksi bela Palestina besok.

Artinya, kita bisa memilih. Dari seribu perangkap yang diangsurkan, kita bisa memilih 10, 50 atau 100 perangkap yang memang tidak bisa kita elakan. Tetapi kita memilih dengan kesadaran bahwa kelak perangkap-perangkap ini mesti kita tinggalkan.

Ini bukan omong-kosong. Silakan amati sekeliling kita. Kedai-kedai kopi lokal yang ditata modern berdiri tegak, tidak kalah dari Starbuck yang sudah mendunia itu. Bukalapak muncul melawan dominasi Amazon dan Ebay, Gojek hadir sebagai pesaing Uber.

Setiap tahun, anak-anak bangsa mampu memproduksi prototype ponsel, mesin produksi sampai kendaraan bermotor, termasuk jejaring sosial alternatif. Memang belum sepenuh produk lokal, dan barangkali kualitas masih jauh dari produk asing, tetapi semangat ini jelas menggembirakan.

Pasti muncul pertanyaan. Bagaimana bila PMN hengkang dari Indonesia akibat aksi boikot ini? Bagaimana nasib para buruh Indonesia yang bekerja di sana? Ini adalah salah satu risiko, tapi percayalah kondisinya awalnya tidak akan buruk-buruk amat. Mustahil akan terjadi eksodus besar-besaran secara serentak, paling banter segelintir setiap tahun. Saya yakin dan percaya pemerintah pasti memiliki cara untuk membantu para buruh yang terdampak ini.

Mengapa? Karena Indonesia adalah negara kaya. Sumber daya alam Indonesia melimpah ruah. Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 262 juta jiwa, dari sisi ekonomi Indonesia adalah pasar terbesar ke-4 di dunia bagi PMN.

Ingat saat ini PMN sudah semakin buas. Mereka tidak hanya mengejar konsumen orang-orang berduit. Orang miskin memang tidak bisa membeli mobil berharga milyaran atau ratusan juta, tetapi mereka sudah kadung terjebak---misalnya---mesti mandi pakai sabun, harus menggunakan odol untuk sikat gigi. Pulsa pun kini hampir-hampir jadi kebutuhan primer. Dan siapakah yang menikmati ceruk pasar orang miskin itu kalau bukan---lagi-lagi---perusahan multinasional itu?

Artinya, jika kita mau masa itu pasti datang. Masa di mana rakyat Indonesia tidak lagi terpenjara oleh  produk-produk PMN. Masa di mana produk-produk lokal menjadi raja di negeri sendiri. Saya percaya akan hal ini.

Membaca Hijrah Dalam Kacamata Tom Cruise


Apa hubungan Tom Cruise dengan prosesi hijrah hampir 1,5 milineum itu? Memang tidak ada hubungan langsung  Namun, terang lebih asyik menggunakan Tom Cruise ketimbang Jack Harper---tokoh yang diperankannya dalam film fiksi ilmiah Oblivion yang dirilis 2013 silam.

Film ini berkisah tentang Jack dan asistennya Victoria Olsen berlatar bumi pasca 60 tahun perang melawan invansi alien. Bumi luluh-lantak, sehingga umat manusia harus hijrah ke dunia baru. Jack dan Victoria bertugas menyelamatkan sisa-sisa sumber daya alam bumi. Sialnya, operasi ini terus diganggu oleh sisa-sisa Pemakan Bangkai, kaum alien yang bercokol di bumi.

Setiap hari, Jack dan Victoria dicekoki informasi satu arah dari sebuah komputer. Hingga akhirnya Jack diculik. Keraguan, membuat Jack nekad melanggar protocol. Ia memasuki wilayah terlarang. Dan kebenaran pun terbongkar.

Bahwa kaum Pemakan Bangkai yang ia perangi adalah sisa-sisa umat manusia. Bahwa Jack berada di pihak yang jahat. Dan, sialnya, Jack adalah pion dalam sistem perampokan sumber daya bumi. Nyata-nyata, Jack telah bertindak angkara terhadap spesiesnya sendiri. Namun, taka da seorang pun yang menghukumnya. Mereka paham, Jack hanya korban dari ketidaktahuan.

Jika hijrah adalah perubahan besar untuk merengkuh kehidupan yang lebih baik; maka Jack telah melakukannya. Tentu saja ini berisiko. Bagi Jack, itu artinya jadi orang buruan---termasuk diburu oleh asistennya sendiri. Victoria menyangkal informasi yang berimbang, ia menafik keluar dari zona nyamannya.

Oblivion adalah gambaran Indonesia hari ini. Saya, Anda, Kita---boleh jadi adalah Jack dan Victoria yang bertahun-tahun mendapat informasi satu arah. Agitasi dan propaganda yang terus-menerus membuat segala hal di luar yang kita pahami menjadi kesalahan. Bahkan, kita nisbatkan sebagai kejahatan.

Tak ada keraguan, sebab segenap yang bisa membuat ragu, kita bunuh. Alih-alih mencari tahu, kita lebih suka tutup kuping. Karena setitik keraguan adalah virus HIV bagi kebenaran tunggal. Sistem yang menopang tata kehidupan yang kita nikmati bisa porak-poranda.

Dan jadilah kita pengguna kacamata kuda. Mendadak, derajat kita naik sehingga boleh menuding seorang di pihak seberang sebagai "bangkai" atau "sundal".  Sebagai penegak warisan sejarah, kita merasa layak untuk main kayu. Kita adalah pemilik kebenaran!

Namun, bagaimana jika kelak, saat anak cucu kita melenggang ke pelaminan, ternyata kebenaran yang kita yakini adalah kesalahan? Siapakah yang bisa menjamin kita tidak mewariskan dendam yang pongah kepada generasi mendatang? Siapa yang bisa menjamin kita bukan serupa pion-pion di Oblivion?

Dalam pengembaraan saya ke daerah-daerah yang pernah berdarah: Aceh, Poso, Ambon, Atambua; kerap saya temukan kesadaran yang lahir belakangan ini. Baik mereka yang memukul pertama, atau balas memukul; dihantui oleh rasa penyesalan. Betul, banyak yang membandangkan 1001 alasan pembenaran. Namun, mereka yang dulu gagah melangkah di jalan darma: rakyat, negara, agama---sama-sama mengaku: jika waktu bisa diputar, saya akan berusaha keras untuk tidak berbuat itu.

Bangsa ini sudah cukup berhasil di Aceh, Poso, Ambon, Atambua, juga Papua. Siapa yang sangka, hubungan bilateral Indonesia dengan Timor Leste --yang dulu kita invansi---ternyata jauh lebih elok ketimbang Malaysia, negeri serumpun bangsa kita? Dari perjalanan Indonesia, kita belajar bahwa main kayu bukan solusi utama. Dialog! Ini yang akhirnya menuntaskan segala kisruh sehingga setuntas masalah kita bisa bergandengan tangan.

Besok 1 Muharram 1439 H. Pasti tidak segemerlap tahun baru masehi. Namun, keheningan ini bisa jadi moment baik untuk meneladani Nabi Muhammad. Ia yang diburu para pembesar Quraisy, kembali ke Makkah dengan seribu kasih sayang. Jangankan makian, bahkan setitik darah pun tiada yang tumpah.

Begitu banyak tragedy yang terjadi di negeri kita. Banyak yang masih buram, kelam dan mencoreng stigma hitam di wajah sebagian bangsa Indonesia. Ada PRRI, PKI, DI/TII, Permesta, peledakan candi Borobudur, Tanjung Priok, Talangsari, 27 Juli dan lain sebagainya.

Keputusan ada di tangan kita bersama. Apakah kita hendak membeton kuburan misterius itu, dan memukuli setiap orang yang hendak membongkarnya. Atau kita bisa bergandeng-tangan. Mencari penyelesaian dengan cara-cara tenteram penuh dengan persaudaraan serta toleransi dan harmoni.

Umur Indonesia sudah lewat 72 tahun. Wajarkah bila anak-anak bangsa terus cakar-cakaran saat ancaman dan tantangan ke depan begitu pelik?

MENOHOK NYAHOK



Nasib jadi pemilik warung kopi nomor wahid se-dusun ya begini. Kena bujuk-rayu tim sukses yang mau menumpangkan spanduk di kedaiku. Kelimpungan karena belum punya pilihan, dan kuatir terhasut kabar burung yang mengepung dari segala penjuru, kuputuskan untuk menemui Pak Guru.

Pucuk dicinta ulam tiba. Esok sore, di tengah jalan, aku berpapasan dengan Pak Guru. Sepertinya, dia baru pulang mengajar. Dia tampak tergesa-gesa.

"Pak Guru, saya mau minta fatwa. Siapa yang harus saya dukung dalam Pildusun kelak?" mohonku, selepas mengucap salam.

"Wah, kamu salah alamat," Pak Guru terperanjat. "Aku ini cuma guru. Mana boleh ngasih fatwa."

"Tapi kan Pak Guru orang berilmu. Suka jadi khatib di masjid."

"Kamu pikir fatwa itu main-main?Fatwa itu pertanggungjawabannya sampai ke langit. Kalau fatwa sudah diucap, pasti sudah lewat proses yang masak, ndak mungkin prematur. Tidak. Aku belum sealim itu. Fatwa itu urusan kyai besar yang sudah qatam membaca hal-hal yang tersirat dan tersurat." Pak Guru bergetar sampai kedua kakinya merapat. "Sudah-sudah, segitu saja ya!"

"Lha, jangan begitu Pak. Ini urusan penting," kecamku atas pengabaiannya."Ya, sudah. Kalau saran saja bagaimana?"

"Nah, kalau itu boleh. Tapi kita bicara di rumah saja ya," jawab Pak Guru tersipu-sipu. Malu-malu, dia menunjuk dengan jempol ke arah rumahnya yang tinggal sepelemparan batu jaraknya.

Aku menggeleng. "Tanggung Pak Guru, bentar lagi mau magrib. Kita tuntaskan di sini saja!"

Muka Pak Guru sontak memerah, nyaris penuh kebencian dan kecemasan.Heran. Apakah dia marah kepadaku?

"Saranku jangan pilih Pak Nyahok!" tetaknya serius.

"Apa ini masalah agama, Pak Guru? Bukankah gak penting warna kucingnya selama kucing itu bisa menangkap tikus? Gak penting agamanya, gak penting bacot comberannya, selama dia bukan pemimpin yang korup."

"Lha, Pak Mangkus dan Pak Manis yang seagama dengan kita itu ndak besar bacot? Apa mereka korup? Belum ada kudengar desas-desus korupsi mereka. Kalau Pak Nyahok itu sudah terang kasusnya. Memangnya kau tidak pernah dengar siaran radio warga? Jangan dibalik begitu ah mikirnya."

"Tapi Pak Nyahok itu petahana Pak. Dia sudah berbuat?" tentangku seraya menyulut rokok.

"Nah, pikiranmu terbalik lagi. Macam rokok itu. Dari mana kau tahu kalau Djisamsu lebih nikmat ketimbang Jarum Coklat?"

"Setelah saya mencoba keduanya, Pak."

"Nah, itu maksudku. Ndak bisa kau menyebut Pak Nyahok itu lebih baik ketimbang Pak Mangkus dan Pak Manis hanya gara-gara dia duluan jadi Kepala Dusun. Itu juga gara-gara dapat warisan durian runtuh saja. Kalau mau adil, coba kau bayangkan seandainya Pak Mangkus atau Pak Manis yang diangkat jadi kepala dusun sewaktu Pakde Jaka terpilih jadi lurah. Kira-kira, dusun kita ini akan lebih baik atau lebih buruk?"

"Hmmm?"

"Yo wis, mikir saja dulu. Lain waktu kita bicara lagi," kata Pak Guru, sudah bersiap-siap angkat kaki.

"Jangan-jangan Pak Guru, langsung saja," papasku.

"Aduh kau ini!" Sekujur tubuh Pak Guru tampak gemetar menanggung perasaan. Dengan geram, dia melantang. "Pertanyaannya begini. Kalau dulu Pak Mangkus atau Pak Manis yang jadi kepala dusun, apa teman-teman SD-mu yang tinggal di bantaran kali itu bakal digusur tanpa ganti rugi? Bakal dipaksa tinggal di kontrakan bertingkat yang bikin mereka semakin miskin?"

"Ndak mungkin, Pak Guru. Pak Mangkus dan Pak Manis itu anti penggusuran."

"Kalau dulu Pak Mangkus atau Pak Manis yang jadi kepala dusun, apa mereka akan menuding ibu-ibu yang minta keadilan sebagai maling dihadapan orang ramai? Apa mereka akan menuduh air mata ibu-ibu yang kena gusur itu sebagai tangis figuran sinetron? Apa mereka akan rela memelaratkan orang-orang miskin supaya dusun kita menjadi lebih cantik?"

"Apalagi itu, Pak!"

"Kalau dulu Pak Mangkus atau Pak Manis yang jadi kepala dusun, apa mereka sebulan sekali mau makan mpek-mpek bareng saudagar anggota naga 9 yang keciduk korupsi itu? Ayo cepat jawab!"

"Terang tidak, Pak. Tapi memangnya saudagar itu sudah keciduk hansip ?"

"Bekas centengnya Pak Nyahok sudah kena. Ada anggota Majelis Desa kita yang juga kena. Kalau Pak Nyahoknya ya ndak tahu aku kapan kenanya." Pak Guru menyeka sebutir keringat yang menggantung di ujung hidung sambil berkeluh-kesah. "Itu urusan hansip. Itu juga kalau hansipnya ndak diajak makan siang sama Pakde Jaka. Nah, sekarang kita lanjut ya? Apa Kyai..."

"Cukup, Pak Guru. Saya sudah paham sekarang," kataku, lalu terperanjat saat menginsyafi wajah Pak Guru yang pucat berkeringat itu. "Pak Guru sakit?"

"Sakit Mbahmu! Sedari tadi aku kebelet, tetapi kau malah maksa ngobrol serius terus."

"Maaf, Pak Guru. Maaf."

Tetapi penyesalanku cuma dipukul angin. Pak Guru sudah membeladag kesetanan menuju rumahnya.

Meulaboh, 5-2-2017

Mengenang Riyanto; Kepahlawanan di Malam Natal


Malam  ini malam Natal, dan karenanya saya teringat pada Riyanto, anggota Banser NU.  Ia sudah berpulang, tetapi namanya selalu hidup di Gereja Eben Haezer Mojokerto.

Saya membayangkan pada malam Natal  itu, 24 Desember 2010, Riyanto mengecup punggung tangan sang Ibu, Katinem. Mohon restu untuk bertugas menjaga malam perayaan natal gereja-gereja. Mengendarai vespa merah, Riyanto sampai di Gereja Eben Haezer. Ia bertugas bersama tiga rekannya.

Menjelang tengah malam, seorang jemaat menemukan bungkusan tak bertuan di depan pintu masuk gereja. Di hadapan petugas keamanan, Riyanto membuka bingkisan itu. Sekonyong-konyong terbit percikan api. “Tiarap!,” teriaknya sigap.

Riyanto tergopoh-gopoh keluar. Ia mencampakan bungkusan bom itu ke tong sampah. Nahasnya, meleset. Bukannya menjauh, Riyanto malah kembali memungut bom itu. Ia menamengkan dirinya.  Sekali lagi, hendak melemparkan bom itu jauh-jauh.

Tetapi apa mau dikata? Tuhan punya kuasa. Bom itu meledak dalam pelukan sulung dari 7 bersaudara  itu. Korban berjatuhan, tetapi khalayak maklum. Tanpa pengorbanan Riyanto jumlah korban akan lebih besar.

Butuh segunung keberanian untuk bertaruh nyawa, dan bertaruh nyawa untuk keselamatan kalangan yang bukan “siapa-siapa” boleh jadi adalah salah satu puncak keberanian. Riyanto sudah melintasi gunung toleransi. Ia bukan sekadar menghargai perbedaan, melainkan mengorbankan diri untuk memperjuangkan harmoni dan sinergi atas perbedaan itu.

Tak pelak, heoisme ini mengingatkan saya pada wejangan K.H. Abdurahman Wahid. “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”

Jika kejadian ini ditarik pada situsi-kondisi kekinian, tentu jadi pangling. Dua bulan terakhir ini, bangsa kita dihantam dengan isu Bhineka. Baik media mainstrem maupun sosial media  terus menggulirkan sintemen agama dan etnis.

Keteledoran-keteledoran kita merawat toleransi menjadi sasaran empuk untuk objek umpat-hujat. Bangsa ini mendadak menjadi begitu mahir mencari-cari kesalahan, tetapi seolah buta akan prestasi-prestasi toleransi dalam sejarah kita. Framing!Demi menghujat, informasi yang disebar sepotong-sepotong. Dan celakanya, sentimen ini mulai bergerak menjadi aksi baku bully; saling serang.

Bahkan cacing yang diinjak pun akan menggeliat. Permasalahannya, siapa yang jadi cacing? Siapa yang jadi sepatu bot? Jangan-jangan, kita malah menyandang standar ganda; menjadi korban sekaligus pelaku. Atau yang parah: berlagak menjadi korban, tetapi sebenarnya pelaku.

Atau jangan-jangan semua ini sejatinya berada di luar keinginan kita? Jangan-jangan ada operasi  intelejen yang dilakukan untuk membuat situasi-kondisi terus memanas? Terus-menerus membayurkan kegentingan amat sangat. Padahal levelnya masih di ambang batas yang bisa kita terima. Level di mana kita bisa bersikap bijak dengan berkata “biar polisi yang mengurus”, bukan malah terseret dalam aksi menyiramkan bensin ke api yang berkobar.

Amatilah baik-baik! Tiga isu yang belakang ini menyibukan ruang publik kita : PKI, Tiongkok dan Agama.  Makin celaka, ketiga isu ini ditarik-tarik ke dalam aras politik.

Politik memang asyik, sampai-sampai kita kerap “kehilangan” diri kita sendiri. Dalam membalas kritik kebijakan pemerintah contohnya. Saya sempat menikmati aksi adu argumen di media sosial, termasuk di kolom-kolom kompasiana.

Belakangan kenikmatan ini lenyap akibat kehadiran kaum buzzer pejuang, yang kental aroma afiliasi politiknya, tetapi enggan beradu argumen secara beradab. Dulu, strategi mereka adalah mengalihkan subtansi tulisan ke arah ketiga isu ini;  bahwa yang tidak sependapat dengan mereka artinya memberangus bhineka tunggal ika. Belakangan lebih parah, bukan argumentasi yang dibangun, melainkan strategi umpat-hujat.

Hukum aksi-reaksi terjadi. Mereka yang diserang, akhirnya balas menyerang.

Kembali ke laptop, menurut saya, kondisi Indonesia tidak segenting penampakan di media sosial. Mayoritas masyarakat Indonesia masih memiliki nalar yang cukup untuk memfilter segala keriuhan yang menghabiskan energi itu.

Tentu saja masih ada letupan-letupan. Tidak ada gading yang tak retak. Tetapi  segenapnya masih bisa diselesaikan secara pancasialis –musyawarah baru kemudian hukum positif. Kendatipun, perlu pula digarisbawahi : jangan pula dipanas-panasi.

Hal ini berpijak pada pengalaman saya menyambangi kawasan –kawasan non muslim, bahkan daerah bekas konflik. Jangankan tindakan, bahkan ucapan yang menyinggung SARA tidak pernah saya terima. Pada banyak tempat saya mendengar kisah-kisah keluarga besar yang para anggotanya memiliki agama yang beraneka, dan undang-mengundang pada perayaan hari besar masing-masing.

Yang paling dekat, ketika anak tetangga saya yang non muslim wafat, tidak ada tetangga-tetangga saya yang memrotes penyelengaraan peribadatan itu. Kendatipun dilakukan di rumah, dan berlangsung sampai malam hari pula. Bahkan kami bergotong-royong untuk menegakan tenda besar untuk menaungi para tamu.

Kalau gagasannya mau diperluas, kita bisa berpijak pada penghormatan kaum Islam pada sidang BPUPKI yang menerima Pancasila sebagai dasar negara. Lalu, pada sidang PPKI yang pertama, semua orang sepakat akan redaksional “Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk sila pertama Pancasila. Belakangan, kita juga sepakat bahwa kalangan Tionghoa, baik secara etnis maupun agama Konghucu, menjadi bagian dari keragaman bangsa.

Saya pikir semua itu sudah final.  Dan kewajiban kita sebagai warga negara adalah menyinergikan segenap potensi yang terkandung dalam keragaman itu untuk membantu pemerintah mencapai tujuan Negara Indonesia, negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bukan malah ribut perihal siapa yang paling paham kebhinekaan.

Sebagai penutup, izinkan saya mengingatkan konsep kepahlawanan baru yang beberapa waktu silam sempat menghinggapi sanubari kita. Semua orang bisa jadi pahlawan! Caranya dengan menebar manfaat sesuai dengan latarbelakang kita masing-masing. Produktif dalam berpikir dan bertindak dalam merawat toleransi dan membangun sinergi antar perbedaan itu. Dan saya amat yakin kalangan seperti ini amat banyak di negeri kita yang sayangnya belum tersentuh media.

Saya pikir ini cara yang paling terjangkau bagi kita untuk meneladani heroisme ala Riyanto. Tidak muluk-muluk, tetapi memiliki efek bola salju.

Akhir kata, izinkan saya mengucapkan selamat merayakan Natal  untuk kawan-kawan yang merayakannya. Salam!

Selamat Ulang Tahun, Cak Munir

sumber, twitter Ommah Munir

Hari itu, seorang pemuda yang baru setahun dapat KTP meradang karena ledakan petasan di luar jendela kamar. Pasalnya, sang ibu yang sedang sakit baru saja terpulas. Ia baru saja mengantarnya pulang dari berobat. Maka, dengan keberanian seorang pemuda, ia keluar dari rumahnya di kawasan Kota Batu. Ia berteriak-teriak, melantangkan tantangan berjibaku. Nahasnya yang membakar petasan tidak seorang diri. Celakanya, karena ditantang oleh pemuda yang lebih kencur, mereka pun kalap. Terjadi pengeroyokan, 1 lawan 30 orang.

Waktu tahu apa yang terjadi, tindakan pertama si ibu adalah menyuruh adik si pemuda mengambil pentungan. “Kamu harus tanggungjawab, keluar kamu, berantem sana!” perintahnya kepada si pemuda.

Sejatinya, sang ibu amat membenci kekerasan. Tetapi prinsipnya tegas. Harus berani tanggung-jawab atas seganap tindakan yang telah dilakukan. Si pemuda maklum, maka ia pun keluar rumah lagi. Ia berjibaku lagi. Dan akhirnya, tentu saja, ia kalah lagi.

Demikian kira-kira satu kejadian yang membuat Munir bisa dengan asyik bercengkerama dengan teror. Didikan sang Ibu membuatnya teguh; bahwa setiap kali bertindak, ia sudah harus siap menanggung risiko.  Jadi, kendati motornya pernah diserempet orang tak dikenal, kerap diancam via SMS, rumah dan kantornya mau dibom, kantornya diserbu massa, sampai ditodong senapan;  Munir terus melangkah di jalan keyakinan yang telah dipilihnya.

Tetapi mendaulatnya sebagai seseorang yang urat takutnya sudah putus barangkali berlebihan. Munir pun kerap didera ketakutan. “Normal, sebagai orang, ya pasti ada takut, nggak ada orang yang nggak takut, cuma yang coba aku temukan adalah merasionalisasi rasa takut,” kata Munir.

Akibat hanya membungkukan punggung pada nilai dan prinsip, Munir harus rela jadi sansak tinju orang ramai. Ia penah dinisbatkan sebagai aktivis Islam sosialis, tetapi lain waktu ketika lingkar kekuasaan berganti, ia pun dituduh Yahudi, Kristen sampai komunis dan antek-antek Amerika.  Kontradiktif dan sulit diterima nalar, tetapi apa mau dikata, Munir sudah terlanjur jadi objek yang asyik buat dijadikan musuh nomor wahid. Saking masifnya propaganda intelejen itu, sampai-sampai ada tokoh-tokoh nasional yang keheranan ketika menemukan Munir bersalat Jumat di mesjid yang sama dengan mereka.

Tetapi, teror yang paling menyakitkan bagi Munir bukan ancaman hendak dijadikan sosis. Melainkan pada jam setengah satu siang ada seorang perempuan hamil yang mengadu kepada istrinya bahwa dirinya telah dihamili Munir. Untungnya, Suciwati yang saat itu sedang hamil, tidak terpancing. “Saya akan bela kamu supaya Munir bertanggungjawab. Tunggu sebentar,” pintanya. Tetapi ketika Suciwati kembali dari bersalin, perempuan itu sudah lenyap.

Munir dan Suciwati memang kompak. Barangkali soulmate. Saling memahami, saling kuat-menguatkan. Ketika ada dua aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang terkena pecahan bom Tanah Tinggi, dan Munir ngotot untuk tidak menyerahkan mereka kepada tentara. Karena berstatus buron, kedua aktivis itu tidak bisa dibawa ke dokter. Walhasil, selama tiga hari –deadline yang diberi para petinggi LBH waktu itu, Suciwati dan beberapa aktivis junior LBH yang sepaham dengan Munir, merawat mereka dibawah bayang-bayang penangkapan oleh Kopasssus.

Tetapi sebagai pekerja HAM, Munir juga bukan tanpa cacat. Waktu bergiat di LBH, ia pernah mempermak orang sampai masuk rumah sakit. Kali lain, ia juga pernah melempar gelas ke muka orang. Ia tahu bahwa kedua tindakannya itu tidak benar, tetapi emosi terkadang mengalahkan nalar. Uniknya, ketika Kontras diserbu preman, dan pemuda penggiat Kontras sudah bertekad tidak ada istilah mengalah, Munir malah berpikir untuk berdamai saja; agar penyerang itu dilepaskan dari jerat hukum. “Kupikir, biarin ajalah preman dilepas, musuhku toh yang lain,” katanya.

Segenap cerita ini, saya dapatkan dari buku Keberanian bersama Munir karangan Meicky Shoreamanis Panggabean. Sungguh buku yang menarik, karena darinya saya menemukan sosok Munir dari sisi manusia normal.

Betapa Munir yang besar itu ternyata baru mengenal kebijakan pengiriman tentara ke Aceh sewaktu ia nyaris tamat kuliah di jurusan hukum Universitas Brawijaya. Melalui perkawanan dengan Bambang Sugianto, seorang aktivis jalanan di kampusnya. Perdebatan mereka yang membawa Munir membaca buku-buku di luar mainstream, sampai akhirnya menemukan buku Cile, Revolusi Buruh-nya Arief Budiman. karakternya kian terbentuk setelah menelisik Nilai Identitas Kader-nya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang menurutnya cerdas radikal dan militan. Dari proses inilah Munir kemudian menemukan kembali ideologi anti penindasan.

Bagi mereka yang semasa kuliah gandrung berunjukrasa pasti akan menyebut betapa tidak istimewanya. Faktanya, banyak di antara mereka yang mengalami proses ini pada akhirnya terjebak pada ideologi mainstream. Lantas apa yang membedakan? Abdurahman Wahid menjawab bahwa dalam berjuang diperlukan penyatuan antara prinsip perjuangan dan tekad pribadi. Agaknya, Munir memiliki penyatuan itu.

Penyatuan prinsip dan tekad ini yang membuat Gus Dur hanya bisa termangu ketika Munir berencana menulis disertasi di negeri Belanda yang akan memaparkan sejumlah orang yang diduganya menjadi otak pelanggaran HAM berat di Indonesia. Gus Dur paham tak ada gunanya melarang, bagaimanapun Munir tetap akan melaksanakan niatnya itu. Dan sebagaimana yang kita ketahui, pada 7 September 2004, Munir tewas diracun dalam penerbangannya ke Belanda.

Kendati sama-sama berurusan dengan arsenik, penanganan kasus Munir tidak secepat dan semeriah persidangan Jessica Wongso. Sampai sekarang, setelah 12 tahun lamanya, aktor intelektual kasus  Munir masih misterius. Konon ia masih melenggang bebas dan menikmati gelimang kekuasaan.

Kendatipun begitu, saya amat yakin sang aktor tetap hidup dalam kegelisahan. Karena kepergian Munir tidak lantas membuat nilai dan prinsip lantas mati. Salah satunya adalah Aksi Kamisan, di mana sejak 18 Januari 2007, setiap Kamis sore, sekelompok orang berpayung hitam tegak mematung berjarak sepelemparan batu dari Istana Negara. Selama satu jam mereka berteriak dalam diam untuk menolak lupa; untuk mengingatkan pada pemimpin puncak negeri ini bahwa ada pekerjaan rumah  yang diwariskan dari presiden ke presiden yang belum lagi tuntas sampai hari ini.

Hari ini adalah Kamis yang ke-470 kalinya, Aksi Kamisan akan digelar. Tanggal dan bulan yang sama dengan waktu Munir dilahirkan, 52 tahun silam. Saya sungguh berharap berharap hari ini Jokowi mau meluangkan waktu untuk menyambangi Aksi Kamisan. Lantas di bawah naungan payung hitam yang ia pegang sendiri, Jokowi berucap, “Selamat Ulang Tahun Cak Munir! Hari ini atas nama pemerintah saya berjanji kasus Saudara dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya akan diusut tuntas. Dan mereka yang bersalah akan dihukum seadil-adilnya.” Lalu Presiden, minimal, memerintahkan jajarannya untuk berpuasa selfie sampai urusannya ini beres, dan memberi sanksi kepada mereka yang lelet apalagi sengaja menghambat. Dan publik akan mengawasi janji itu.

Tetapi, menurut saya mengenang Munir tidak cukup sebatas itu. Mengenang Munir bukan cuma urusan pemerintah dan aktivis Aksi Kamisan. Mengenang Munir juga harus dilakukan melalui gerakan internalisasi HAM dalam sendi-sendiri kehidupan, dan ini menjadi urusan kita bersama.

Bertekad menjadi Munir, kendati niscaya, tetapi amat ambisius. Maka, yang paling gampang adalah meneladani Munir sesuai dengan peran kita masing-masing. Seorang guru yang mengajarkan anak-anak didiknya tentang toleransi. Seorang tukang ojek yang tidak mengumpat-maki kepada mereka yang berbeda pandangan. Seorang buzzer pilkada yang tidak main fitnah. Seorang jurnalis yang menuliskan berita secara benar dan berimbang. Seorang atasan yang tidak bertindak diskriminatif kepada karyawannya karena soal SARA.

Tentu saja semakin tinggi posisi dan sumberdaya yang kita miliki akan semakin besar pula prinsip dan tekad Munir yang bisa kita teladani. Barangkali akan ada pengorbanan, tetapi setidaknya kita tidak perlu kuatir akan di-Munir-kan. (*)